WISY-2-

50 18 14
                                    

Aku mengucek mataku yang masih terasa lengket karena baru bangun tidur. Meregangkan tangan, aku kembali mendengar suara tawa dari luar kamar yang sudah sejak tadi mengganggu tidur siangku.

Turun dari ranjang tanpa memedulikan penampilan yang masih acak-acakan, aku membuka pintu lalu keluar. Melangkah menuju ruang keluarga dimana Mama sedang menonton televisi sebelum aku tidur tadi.

Langkahku tertahan saat melihat sosok lain tengah duduk di samping Mamaku. Mengangkat kaki ke atas sofa dengan posisi bersila dan mulut yang sibuk mengunyah.

Mereka tampak asik tertawa menonton acara talkshow di televisi dan tidak menyadari keberadaanku. Namun, selayaknya memang aku bukanlah makhluk tak kasat mata, sosok yang duduk bersama Mama itu menoleh padaku dengan sisa tawa yang terkulum.

 Namun, selayaknya memang aku bukanlah makhluk tak kasat mata, sosok yang duduk bersama Mama itu menoleh padaku dengan sisa tawa yang terkulum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Na, baru bangun?"

Mama juga ikut menoleh ke arahku. "Ya ampun anak perawan jam segini baru melek. Abin nungguin dari tadi ini, lho."

Aku mengerutkan kening mendengar perkataan Mama. "Nungguin?"

Mama tidak menjawab. Beliau beranjak dari sofa dan melangkah melewatiku untuk menuju dapur. Tak lupa memberikan sedikit sentilan pada telinga, ciri khas hukumannya jika aku sedikit berbuat nakal.

Aku mengusap telinga dengan menggerutu, menoleh kembali ke arah sofa. "Apasih?"

"Aku nungguin kamu dari jam satu."

"Nungguin apa?"

"Makan siang bareng."

"Sekarang jam berapa?"

"Setengah lima sore."

Aku terdiam sebentar sambil menatap cowok yang mengenakan kaus abu dan celana hitam santai itu berdiri dan menghampiriku. Menahan gugup, aku kembali membuka mulut. "Mau makan dimana?"

Dia menatapku lekat sambil menunduk. "Mau keluar?"

Aku mundur sedikit karena merasa terlalu dekat dan menggeleng.

"Nah, makanya ayo ke dapur. Mama udah masak banyak."

"Mamaku," protesku.

Dia semakin menunduk, mengulurkan tangan untuk menyentuh rambutku dan menyelipkannya pada belakang telinga. Diusapnya telingaku yang tadi terkena sentilan Mama. "Iya, Mama kamu."

Menjauhkan wajah dan menurunkan tangan, dia tersenyum lebar. "Mata kamu ada beleknya." Kemudian berlari menuju dapur sebelum sempat aku menendangnya.

Aku mengusap wajah yang terasa memanas. "Abin!"

***

"Abin, nasi nya mau nambah?"

"Enggak, deh, Tan. Nanti nggak bisa nyetir motor kalo perutnya kepenuhan."

"Sayurnya juga nggak mau?"

"Enggak, Tante. Udah kenyang hehe."

"Ini anaknya nggak ditanyain, Ma?"

Mama menoleh ke arahku. "Kamu, kan, bisa ambil sendiri."

Bibirku terkatup rapat. Menoleh pada Abin dan memberinya tatapan kesal. "Dia, kan, juga bisa ambil sendiri."

"Abin suka sungkan kalo makan di sini. Sekalinya mau, eh kamu yang nggak ada. Kadang lagi main sama Lena, tidur nya lama, kan kasian Abin nungguin."

"Iya iya, aku terus yang di salahin." Aku beranjak berdiri untuk membantu Mama membereskan piring kotor bekas makan kami bertiga yang lumayan banyak. Sebenarnya ini bukan lagi disebut sebagai makan siang. Namun karena kasian pada seseorang yang katanya sudah lama menungguku hanya karena makan, ya sudah, sekalian saja makan banyak untuk stok malam.

Abin ikut membantu membawakan piring menuju wastafel. Lebih menariknya lagi, cowok itu menawarkan diri untuk mencuci.

"Oh, boleh. Nanti dibantu sama Aruna, ya. Tante mau nelfon Om, nanya pulang jam berapa biar kalo kemaleman lauknya mau dipanasin dulu."

Ini yang anaknya Mama itu aku atau Abin, sih?

Menahan rasa kesal, aku mulai mencuci satu persatu piring kotor bekas makan tadi. Menyerahkan piring yang sudah dibilas kepada Abin untuk ditata pada rak di sampingnya.

"Bentar deh, Na."

"Ap-"

Ucapanku terhenti saat Abin bergeser arah ke belakang tubuhku. Belum sempat menoleh, cowok itu sudah terlebih dahulu menyentuh rambutku. Menggabungkannya menjadi satu dalam genggaman telapak tangan cowok itu. Tidak terlalu kuat, namun mampu membuatku tercekat.

"Kamu bilas piringnya dulu nggak apa-apa, nanti aku yang tata."

Tubuhku masih kaku saat berkata. "Rambut aku-"

"Nggak apa-apa, aku pegangin rambut kamu biar nggak kena busa sabun."

Aku mengerjapkan mata sebelum mulai kembali pada kegiatan mencuci piring. Namun, merasa tak nyaman saat ada seseorang yang mengawasi dari belakang dengan memegang rambut seperti ini.

Setelah sekian menit berada dalam posisi seperti ini, akhirnya aku selesai membersihkan semua piring kotor tadi. Bukannya segera memberitahunya pada cowok di belakangku, aku malah terdiam.

"Udah?"

Aku terlonjak, kemudian mengangguk pelan sebagai respon. Abin melepas genggaman tak eratnya pada rambutku dan mulai menata piring yang sudah selesai ku bersihkan.

Sambil merutuk di dalam hati karena lupa menguncir rambut, aku memerhatikan Abin dari belakang. Sungguh, aku bukannya mau memberi cowok sebaik dia dengan sebuah harapan semu. Aku hanya takut apa yang akan menjadi keputusanku nanti, malah membuat kami berdua menjadi tak sama lagi.

Aku menghela napas. Cowok ini ... apa masih mau menanti sampai aku memberinya jawaban pasti?

***

Happy Reading**

Publish : 20 Juni 2020
Re-Publish : 20 November 2020

Mini StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang