Chapter 8

229 10 0
                                    

A/N: Ada sedikit adult scene ya. Bocil nggak boleh baper. Happy reading! 😆

***

Tidak ada yang berubah.

Kepalaku menggemakan kata itu lagi. Nyatanya aku justru merasakan perubahan yang besar. Hampir seminggu lebih, aku dan Damian seperti orang asing. Meskipun hidup serumah, kami sangat jarang bertemu. Ia selalu pergi sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tidur.

Aku pernah menunggunya sampai jam dua dini hari, tapi ia tak kunjung pulang. Ada apa dengan Damian sebenarnya? Sesibuk apakah ia sampai ia tak pernah menghubungiku, bahkan untuk sekedar mengabari kalau ia pulang terlambat? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benakku dan membuatku marah.

Malam ini aku begadang lagi menunggunya. Aku tidak akan menyerah. Aku memandang gelas ketiga kopi yang kuminum, aku tidak akan tertidur lagi kali ini.

Aku terduduk linglung di depan TV, TV-nya mati. Aku terkesiap saat mendengar pintu depan terbuka dan tertutup kembali.

Itu dia. Dia tidak sadar kalau aku duduk di sofa. Aku mengikutinya, dia melenggang pelan menuju dapur untuk mengambil minum. Punggungnya yang lebar menghadapku.

"Damian.." Suaraku terdengar sangat pelan. Namun aku tahu ia mendengarnya. Karena ia menghentikan kegiatannya dan berbalik menghadapku.

Suara terkesiap rendah lolos dari tenggorokanku saat aku memandangnya. Dia terlihat...berbeda. Rambutnya terlihat berantakan, cambangnya terlihat sudah agak panjang dan ia perlu bercukur--meskipun itu tidak mengurangi ketampanannya--. Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya. Ya, itu. Dan mata zamrudnya yang melebar menatapku.

"Ma-Magenta?" Ia nyaris berbisik.

Sudut-sudut bibirku terangkat, Aku menatapnya sendu, "Hai, Dam?"

Ia masih termenung menatapku. Namun sekonyong-konyong ia melangkahkan kakinya ke arahku. Gerakannya begitu cepat sampai aku nyaris tak menyadarinya. Ia meraup tubuhku dalam pelukannya. Bibirnya di atas bibirku.

Bibir Damian bergerak secara persuasif di atas bibirku. Bergerak begitu luwes. Sial...lututku terasa lunak seperti jelly. Hanya kedua lengannya yang menahanku agar tidak luruh ke lantai linoleum yang dingin.

Entah keberanian dari mana, bibirku ikut bergerak bersamanya. Secara responsif aku membalas ciumannya. Tanganku melingkar erat di lehernya, sementara tangannya memeluk erat pinggangku. Menahanku tetap di tempat.

Lama.

Berapa lama kami berdiri dan berciuman di sini?

Ah...Tanganku turun ke dada Damian, mendorongnya pelan. Sial, aku kehabisan napas. Ia sepertinya menyadari isyaratku. Damian menarik bibirnya dari bibirku. Napas kami tak ubahnya seperti pelari marathon.

"Maaf. Tapi aku tidak menyesal," Desahnya. Tidak diduga, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.

Aku mengernyit,"Eh?"

Damian membelai bibir bawahku,"Kau membalas ciumanku. Itu lebih dari cukup."

Mulutku terbuka ingin mendebatnya, namun ia kembali mendaratkan satu kecupan singkat di bibirku. "Aku lelah menjauh darimu. Selama berhari-hari aku berusaha untuk hidup tanpamu. Tapi malam ini kau ada di sini. Dan kau membalas ciumanku."

Ia memeluk pinggangku, menarikku lebih dekat. Wajah kami hanya dipisahkan oleh beberapa senti saja, aku bisa merasakan wangi napasnya di hidungku.

"Katakan Magenta James, apakah kau mencintaiku?"

Aku terpesona menatap mata zamrudnya yang cemerlang dan melihat sebuah harapan di sana. Aku mengingatkan diriku sendiri bahwa ia tengah menunggu jawabanku.

Aku menatap matanya, "Aku tidak tahu, apakah apa yang kurasakan ini adalah cinta...Tapi aku tahu, bahwa kau membuatku utuh. Aku membutuhkanmu. Aku ingin bersamamu."

Mata zamrud Damian melebar mendengar ucapanku. Kepuasan membuncah di sudut-sudut wajahnya. Ia memelukku erat. Aku tak perlu jadi manusia super untuk bisa mendengar detak jantungnya yang berdebar keras, senada dengan milikku. Aku tersenyum.

"Kau tidak tahu betapa senangnya aku mendengarmu mengatakan itu. Meskipun ada yang lebih ingin kudengar..." Ia menyeringai. Hatiku menghangat. Dan mungkin pipiku juga.

Aku menatap kakiku,"Sudah cukup, Dam. Ini sudah malam. Kau harus tidur."

Ia terkekeh dan melepas pelukan kami, "Terima kasih. Untuk segalanya. Selamat malam, sayang." Ia tersenyum sangat manis, jenis senyum yang membuat es kutub meleleh.

Damian mengantarkanku sampai depan pintu kamarku. Ia meninggalkan sebuah ciuman di bibirku sebelum melenggang pergi ke kamarnya sendiri. Sebuah ciuman yang amat, sangat manis.

Kurasa aku akan begadang lagi malam ini. Dan ini bukan karena efek kopi.

***

Short but sweet kan..
Kayak ciumannya Damian. Hehe

My Dear MagentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang