Raja 11.

202 45 3
                                    

Karena doa adalah tempat mengadu paling tepat kepada-Nya.

Meski yang ditunggu tak jua bertemu. Namun melalui bisikin kalbu Tuhan tahu....

Seperti apa debar menggebu yang ditorehkan kepada sang penggores rindu.

Jika jarak memutus peluk serta menghalangi temu.

Doaku disini tidak begitu, Tetap mengalir bagai tetes mata air yang tak pernah surut

Karena aku teramat percaya, dimanapun kau berada kau akan tetap baik-baik saja dalam penjagaan-Nya.

Puisi kecil dari kami yang merindu.




"Gimana Ra?" Nadya menggeleng pelan kepada Tania yang menyusul masuk ke dalam toilet setelah memuntahkan kembali isi perutnya.

Untungnya mereka saat ini berada di dalam kamar jadi baik Raja maupun yang lainnya tak akan mengetahui kalau Nadya kembali mual. Tania lantas memijit tengkuk sang sahabat dengan pelan.

"Bunda sudah kembali apa belum sih Nia?" tanya Nadya saat telah selesai dengan aktivitasnya membersihkan mulutnya dan mencuci mukanya agar tidak kentara dengan suami dan saudara-saudaranya yang lain kalau dia habis mual kembali.

Tak langsung menjawab, Tania menatap dengan seksama wajah Nadya membuat Nyonya Herdian itu mengernyit samar, "Kenapa Nia, kentara sekali pucatnya ya?"

Sebenarnya, Tania ingin menggeleng namun kali ini ia tak bisa menutupi kekhawatirannya, "Istirahat deh Ra." titahnya lembut lalu segera merangkul bahu sang sahabat melangkah keluar kamar mandi menuju ranjang. "Bunda belum pulang, ada beberapa urusan yang belum kelar di Yayasan tadi jadi kemungkinan agak lama sampai rumah, begitu tadi pesan Sanny sebelum berangkat ke studio dua." Imbuhnya, sembari mengolesi hidung hingga leher Nadya dengan minyak kayu putih.

Nadya refleks memejamkan matanya saat pening kembali menerpanya.

"Anak itu kenapa pergi ke studio sih sudah sore begini, naik apa tadi dia Nia?" decak Nadya tak suka. "Raja juga kenapa memberi izin!"

Ck, Sanny ini memang benar-benar tidak bisa diam dirumah.

"Naik mobil, cuman sebentar Ra ada yang harus Sanny ceck di studio sekarang juga." Sahut Tania dan mendengar kata mobil disebutkan Nadya baru dapat menghela napas lega.

"Ingat kondisi sekarang Ra, kau tak sendiri lagi ...," ucap Tania yang sudah duduk di tepi tempat tidur berhadapan dengan Nadya. "Aku akan benar-benar mengikat kakimu kalau kau masih keras kepala mengerjakan pekerjaan rumah secara berlebihan." imbuhnya memperingati Nadya dengan tegas namun sedetik tangannya terulur menyentuh perut Nadya yang masih terlihat rata.

Mengelusnya dengan lembut, Tania kini telah sepenuhnya menatap perut Nadya, "Nanti kita cubit mama sama-sama kalau mama bandal!" ujarnya, meski tak mendapat respon dari sang calon keponakan yang masih berusia 7minggu di dalam rahim sang sahabat, kemudia Ia tertawa saat melihat raut wajah kesal Nadya.

Ck. Masa bodohlah dengan kekesalan sang sahabat. Nadya ini kalau tidak di 'ultimatum tidak akan bisa diam.

Namun sedetik kemudian, Tawa Tania mereda saat Nadya memanggilnya.

"Nia?!" panggil Nadya pelan.

Kini tangannya juga sudah ikut berada di atas permukaan perutnya yang di balut pakaian casual berwarna peach tersebut. Menggenggam lembut punggungn tangan kanan sahabatnya yang masih mengelus lembut perutnya, "Aku pernah punya impian kita buncit sama-sama Nia, nanti nyusul ya Nia? Nanti double maternity." ucapnya dengan suara yang terdengar parau.

RAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang