5 - Diary

296K 26.6K 1.4K
                                    

Welcome back.......
Selamat membaca 🥰🥰🥰

*****

"Ih serem bener ini lorong." Aku merapatkan jaketku, dan memegang erat map absen Toefl.

Mendadak aku mengingat peringatan Pak Dudung yang bilang hati-hati.

"Sepi banget ya. Ya Tuhan, jauhkan hantu kampus dariku. Aku tadi bercanda." Aku semakin memeluk erat map absen yang sedari tadi kubawa. Lorong di lantai delapan ini terasa hening juga sepi.

Tadi aku sempat bertanya ke bagian Tata Usaha yang memang masih buka sampai jam 10 malam. Benar. Pak Dudung benar. Ruangan Pak Gian ada di lantai delapan.

Lantas aku mencari-cari ruangan yang bertuliskan Gian Alvares M. di lantai delapan ini, yang luasnya aku juga nggak tahu. Bahkan, posisiku sekarang nggak tahu dimana, bisa-bisa aku tersesat ini.

Emang kurang apes apalagi hidupku sejak bertemu Pak Gian. Lihat saja sekarang, pegawai-pegawai yang ada di Tata Usaha saja tidak mau membantuku mencari ruangannya.

"Jangan-jangan ini suruhan Pak Gian, dan dia emang sengaja nggak tanda tangan," pikirku mulai berseliweran yang bukan-bukan. Suka halu jadinya gini. Overthinking.

Mataku mulai berkaca-kaca. Ini sudah jam delapan lewat lima belas. Tapi aku belum juga menemukan ruangan Pak Gian.

Kurang ajar. Lihat saja nanti, kalau aku sudah menemukannya, akan kulempar map absen ini. Terus mengundurkan diri jadi asistennya.

Aku berjalan lagi, lebih baik mencari dulu. Begitu pikirku.

Krek...

Spontan aku melihat ke belakang, aku nggak salah dengarkan. Seperti suara pintu terbuka. Aku mulai merinding membayangkan jika memang benar itu hantu kampus.

Inikah yang namanya perkataan adalah doa.

Lain kali, tidak akan kuulangi lagi.

Belum sempat aku melangkah, aku mendengar lagi suara-suara yang samar. Seperti ada yang jatuh. Karena penasaranku lebih mendominasi dari ketakutanku, kulangkahkan kakiku ke arah sumber suara.

Aku melihat pintunya sedikit terbuka. Kuberanikan mengintip dan -----

"Arrghhhhhhh..."

"Astaga. Kamu ngapain disini?"

"Bapak yang ngapain disini?" tanyaku balik dengan suara agak tinggi.

"Seriously? This is my room."

Akupun menurunkan tanganku yang sedari tadi menutup mataku, memberanikan diri menatap Pak Gian yang tak tahu malunya masih bertelanjang dada.

Kulihat Pak Gian dengan santainya melanjutkan pekerjaannya. Ambil buku terus lempar ke bawah. Kurasa Pak Gian mencari sesuatu di rak bukunya.

Tapi gila aja gitu, mesti banget buka kemejanya.

Dan yes, itu membuatku terkejut. Disodori pemandangan seperti itu secara langsung, tentu membuatku terkejut bukan main. Ini pertama banget, lihat begituan. Ditambah lagi badan Pak Gian sebelas duabelas dengan bintang film action yang badannya six pack bahkan eight pack.

"Pak, boleh tolong pakai bajunya nggak, saya nggak nyaman," aduku sambil melihat-lihat ruangannya.

"Kenapa juga saya harus buat kamu nyaman?"

"Anjirrrr. Sialan," ucapku dalam hati. Bisa-bisa kena dampar aku dari lantai delapan ini jika ngomong beneran.

"Pak, Bapak belum tanda tangan di absen. Saya kesini cuman minta tanda tangan." Kuletakkan map absen di mejanya.

Dosen Bucin (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang