Senin pagi yang niatnya akan aku lewati dengan hati lapang, seketika buyar saat mendapati Moka berdiri menghadang di depan kelas.
Ku hela napas sekaligus menekan rasa sabar agar tak langsung menghujat Moka terang-terangan.
"Di," sapa cowok itu ketika aku sudah berdiri di depannya.
Untuk berbasa-basi, aku mengangguk sekilas dan tersenyum tipis. Hendak melangkah lagi sebelum merasakan lenganku ditahan.
"Mau ngobrol bentar. Boleh?"
Aku menyingkirkan telapak tangannya perlahan. Menatap cowok itu tepat di mata. Sebisa mungkin untuk tak goyah pada pendirian. "Udah jam tujuh, Ka. Bentar lagi masuk. Ke kelas, gih."
Usiran halusku tak dihiraukannya. Padahal aku tau, ia paham dengan apa yang ku maksud. Aku sudah tak mau lagi mendengarkan apa pun yang akan ia jelaskan. Sudah cukup kejadian kemarin sebagai kesempatan terakhirnya.
"Cuma bentar, Di."
"Diana."
Panggilan seseorang dari dalam kelas mengalihkan perhatian. Aku menoleh, mendapati Ayundra berdiri di dekat pintu.
"Ngapain? Masuk."
"Bentar, Yun. Kamu masuk aja." Aku menatap Moka lagi. "Kemaren udah jelas apa yang aku liat. Nggak ada lagi pejelasan."
"Di, kamu tau sendiri kalo aku orangnya nggak tegaan. Apalagi kalau itu temen dari adikku sendiri."
Ucapan frustasi yang terdengar keluar dari mulut Moka sejenak membuatku terdiam. Aku tau Moka sebenarnya berniat baik menolong seseorang. Namun, tindakannya tak dibetulkan ketika disaat yang bersamaan, aku--sebagai pacar cowok itu sendiri--malah diabaikan.
"Iya, aku tau, kok." Aku menampilkan senyum. "Makanya, lebih baik kita udahan aja."
Moka hendak membuka mulut namun aku langsung melanjutkan. "Kamu tau, Ka, apa yang bikin aku mundur?"
"Sebenarnya bukan karena kamu yang sering menomorsatukan orang lain, justru aku ragu sama diri sendiri."
"Ragu?" tanya Moka, lirih.
"Aku pernah bilang kalo aku bakal selalu percaya sama kamu. Tapi, untuk sekian kali dihantui rasa cemburu, akhirnya aku tau kalo kita emang nggak seharusnya bersatu."
"Cemburu wajar, Di. Tandanya kamu beneran cinta."
"Cinta buta," tegasku. "Udah, ya, Ka. Aku nggak mau bikin drama pagi-pagi. Kita udah putus. Tolong sekarang jangan tunjukin muka di depan aku lagi."
Aku melangkah melewatinya untuk masuk ke dalam kelas. Namun, lagi-lagi lenganku ditahan. Berbalik, aku tak kuasa melihat mata Moka yang berkaca.
Tanpa perhitungan, Moka tiba-tiba maju hendak menubrukku. Akan tetapi gerakannya tertahan saat Ayundra datang dan berdiri tepat di depanku.
"Kalau dia bilang cukup, berarti cukup."
Ternyata sedari tadi Ayun masih berdiri mengamati percakapanku dan Moka.
Moka mendengus. Hal berikutnya yang ku lihat adalah tatap tajam dari kedua mata cowok itu yang saling memandang.
"Bisa, kan, lo nggak usah ikut campur?" tanya Moka.
"Nggak bisa," balas Ayun enteng.
Merasa akan terjadi hal yang tak diinginkan antar keduanya, aku maju menghalangi. Tepat sekali dengan suara bel masuk yang berbunyi.
"Yun, masuk, yuk," ajakku sambil menarik tangannya.
"Di,"
Tanganku yang bebas dicekal. Menoleh, Moka memberi tatapan melas.
"Jadi ... udah nggak ada kesempatan?"
Gelengan langsung ku beri sebagai jawaban. Ayun melepas cekalan Moka pada tanganku lalu mengajakku masuk.
Sebelum terlanjur jauh, aku menyempatkan diri menoleh keluar lagi. Moka masih berdiri mematung di sana. Aku memberi isyarat untuk menyuruhnya pergi. Lalu dengan senyum yang dipaksakan, Moka menurut.
"Nggak usah diliatin terus." Ayun menarikku untuk segera duduk. Cowok itu tanpa diminta melepas tas dari punggungku. Menyematkannya pada senderan kursi sebelum berbalik pergi menuju mejanya sendiri.
Aku tersenyum mendapati perhatian kecil itu.
Ayundra, tetangga sekaligus teman masa kecilku itu selalu ada meski tak pernah diminta.
Selalu menemani meski tanpa sepatah kata.
Selalu mengerti meski perlahan pergi.
Mungkin, nanti setelah pulang sekolah, aku akan membelikannya piscok sebagai ungkapan terima kasih.
***
Ayundra Adhisaka*
Happy Reading**
Publish : 6 Desember 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Mini Stories
Roman pour Adolescents*WELLCOME TO WHEN SERIES* (Cerita Mini dengan kurang lebih 5-7 chapter) Pada pertemuan pertama, semuanya terkesan biasa. Malah, bisa dibilang tak ada yang istimewa. Sampai pada pertemuan berikutnya, aku dibuat terpana pada lengkungan garis bibirnya...