WICY-3-

8 1 1
                                    

Jum'at sore. Dua jam setelah pulang sekolah, aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang di depan pintu rumah. Baru saja ingin mengusirnya pergi, orang itu sudah terlebih dahulu menahan tanganku yang tengah menahan gagang pintu.

"Kamu nggak sopan banget ada tamu malah nutup pintu."

Aku melepaskan cekalannya. "Ngapain, sih, Ka?"

Dia--Moka--tanpa memedulikan ekspreksi terganggu pada wajahku, tersenyum. "Mau ngajak malam sabtuan."

Dahiku mengernyit mendengarnya. "Aku sibuk. Kamu pulang aja, ya."

"Sibuk?" Moka memerhatikan penampilanku dan terkekeh. "Sibuk rebahan?"

Aku mendengus. Jelas Moka ini mengejekku. Berpacaran lama dengannya, sudah pasti membuat Moka tau kalau diriku tak suka memanfaatkan hari libur dengan bersenang-senang keluar, melainkan berdiam diri di rumah. Hal itu dimanfaatkannya untuk datang.

"Kamu mau ngajak jalan kemana? Aku nggak ada waktu."

Kini, dahi Moka yang mengernyit. "Jalan? Emang aku bilang mau jalan?"

"Kamu tadi bilang malam sabtuan," jawabku, malas.

Moka mengulum senyum. "Emang kalo gitu, artinya ngajak jalan, ya?"

Aku terdiam. Mengingat-ingat lagi ucapan Moka sebelumnya. Kemudian sadar, Moka tak menyebut kata 'jalan'. Aku menipiskan bibir sebelum berkata, "mau kamu apa, sih?"

Moka terkekeh. Sejujurnya, suara tawa, kekehan kecil, apalagi senyuman dari cowok itu adalah suatu hal yang paling aku hindari. Takut kalau dengan Moka menunjukkan semua itu, aku akan terjatuh ke peluknya lagi.

"Nggak disuruh masuk dulu?" Moka menunjuk pintu yang ku tutupi dengan tubuh.

"Pulang aja, ya," pintaku. Sedang tak ingin berdebat lebih lama.

Moka akan membuka mulut untuk membalas ketika dari belakangku terdengar suara ibu memanggil. Ibu membuka pintu dan melihat Moka. Seketika napasku terhela.

"Eh, ada tamu." Ibu mengulurkan tangan untuk membalas tangan Moka yang ingin menyalaminya. "Kok, nggak disuruh masuk, Di?"

"Dia nggak mau masuk," jawabku. Sengaja berbohong. Aku memberi kode melalui mata pada Moka. Namun, cowok itu mengabaikannya.

Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah Moka yang dituntun masuk oleh ibu ke dalam. Cowok itu sempat melirikku sambil tersenyum. Entah kenapa, senyum itu terlihat seperti ejekan.

Akhirnya, sisa sore ini aku habiskan dengan mengobrol bersama ibu dan Moka di ruang tamu.

***

Sabtu sore. Ayun memintaku untuk menemani belanja bulanan atas permintaan ibunya. Dengan mengantongi catatan kecil, aku dan Ayun berangkat menggunakan motornya.

"Sayur, daging, susu. Mmm ... apalagi? Oh, sabun. Sebelah sini, deh." Tanganku membimbing troly berisi belanjaan yang sedang didorong oleh Ayun untuk berbelok ke arah kanan.

Sesampainya di rak yang dipenuhi dengan segala macam jenis sabun, aku mengambil beberapa sesuai dengan catatan kecil yang kupegang. Dari sabun pewangi pakaian beralih ke sabun mandi.

"Kamu sekarang pake sabun apa, sih?" tanyaku pada Ayun yang berdiri di samping troly sambil mengamati.

"Biasa," jawab cowok itu singkat.

Tanganku terulur untuk meraih sabun mandi yang biasa Ayun pakai sebelumnya lalu meletakkan ke atas troly.

Masih ada beberapa keperluan lain di catatan yang mengharuskanku serta Ayun mondar mandir dari satu rak ke rak yang lain. Setelah semua selesai, barulah kami berdua bergerak menuju kasir.

"Mau jajan?" tanya Ayun sambil meletakkan belanjaan satu persatu ke meja kasir.

Aku langsung menanggapinya cepat. "Mau, lah. Apalagi kalo gratis." Lalu tertawa.

Ku lihat Ayun mengulum senyum. "Ambil."

Aku beranjak untuk mengambil beberapa bungkus snack dari rak lalu membawanya ke kasir.

Setelah membayar, aku dan Ayun keluar. Sama-sama menenteng dua keresek besar berisi belanjaan bulanan di kedua tangan masing-masing.

Belanjaan tersebut Ayun letakkan di depan motor matic yang ia bawa. Satu keresek diletakkan di bawah jok motor. Ia tak mengizinkanku untuk membawa salah satunya dengan berkata. "Nanti pegel."

Aku hanya menurut saja.

Hari sudah lumayan petang saat Ayun menyalakan mesin motor dan aku duduk di belakangnya. Menikmati semilir angin, aku melingkarkan tangan di pinggang cowok itu. "Dingin."

Ayun mengusap punggung tanganku dengan tangan kirinya. "Kalo kamu maksa buat pegang satu keresek belanjaan, nggak bakal kayak gini."

Aku mengerutkan kening. Tak mengerti dengan ucapannya. Lewat kaca spion, ku lihat Ayun melirikku. "Apa, sih?"

Namun, cowok itu hanya menjawab. "Nggak."

***

Ayundra Adhisaka😌

Ayundra Adhisaka😌

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy Reading**

Publish : 10 Desember 2020

Mini StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang