Tiba-tiba saja ponsel Nea berdering. Nea yang memang sebelumnya tengah merasakan tegang dibuat terkejut oleh ponselnya yang terasa di saku celananya. Nea kemudian mulai mengambil ponselnya.
"Sebentar." ujar Nea.
Di lihatnya layar ponsel yang kini tengah memaparkan nama seseorang yang tak lama ini tengah melakukan aksi teror pada Nea, mengenai traktiran yang bahkan tidak pernah Nea janjikan. Tangan Nea bergetar ketika memegang ponselnya.
"Kenapa gak diangkat? Siapa tau penting." ujar Ghai.
Nea tidak menjawabnya, memilih bungkam sembari menelan salivanya untuk menghilangkan rasa gugup juga takut dalam dirinya. Ada dua pilihan yang kini mengisi relung hati Nea juga pikirannya. Apakah dirinya harus tetap berada disini dan mencoba menggali lebih dalam tentang Ghai atau haruskah dirinya pergi dari tempat itu untuk menghilangkan rasa takutnya.
"Yah keburu mati kan sambungannya." ujar Derren kala suara telepon dari ponsel Nea berhenti bersuara.
"Silahkan pergi jika memang ada urusan, aku gak niat membelenggu kamu disini." ujar Ghai tiba-tiba.
Kala Nea mendengar ucapan Ghai, tiba-tiba saja hati yang sebelumnya tengah dilanda cemas juga takut tenggelam dalam perasaan iba. Entah apa alasannya, tapi menurut Nea suara Ghai mampu membolak-balikkan perasaan di hatinya, terasa hangat juga menenangkan.
Nea tak mampu lagi berkata-kata, jujur saja dirinya masih tidak mampu mempercayai semua cerita Ghai mengenai dirinya juga sesosok anak kecil yang tengah berdiri di sampingnya saat itu.
Derren tidak lagi bersuara, suaranya tergantikan oleh tatapan sendu yang diberikan olehnya kepada Ghai secara cuma-cuman. Derren membuang muka kala Nea mulai menatap dirinya.
"Silahkan pergi Nea..." ujar Derren yang terhentikan oleh helaan napas berat yang terdengar mengisi ruangan.
"Kita gak apa-apa kok, silahkan tenangkan dirimu. Kita tau pasti kamu terkejut. Aku tau kamu pasti bakal balik ke sini." ujar Derren dengan senyuman kali ini.
Nea kemudian menyalakan layar ponselnya lalu membuka chat bersama sesosok manusia yang baru saja menelponnya tadi. Seorang manusia yang Nea namakan Manusia Kerdil di ponselnya.
Anehnya Nea merasa seolah-olah mampu memasuki sedikit ruang gelap dari relung hati Ghai. Walau bisa dikatakan masih jauh langkah Nea untuk mampu menyelam lebih dalam di relung hati milik Ghai, bahkan Nea tidak tahu perihal kapan waktunya datang ketika dirinya kembali diberikan kesempatan seperti itu lagi oleh Ghai. Nea sendiri masih tidak tahu sedalam apa ruang yang tercipta di dalam diri Ghai kala dirinya bangun. Pastinya terasa sepi juga menakutkan bagi Ghai kala membuka matanya saat itu.
Selama Nea melangkahkan kakinya pergi menjauh dari gedung itu, berulang kali Nea berpikir apa langkah selanjutnya yang perlu ia ambil. Haruskah dirinya pergi menjauh atau haruskah dirinya kesana esok hari dan membantu Ghai memecahkan misteri mengenai dirinya, bisa dikatakan Nea dan Ghai baru saja berkenalan kemarin hari. Namun, bisa Nea akui bahwa dirinya tak pernah sekalipun merasa senyaman itu dengan orang lain selain sahabat dan keluarga, setidaknya selama ia hidup 20 tahun ini.
Nea berhenti didepan halte bus, dirinya terduduk disana. Entah mengapa, bulir bening layaknya kristas di pelupuk matanya mendesak keluar. Pada kenyataanya Nea tidak mau mengakui perihal fakta bahwa Ghai bukan sesosok manusia. Nea kemudian mengeluarkan ponselnya, mencoba menelpon lagi Yaza, mengingat perkataan Derren juga Ghai kepadanya.
"Halo? Ya allah, terima kasih akhirnya Nea mau nelpon gue duluan. Ada apa ya?" tanya Yaza melalui ponsel Nea.
"Lo tanya gue ada apa? Harusnya gue yang tanya ada apa?" tanya Nea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Seorang Nea (Sudah Terbit)
Teen FictionEntah apa yang menghampiriku. Mungkinkah aku sudah gila? entahlah, yang pasti semuanya berubah begitu sosoknya bertemu dengan sosok ku. seorang manusia yang dapat merubah diriku yang sebelumnya membenci hujan. Hingga tibalah saat dia dipertemukan ke...