Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir

The #10 Cup

16.5K 2.1K 153
                                    

Itu tidak berarti apa-apa. Pasti karena terlalu banyak minum kopi, jantung Ananda berdebar. Tidak mungkin karena hal lain. Apalagi Alexi—hal paling tidak masuk akal. Alexi itu musuh besarnya jadi tidak akan bisa membuat jantungnya berdebar.

Lagipula, hatinya tidak akan bisa berdebar lagi untuk seorang pria. Hatinya sudah lama mati dan membeku. Tidak ada lagi orang yang akan bisa membuatnya berdebar dengan cara seperti 'itu' lagi.

Hanya dia satu-satunya orang yang bisa membuat hatinya berdebar. Satu nama yang membuat hatinya membeku. Satu nama yang tidak pernah bisa Ananda lupakan.

Ananda meraih cangkir kopi dan menghirup aromanya dalam-dalam. Aroma pahit yang pekat, tetapi menimbulkan kenikmatan mendalam. Menikmati kopi terasa seperti mendaki sebuah gunung. Terasa pahit dan getir di awal, tetapi setibanya di puncak, kepuasan dan kenikmatan akan mengalahkan segalanya.

Ananda melirik jam tangannya. Masih ada satu jam lagi sebelum proyek dimulai. Sejak tadi malam ia tidak bisa tidur, jadi ia memutuskan untuk pergi menikmati kopi khas dari pulau ini. Bepergian ke daerah lain tidak akan sah tanpa menikmati kopi khas daerah tersebut. Meskipun, masih terlalu pagi dan hanya dia satu-satunya wanita di sana.

Pahitnya kopi selalu membuat Ananda ingat bahwa hidupnya juga sepahit itu. Mungkin, di mata orang yang melihatnya, ia sosok wanita murah senyum dan tidak memiliki beban hidup. Ia selalu ceria dan masa bodoh dengan segala hal selain pekerjaannya.

Namun, semua itu Ananda lakukan agar tidak ada lagi yang bertanya padanya kenapa wajahnya selalu tampak murung. Atau agar semua orang tahu bahwa ia sudah melupakan masa lalunya. Meskipun, kenyataannya tidak pernah sekalipun Ananda melupakannya.

Kadang, orang yang tertawa paling keras adalah dia yang memiliki luka paling dalam. Dia yang memiliki air mata yang paling banyak disimpan.

Ardhitya Purnama. Satu nama yang selalu ada di hati Ananda sampai detik ini. Satu nama yang seharusnya sudah ia lupakan, tetapi tidak bisa dilakukannya. Bahkan meskipun Ardhit adalah pria brengsek, Ananda tetap tidak bisa melupakannya.

Bukan karena Ananda masih mencintainya, bukan itu. Ia tidak bisa melupakan Ardhit karena pria itu membuatnya yakin bahwa ia tidak pantas dicintai. Bahwa Ananda hanyalah butiran pasir tidak berguna. Tidak peduli sepintar dan sekaya apa pun dia.

Ananda tersenyum getir. Ia tidak pernah jatuh cinta sebelumnya. Ketika mengenal Ardhit, ia pikir telah menemukan pangeran berkuda putihnya. Dan semua memang seperti itu awalnya. Ardhit tampan, pintar, humoris, dan sangat sopan pada orang tuanya. Ananda saat itu masih berusia dua puluh tahun. Ia merasa menjadi gadis paling beruntung karena memiliki Ardhit di sisinya.

Namun itu hanya kedok. Ardhit sebenarnya playboy brengsek sakit jiwa yang memacarinya demi uang dan kepuasan seks. Ananda pun selalu memberikan apa saja yang Ardhit minta dan butuhkan.

Yah, ia memang bodoh. Bodoh karena terlalu mudah jatuh cinta. Bodoh karena terlalu mudah dibohongi dan berpikir Ardhit benar-benar mencintainya.

Sejak itu, Ananda tidak pernah jatuh cinta lagi. Ia menutup hati rapat-rapat dari segala macam flirting tidak berguna yang akan membuatnya lemah. Ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Seseorang yang tidak membutuhkan pria di sampingnya untuk bahagia.

Atas alasan itu, ia benci ketika Mama mulai menghalangi hubungan Aidan dan Ameera. Ia tidak ingin menikah. Buat apa menikah, jika bisa menghidupi dirinya sendiri dengan mudah? Lagipula, dengan status single, ia bebas pergi ke mana saja menikmati kopi.

Akan tetapi, jika memang Ananda harus menikah agar adik-adiknya bisa menikah, ia bisa melakukannya. Nikah kontrak seperti yang pernah ia katakan pada Papa. Ia hanya perlu menikah enam bulan atau satu tahun paling lama sampai adiknya menikah dan setelah itu, ia bisa bercerai. Bukan pilihan buruk 'kan?

Tugasnya hanyalah menemukan pria yang berkomitmen sama seperti dirinya dan membuat perjanjian kontrak di atas materai. Mungkin banyak uang yang harus dikeluarkan, tetapi tidak masalah. Ananda akan melakukan apa pun agar bisa membuat adik-adiknya menikah.

"Mau bolos dari tanggung jawabmu, hmm?"

Ananda menoleh dan cemberut saat mendapati Alexi berdiri di belakangnya. Secangkir kopi masih mengepul di tangan pria itu. Tanpa 'meminta izin', Alexi duduk di sebelahnya. Ananda menatap bangku lain yang masih kosong lantas kembali lagi menatap Alexi yang menghirup aroma kopinya.

"Masih banyak bangku kosong. Kenapa duduk di sini?" tanyanya dengan ketus.

Seperti kata Adrienne, ia tidak akan bersikap 'iya-iya saja' pada pria ini. Lagipula mereka tidak sedang di proyek.

Mata Alexi yang semula terpejam menikmati aroma kopi segera terbuka. Ia menatap Ananda dengan jengkel. "Aku mau duduk di sini!" jawabnya tak kalah ketus. "Sebentar lagi proyek dimulai, seharusnya kau sudah bersiap-siap sekarang. Seorang kepala proyek harus datang paling awal dan pulang paling akhir."

"Masih satu jam lagi sebelum proyek dimulai!"

Alexi mengangkat alisnya. "Benarkah? Coba lihat lagi jam tanganmu. Sepertinya yang di tanganku masih waktu Bali."

"Nih..."

Ananda terkesiap saat jarum jam di tangannya sudah menunjuk angka delapan kurang sepuluh menit. Sial! Ia terlalu banyak melamun!

"Maaf, maafkan aku. Aku akan bersiap sekarang."

Ananda menundukkan kepala meminta maaf dan bersiap bangkit, sampai Alexi meraih tangannya dan berkata, "Duduklah. Percuma pergi sekarang. Kau akan tetap terlambat."

"Tetapi..."

"Kau berjalan kaki kemari 'kan?"

Ananda mengangguk. Ia tidak memiliki kendaraan di sini, dan ia pikir tadi bisa berjalan-jalan menghirup udara segar, lalu menikmati kopi sebelum mulai beraktivitas.

"Butuh hampir dua puluh menit untuk jalan kaki dari sini ke proyek."

"Dan seharusnya tinggal lima belas menit lagi aku sampai di proyek kalau kamu tidak mengajakku mengobrol!"

Berdebat dengan Alexi di pagi hari hanya akan membuat harinya buruk.

Alexi terkekeh. "Kalau aku tidak datang, aku yakin kamu akan tetap duduk melamun di sini. Sampai kopimu semakin dingin, kamu baru akan sadar saat jam sudah menunjukkan pukul lima sore ketika proyek berakhir."

Ananda merasa aneh mendengar pria ini berbicara dengan bahasa Indonesia. Alexi lebih pantas bicara dalam bahasa Inggris, membuatnya tampak semakin seksi.

Ananda mencibir. Ia mendadak kesal dengan pemikirannya tentang seksinya pria itu dan apa yang ia dengar dari Alexi.

"Lebay! Aku tidak seperti itu! Dan aku tidak melamun!"

Sekarang gantian Alexi yang mencibir, "Aku bahkan tahu kamu melamun ketika aku belum masuk ke warung kopi ini."

"Lalu maumu apa sekarang?? Aku bisa benar-benar terlambat kalau menghabiskan waktu dengan obrolan tidak penting ini."

"Astaga, apa kamu selalu bicara sekasar itu kepada semua klien-mu?"

"Tidak. Hanya padamu! Tidak ada klien lain yang membuatku naik darah sepertimu."

Alexi terbahak-bahak, hingga bahunya bergetar. Selama Ananda mengenal pria ini, baru hari ini ia melihat Alexi tertawa selepas itu. Alexi tampak begitu manis jika tidak sedang mengeluarkan taringnya. Ananda lagi-lagi bergidik dengan pemikirannya. Ia pasti sudah gila!

"Habiskan kopimu sebelum dingin. Kita pulang bersama ke proyek."

Ananda terbatuk tiba-tiba. Sial! Kata 'kita pulang bersama' itu terdengar sangat intim di telinganya. Seolah mereka akan pulang ke rumah yang sama. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Ia tidak bisa terus bersama Alexi di sini atau ia akan gila.

"Aku duluan saja! Aku akan berlari dan akan sampai di sana lebih cepat darimu. Aku jamin itu!"

icon lock

Tunjukkan dukunganmu kepada Niken Darcy, dan lanjutkan membaca cerita ini

oleh Niken Darcy
@nikendarcy
Alexi dan Ananda disatukan karena proyek pembangunan resort Alexi. Al...
Beli bab baru cerita atau seluruh cerita. Yang mana pun itu, Koinmu untuk cerita yang kamu sukai dapat mendukung penulis secara finansial.

Cerita ini memiliki 65 bab yang tersisa

Lihat bagaimana Koin mendukung penulis favoritmu seperti @nikendarcy.
Aku, Kamu, dan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang