Antara kamu, dia, dan perusaknya

32 5 0
                                    


Terkadang, hati merintih tak tega. Ibaratkan saja, mencuri makanan dari orang yang bahagia. Bukan maksud mencuri, memang. Tapi, rasanya tetap saja. Ketika menikmati semua rasa yang dia cipta.

Tak bermaksud. Sungguh! Aku hanya terdiam menatap kalian. Menyaksikan senyuman dan canda tawa yang selalu kalian pancarkan. Tak pernah ada rasa iri. Tak sekalipun tersirat sara dengki. Bahkan, aku doakan, kamu bahagia bersama dia, yang tulus mencinta.

Jujur, aku tak pernah sanggup menatap wajahnya hingga lama. Ketika kamu bilang, rasa yang kamu miliki itu hanya terpaksa. Senyum yang kamu tampakkan padanya itu hanya bualan belaka. Tercerai berai hatinya. Hancur lebur semua harapannya. Jika dia tau, dia hanya pelampiasan yang tak sanggup kamu terima.

Aku tak menuntut, kamu berpaling darinya. Sungguh, aku tak memiliki hak untuk itu. Namun, kenapa kamu kemari? Mengharapkan balasan dari hati orang yang belum pasti? Memelas dengan wajah manis yang tak bisa aku hindari. Aku bahagia. Memang aku bahagia. Tapi aku tak tega. Tak sekalipun sanggup mengingat, bahkan menatap wajahnya.

Tapi biarlah, semua memang begini adanya. Susah jika berbicara soal rasa yang ada. Di sisi lain, dan di sisi lainnya. Saling memendam rasa. Saling tidak terima.

Antologi Kalimat di JogjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang