Kembali bertemu

97 31 9
                                    

Nea segera menghapus air matanya yang baru saja terjatuh tadi. Begitu lelaki itu sedang menghentikan bermain pianonya Nea segera bersuara. Di gedung seni musik yang sepi dan hanya tersisa mereka berdua Nea berteriak, menghasilkan gema yang terdengar di telinga.

"Hoi! Lo! Iya lo." Nea segera menunjuk lelaki yang tengah terkejut sembari menunjukkan dirinya sendiri.

"Namanya siapa? Kenalan yuk!" Nea segera mengulurkan tangannya. Tak kunjung mendapat jawaban Nea berjalan dengan tangan yang masih terulur, wajahnya berseri ia merasa tugas animasinya akan menjadi indah begitu ia kerja sama dengan lelaki ini.

Anehnya, dengan cepat lelaki itu berdiri dan menghindari Nea. Melalui ekspresinya Nea bisa mengetahui betapa terkejutnya lelaki itu melihat sosok Nea yang mungkin asing di otaknya. Ia kemudian berlari, mencoba menghindar dari Nea. Merasa tak mau kehilangan kesempatan emas ini, Nea segera berlari mengejar lelaki tersebut. Menelusuri gudang jurusan musik yang tak pernah ia masuki sebelumnya.

"Woi! Tunggu! Aduh, gue udah gak kuat. Udahan dong ah!" Nea berhenti sejenak, tapi tekadnya terlalu kuat. Nea kembali mengejar lelaki tersebut hingga tidak di sadari satu persatu lampu mati pertanda gedung akan ditutup.

"Udahan woy! Mau dikunci lo di gedung ini?" Nea masih saja berteriak di tengah lorong-lorong yang kini telah ditemukan ujungnya.

Gelap dan sunyi, Nea tidak dapat melihat sosok yang ia kejar sedari tadi di ujung lorong ini. Seharusnya Nea merasa takut, mengingat Nea seorang perempuan. Pasalnya tempat gelap juga sepi merupakan sebuah pelancar aksi kriminalitas, tetapi Nea tak mengenal rasa takut begitu dirinya sudah dihadapkan perihal tugas-tugas yang ia miliki.

"Duh, gelap banget. Woi! Gue tau lo di sana kan? Jawab gue dong! Lo kenapa kabur sih? Gue kan cuman mau ngajak kenalan. Gue sebenarnya lagi butuh seseorang buat diajak kolaborasi nyusun tugas, lo anak tingkat akhir juga kan?" tanya Nea.

Tak kunjung dapat jawaban, Nea memberanikan diri melangkah maju secara perlahan. Ah, bener juga. Flash hp. Kenapa tidak kepikiran sedari tadi? Nea segera mengambil ponselnya lalu menyalakan fitur senter melalui ponsel. Anehnya, Nea tidak melihat seorangpun di ujung lorong. Nea mulai takut.

Ketika jantungnya berdegup kencang seperti saat ini, Nea benci untuk menengok ke belakang. Akhirnya Nea berjalan mundur, masih dengan senter ponsel yang menemani dirinya. Hingga akhirnya sebuah suara muncul, terdengar di telinga Nea.

"Woy!"

Nea merasa terkejut setengah mati. Baru saja ia berpikir untuk menelpon Arkan, menyuruhnya menjemput Nea, tapi suara itu menghentikan langkah Nea. Rasa takut yang sebelumnya ada segera menghilang entah kenapa, setidaknya yang kulihat bukan sosok makhlus halus.

"Kamu bisa liat aku?" pertanyaan dari sesosok yang Nea yakini adalah lelaki pemain piano tadi, kembali menimbulkan berbagai prasangka buruk di otaknya yang sudah mulai hilang beberapa saat lalu. Apakah yang ia lihat benar-benar makhlus halus?

"Maksud lo?" tanya Nea ragu-ragu

"Maksud aku, emang kamu bisa liat aku dengan nyorot cahaya senter kemana aja kayak gitu? Di sini gelapkan?" ujar lelaki itu.

Nea menghembuskan napas lega, ia segera membalikkan badan dan mencari sesosok lelaki pemain piano tadi. Namun, Nea tak kunjung mendapatkannya walau ia sudah membalikkan badan. Ah, Nea benci kegelapan. Kenapa sih setiap gedung yang tak terpakai dimatikan lampunya? Ya, mungkin untuk usaha menghemat, tapi bukankah keterlaluan jika tak menyisakan cahaya sedikitpun? Ayolah, Nea tahu kampusnya itu tidak miskin dan bukankah dunia sudah maju?

"Lo dimana? Kok gue gak bisa nemu lo?" tanya Nea

"3 langkah di depan kamu."

Nea kembali melangkahkan kakinya dalam usaha mendekat, senter ponselnya yang disorot ke arah lantai perlahan menunjukkan kaki berhias sepatu converse berwarna hitam. Nea mulai menyorot cahaya itu ke arah tubuh laki-laki tersebut hingga sampai ke area wajahnya.

Kisah Seorang Nea (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang