Aku terbangun karena guncangan pelan seseorang di bahuku. Aku menggeliat dan menggumam malas.
"Lima menit lagi, please"
"Okay..terserah kau saja. Aku akan pergi kalau begitu.." Suara Damian menjauh.
Mendengar ancaman lembutnya, kelopak mataku otomatis terbuka lebar. Aku bangun dalam kondisi terduduk dan setengah linglung.
Damian terkekeh melihat reaksiku. Bibirku mengerucut sebal, "Biarkan aku mengumpulkan nyawaku yang tercecer dulu. Aku akan turun dalam 15 menit."
"Alright little girl..take your time." Ia melemparkan senyum sejuta giga wattnya. Aku mendengus dan bergegas ke kamar mandi.
Setelah ritual mandi yang menyegarkan, aku berdiri dengan penuh spekulasi di depan lemari. Apa yang harus aku kenakan ya? Ini gara-gara si paman sialan itu yang tidak mau memberitahukanku kemana kami akan pergi. Aku kan bingung mau pakai baju apa.
Ah..lebih baik aku pakai yang kasual saja lah. Dengan sigap aku mengambil celana jeans biru tua dan kaus biru muda favoritku. Aku beralih ke cermin. Aku memandang bayangan wajahku. Tanpa make up, kulitku yang kecoklatan merona sewarna buah zaitun. Rambut ikalku tergerai lemas di atas bahu, aku mengikatnya menjadi ekor kuda serampangan, menyisakan beberapa helainya di kedua sisi wajahku. Yup, aku siap.
Saat aku menuruni tangga, Damian sudah menungguku. Aku hanya bisa melihat punggungnya.
"Damian.." Aku memanggilnya pelan.
Ia berbalik menghadapku dan tersenyum. Sial, senyum itu lagi. Aku memalingkan wajahku, apa pun asal tidak menatap matanya.
"Kau terlihat segar, sayang. Ayo." Ia menarik tanganku,menggenggamnya lembut. Kami menuju garasi. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku masih bertanya-tanya kemana tujuan kami.
Aku menatap ke arah Damian yang sedang mengemudi. Pagi ini ia terlihat sangat keren dengan celana jeans biru pudar dan kemeja abu-abu yang digulung sampai siku. Gawat, apa barusan aku bilang keren?
Damian menangkap tatapanku padanya, ia menyeringai, "Menikmati pemandangan, Magenta?"
Aku mengalihkan wajahku ke jendela, "Aku lapar. Kita kan belum sarapan tadi pagi."
Damian terkekeh, membuatku menoleh padanya, "Aku sudah membuatkan bekal untuk kita. Kita akan makan setelah kita sampai," Ia membuat isyarat kecil ke kursi belakang mobil. Aku baru sadar kalau di situ sudah ada sebuah keranjang dan sebuah selimut tebal yang biasanya digunakan orang saat piknik. Tiba-tiba aku teringat sebuah fakta mengejutkan.
"Tunggu.. Paman, apa kau yang memasak bekal untuk kita?" Aku nyaris menjerit, mengingat jika pamanku tercinta memiliki kemampuan memasak setara anak berumur lima tahun. Aku sedikit bergidik membayangkan sarapanku pagi ini.
Pamanku tergelak dengan keras, ia mengusap kepalaku dengan satu tangannya, sementara tangan lainnya memegang kemudi, "Tenanglah sayang, aku hanya membuat sandwich untuk kita berdua. Aku sudah lihat caranya di youtube. Kau benar-benar meremehkanku ya.."
Aku ikut tertawa mendengar nada suaranya, "Maafkan aku paman. Baiklah, kalau aku keracunan nanti, kau tahu nomor telepon ambulans kan?” Aku terbahak.
Sisa perjalanan kami lewati dengan ringan. Dan kemudian mobil yang kami tumpangi berhenti. Damian memberikanku isyarat untuk keluar dari mobil. Well..apakah kita akan jalan kaki?
Aku baru sadar kalau kami tidak lagi di jalan besar. Mobil kami berhenti tepat di samping sebuah jalan setapak kecil. Dahiku berkerut penuh spekulasi.
"Ayo, Magenta" Aku hanya mengangguk dan membiarkan Damian memimpin perjalananku. Dia berjalan tenang di sampingku, dengan satu tangan membawa keranjang piknik sedangkan tangan yang lainnya membawa selimut.
Aku meraih selimut dari tangannya, ia melemparkan tatapan bertanya padaku, "Biar aku yang bawakan" Ia mengangguk dan tersenyum simpul padaku.
"Sebenarnya kita mau kemana?" Aku melirik kanan-kiriku yang dipenuhi ilalang dan semak yang rimbun. Aku bersyukur aku mengenakan sneakers dan bukannya sandal bututku.
Damian nyengir sebentar padaku, matanya kemudian kembali fokus ke depan, "Sebentar lagi kita akan sampai, Magenta." Dengan cekatan ia menyibak semak rimbun yang menghalangi jalan kami. Kemudian ia berhenti berjalan, membuatku menghentikan langkahku juga. Ia menatap ke depan, aku mengikuti arah pandangnya.
Oh Tuhan.. Inikah tempat yang ia rahasiakan dari kemarin. Sebuah padang rumput yang indah terbentang luas di hadapanku. Rumputnya yang basah tersiram cahaya matahari, membuatnya berkilauan seperti zamrud. Beberapa bunga kecil warna-warni yang aku tak tahu namanya tumbuh subur di rerumputan. Untuk sejenak aku terdiam menikmati pemandangan sampai kurasakan sebuah genggaman lembut di tanganku.
"Bagus kan.." Damian terkekeh lembut.
Aku menggelengkan kepalaku, "Wow Dam..ini luar biasa"
Damian menyeringai kemudian menarik tanganku. Ia meletakkan barang bawaan kami di samping sebuah pohon rindang di salah satu sisi padang rumput. Ia kemudian membuka selimut dan membentangkannya, dengan sigap aku meraih ujung selimut yang lain dan membantunya.
Damian meraih keranjang piknik sementara aku duduk di atas selimut.
Ia meraih ke dalam keranjang, mengeluarkan beberapa potong sandwich yang dibungkus plastic wrap dan dua botol jus jeruk. Ia kemudian menyerahkan sepotong sandwich kepadaku.Aku menyeringai, "Semoga Tuhan menyelamatkan sarapanku"
Damian tertawa dan memukul kepalaku dengan main-main, "Ayolah Maggie, rasanya tidak seburuk itu. Dasar anak nakal."
Aku tergelak dan menggigit sandwich di tanganku untuk yang pertama kalinya. Aku memandang dua lapis roti dengan isian selada, keju, tomat, mustard, dan daging di genggamanku. Well, rasanya lumayan, enak malah.
"Bagaimana rasanya?" Damian mencondongkan tubuhnya ke arahku, menunggu reaksiku.
"Wow paman..aku terharu. Sandwichmu tidak beracun," Aku tertawa melihat ekspresinya.
Damian mencubit keras pipiku, membuatku mengaduh, "Dasar gadis nakal.. Kau kan bisa melontarkan pujian yang lebih baik dari itu."
Aku mengangkat satu tanganku tanda berdamai, "Baiklah Dam..rasanya enak kok. Enaaaakkk sekali.." Aku nyengir padanya dan ia tersenyum manis sebagai balasannya.
Damian baru saja menghabiskan sebotol jus jeruknya saat aku berdehem. Ia menoleh padaku dengan tatapan bertanya.
"Dam.. Bolehkah aku pergi ke prom?"
Sekarang aku benar-benar mendapatkan perhatiannya. Sejenak ia terdiam, mata hijaunya yang cemerlang tidak menatap ke arahku.
"Dam.." Aku mengguncang lengannya pelan.
Akhirnya ia menatapku, "Kau pergi dengan siapa?"
Pertanyaannya membuatku agak gelagapan, "Well..karena kau belum memberikanku izin untuk pergi ke sana. Jadi.. Yah..aku belum tahu.." Aku mengangkat bahu.
Ia terdiam lagi, kali ini cukup lama sampai membuatku was was.
Kemudian ia menghela napas panjang, "Baiklah kau boleh pergi.."
Ah..senyum sumringah menghiasi wajahku.
"Tapi.. Asalkan kau mendapat nilai yang baik dalam ujian akhirmu," Lanjutnya.
Itu syarat yang mudah. Aku memeluk leher Damian dan menggumamkan ucapan terima kasih, " Thanks a lot Dam..Thank you. I love you so much Dam."
Damian terkekeh dan mengelus punggungku dengan lembut, "Me too, Magenta. Me too."
Menjelang siang, kami memutuskan untuk kembali ke rumah. Tomorrow is a new day, saatnya kembali ke sekolah.
***
Who wanna guess Magenta's prom date? Hehe

KAMU SEDANG MEMBACA
My Dear Magenta
Roman d'amourYou don't know it's love until it's too late. *** Magenta Salsabila James is a good girl. Atau setidaknya dia pikir begitu. Apa yang akan ia lakukan ketika ia sadar bahwa ia mencintai pamannya sendiri? Copyright by : Meidah Marsella Cover: Pinteres...