WIMY-7-

94 20 19
                                    

Menjelang pagi, kami semua keluar dari tenda untuk berburu sunrise dari pinggir tebing. Banyak bebatuan di sana, cocok untuk tempat berfoto ria.

Setelah itu, dengan resminya anggota baru bergabung, kami melaksanakan apel pagi sebagai penyambutan bersama Guru pembimbing serta angkatan alumni pecinta alam sebelum-sebelumnya.

Acara kemudian ditutup dengan beberapa sesi tanya jawab yang diisi oleh Kak Arjuna selaku ketua. Tanya jawab seputar mountaineering, survival, PPGD serta segala materi tentang ke-Pecinta Alam-an.

"Kak, kan kalo di gunung itu dingin. Makanan yang cocok dikonsumsi pas lagi di atas puncak itu enaknya apa ya, Kak?"

Salah satu teman yang duduk di sebelahku bertanya. Ku lihat Kak Arjuna yang membalikkan badan, karena posisi kami yang melingkar membuatnya berada di tengah dan harus menengok untuk menjelaskan.

"Semua makanan pasti enak, ya, kalo dimakan pas lagi laper." Kak Arjuna terkekeh, membuat kami ikut tertawa. "Tapi, memang ada beberapa makanan yang perlu diperhatikan saat kita berada di atas puncak. Contohnya, yang simpe aja dan pastinya murah meriah. Yaitu mie instan. Selain gampang buatnya, mie instan juga salah satu alternatif favorit para pendaki kalo mau uang sakunya irit."

Tawa keras terdengar lagi. Memang benar sih, kalau mau yang nggak ribet saat di gunung, salah satu makanan alternatif hanya mie instan. Cepat dan juga praktis.

"Nah, kalo mau yang sedikit ribet sebenernya kita bisa masak sendiri, masak nasi. Bawa termos sendiri. Buat yang anget-anget. Ngopi, misalnya."

Pertanyaan lain terus berlanjut sampai beberapa menit. Aku yang dari tadi ingin bertanya langsung mengangkat tangan begitu Kak Arjuna selesai menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Ya, Kirana?"

Aku tersenyum canggung. "Aku mau nanya, Kak. Kenapa pecinta alam identik sama pendaki? Bukannya seorang pecinta alam nggak harus selalu naik gunung? Dan apakah pendaki itu juga termasuk sebutan lain dari seseorang yang suka sama alam?"

Kak Arjuna bertepuk tangan dua kali. "Wah, nice question."

Aku menipiskan bibir, menahan degup jantung yang menggila. Jangan baper, Kirana. Jangan ....

"Seperti yang kita tahu bersama, atau bahkan orang awam pasti menyebutnya sama. Memang pecinta alam selalu dikaitkan dengan sebutan pendaki gunung. Tapi, sebenernya mereka berbeda." Kak Arjuna menatap sekeliling. "Ada yang tahu perbedaannya?"

Semuanya terdiam dan menggelengkan kepala.

"Oke. Gini, seorang pecinta alam itu, dia selalu menjaga alam di sekitarnya dan ikut melestarikannya. Contoh kecil, dia nggak akan pernah membiarkan sampah berserakan di sekitar lingkungannya. Bagi pecinta alam sendiri, naik gunung itu hanya bonus. Kenapa berkaitan? Karena gunung itu termasuk bagian alam. Sampai sini paham?"

"Paham, Kak." Serentak jawaban terdengar.

"Nah, kalau pendaki gunung itu dia adalah seseorang yang bermodal tenaga yang kuat dan semangat yang membara untuk mendaki gunung yang diidamkan. Kadang ada beberapa yang belum bisa memperhatikan perbekalan dan keselamatan mereka sendiri selama bepergian. Istilahnya, yang penting sampai puncak." Kak Arjuna diam sejenak sebelum melanjutkan. "Tapi, nggak semua seperti itu ya. Ada juga pendaki gunung yang memang sudah paham sama safety yang mereka perlukan. Jadi, keduanya berbeda. Kalau pecinta alam bisa sekaligus disebut sebagai pendaki. Tapi belum tentu sebaliknya. Menurut saya pribadi, sebutan pendaki lebih keren." Kak Arjuna terkekeh lagi. "Nah sekarang, udah paham, kan, Kirana?"

Aku tersenyum lagi. Masih merasa canggung karena tak nyaman, aku malah bertanya kembali. "Kak Juna ... kenapa masuk organisasi pecinta alam? Apa karena kakak cinta alam atau hanya kedok agar bisa disebut pendaki?"

Mini StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang