Elano mengepalkan kuat-kuat tangannya. "Jadi selama ini lo bohong? Jadi waktu itu nyokap lo gak sakit? Terus lo kemana, Rey? Ha?! Gue yang denger capek, Rey! Gue capek denger setiap alesan dari lo!"
"Gue salah. Gue yang salah disini. Gue lalai, gue gak bertanggung jawab. Tapi lo harus tau, gue juga gak mau Bimo meninggal. Disaat itu gue udah ngirim pesan kalau gue telat, gue udah bilang ke Bimo kalau gue jemput dia telat. Gue----"
"Jadi lo kemana? Gue gak butuh penjelasan lo yang gak penting itu! Lo bohong dengan sebut nyokap lo, biar gue sama Indra gak marah? Iya?!" Kesabarannya sudah habis. Bagaimana bisa selama 3 tahun dirinya mendengarkan cerita bohong dari Rey? Bagaimana Rey mengatasnamakan Mamanya sendiri?
"Gue tau gue salah! Gue tau gak seharusnya gue bohong dengan alesan nyokap gue. Kalau gue jujur gue takut kalian pergi dari gue."
Elano berdecih. "Cih! Bahkan dengan alesan nyokap lo sendiripun kita pergi. Buat apa lo bohong kayak anak kecil? Gak ada gunanya, Rey!
"Itu yang selalu gue sesalin. Bahkan disaat nyokap gue sekalipun kalian tetap pergi."
"Seharusnya lo tau itu gak berguna!"
Rey kembali mengingat kejadian itu. Dirinya sudah berniat ingin menjelaskan lagi, namun apa daya Elano dan Indra sudah pergi. "Gue udah niat mau jelasin yang sebenarnya, tapi kalian udah keburu pergi."
"Lo pikir alesan lo bisa gue terima? Rey, kenapa sih lo gak cukup cuma buat orang mati? Apa harus lo bohong juga?"
Ucapan Elano itu sukses membuat Rey melayangkan tinjunya pada Elano. "Gue gak pernah mau buat orang mati! Apa lagi itu sahabat gue sendiri! Gue gak tau kalau semua bakalan jadi kayak gitu. Apa harus kalimat itu gue ulang sepanjang hidup gue? Ha?!"
Elano mengusap pelan darah yang mengalir dari ujung bibirnya. "Tapi kenyataannya memang Bimo mati karena lo!"
Ini saatnya Rey menceritakan semuanya. Sudahlah, ini semua benar-benar akan berakhir. "Ada hal yang gue lakuin disaat gue mau jemput Bimo. Di hari itu, disaat gue abis beli obat buat nyokap, gue udah mau otw ke tempat les Bimo. Tapi, Mama Aqila nelfon gue."
"Mama Aqila? Maksud lo? Jangan bilang semua ini ada kaitannya dengan Aqila?"
Rey kembali melanjutkan ucapannya. Dirinya menceritakan dari awal hingga akhir kejadian itu. Elano tak banyak memotong, hanya saja kepalan tangannya sudah siap dilayangkan. Emosi pria itu sudah sampai di ubun-ubun.
"Disaat gue berangkat dari rumah Aqila ke tempat les Bimo, ternyata Bimo udah gak ada." Tepat saat Rey selesai mengucapkan kalimat terakhir dari ceritanya itu, satu pukulan mendarat di rahangnya.
Elano sudah tak tahan lagi. Apa lagi ini? Kenapa kini menyangkut Aqila? Kenapa kematian Bimo ada kaitannya dengan Aqila?
"Jadi lo telat karena lo lebih peduli dengan Aqila dibanding Bimo? Iya?!" Ucap Elano yang sudah siap melayangkan pukulan keduanya.
"Bukan, gue gak ada maksud gitu. Gue gak ada maksud mau beda-bedain sahabat sama pacar." Ucap Rey membela.
"Cih! Jadi ini semua karena Aqila? Iya? Apa dia gak bisa nyuruh lo pergi dari rumahnya secepat mungkin?"
Rey yakin sangat susah membuat Elano mengerti situasi ini. "Gue udah cerita semuanya. Aqila udah nyuruh gue pulang, tapi gue gak enak pulang karena nyokapnya yang masih butuh gue!"
Elano kini mengerti suatu hal. Senyuman sinisnya muncul. "Jadi ini alesan lo bilang jangan pernah ninggalin Aqila? Iya?"
"Gue yakin lo gak akan ninggalin Aqila karena masalah ini. Ini bukan salah Aqila. Gue yang lalai, gue yang gak bisa jelasin kalau gue ada hal yang mendesak. Gue yang salah, ini bukan salah nyokap Aqila atau Aqila. Ini murni karena gue yang gak bisa jelasin gue sibuk, gue yang lalai buat sahabat gue sendiri." Ucap Rey panjang lebar. Dirinya tak ingin Aqila disalahkan. Dirinya tak ingin Aqila kembali menderita.
KAMU SEDANG MEMBACA
AQILA (COMPLETED)
Ficção AdolescenteDON'T COPY MY STORY!!! ***** Semua berawal dari masuknya Aqila ke SMA Bakti Bangsa. Banyak hal yang terjadi di luar rencana awalnya. Rencana awal Aqila masuk ke sekolah itu hanya satu, yaitu kembali melanjutkan hubungannya dengan Rey, sang mantan. N...