Chapter 4

275 9 0
                                    

A/N: There will be 'a little bit' of adult scene ya.. anak kecil gak boleh baper.

***

"Hai Dam," Aku menampakkan cengiranku, berharap dia akan luluh.

"Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?"

Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Ia masih terlihat tampan dengan setelan kerjanya tadi pagi, lengan kemejanya digulung sampai siku. Ekspresinya datar, menunggu jawabanku.

Ben bergegas turun dari mobil dan berdiri di sampingku, "Selamat sore, Damian." Ia menyapa pamanku dengan sopan.

Pamanku mengangguk kaku padanya. Kemudian mata zamrudnya beralih padaku. Aku berdehem, "Well Dam.. Kau tahu Ben kan. Aku akan pergi ke prom bersamanya," Jelasku dengan suara seceria mungkin.

Damian mengangkat satu alisnya yang sempurna, "Kita akan bicarakan itu nanti Magenta. Well, Ben..bukankah kau harus pulang sekarang?"

Aku menampar diriku secara mental. Aku menyunggingkan senyum permintaan maaf pada Ben. Ia mengangguk penuh pengertian.

"Tentu saja. Aku pulang dulu. Sampai jumpa Damian, Mag" Ia melambai padaku dan masuk ke mobilnya.

Setelah mobilnya menjauh dari pekarangan rumah kami, aku beralih pada Damian.

"Well paman..yang kau lakukan tadi sungguh tidak sopan" Aku bersedekap penuh konspirasi.

"Memangnya apa yang kulakukan, hah? Dan kenapa kau memanggilku paman?" Ia cemberut padaku.

Aku tertawa ringan, "Karena kau memang pamanku."

Ia mengerucutkan bibir. Alisnya bertaut tanda kalau ia sedang tidak senang. Aku sudah tahu kalau ia tidak suka dipanggil begitu. Aku sengaja ingin membuatnya kesal. Salah sendiri mengusir Ben seperti itu. Itu kan tidak sopan.

Aku menarik tangannya, "Sudahlah pamanku sayang..Aku lapar. Aku akan memasak makan malam,"

Ia tetap membeku di tempat. "Ayoo...Kalau kau tetap di sini, kau tidak akan dapat jatah makan malam"

Akhirnya Damian tersenyum juga. Ia mengacak-ngacak rambutku, "Iya. Dasar cerewet,"

15 menit kemudian, aku sudah berkecimpung di dapur sementara Damian membuat teh untuk kami berdua.

"Baunya harum, kau masak apa?" Tanya Damian.

"Pasta saus jamur. Tidak apa-apa ya? Bahan-bahan di kulkas terbatas. Aku tidak sempat belanja tadi," Ucapku menyesal.

Damian terkekeh, "Tidak apa-apa. Aku suka jamur kok. Nanti kita akan pergi ke supermarket untuk beli bahan makanan untuk besok pagi,"

Aku mengangguk dan tersenyum,

"Baiklah."

Kami makan dengan tenang di meja makan. Jam menunjukkan pukul tujuh malam.

"Dam..seharusnya kau menikah" Aku berkata pada Damian. Entah kenapa tiba-tiba itu terpikirkan olehku.

Damian mengangkat wajah dari cangkir tehnya, "Kenapa?" Raut wajahnya terkejut.

"Supaya ada yang mengurusmu, membuatkanmu makanan, dan lain sebagainya," Aku mengangkat bahu.

Damian menyeringai, "Aku kan punya kau. Apa kau sudah bosan mengurusku?"

Aku merengut, "Bukan begitu Dam.. Kau kan baik, tampan, kaya.  Kau harus menikah dan memberikanku sepupu-sepupu yang lucu suatu hari nanti." Ujarku sambil melahap sesuap pasta.

Damian menatapku dengan ekspresi yang tak terbaca, membuatku menghentikan ocehanku.

"Dam..Damian? Kau mendengarkanku?" Aku menggerak-gerakkan tanganku di depan wajahnya.

Ctakk..

Damian menjitak keras kepalaku.

Aduuuhh..kenapa hari ini banyak sekali orang yang memukul kepalaku sih. IQ-ku bisa turun drastis nih.

"Dasar gadis cerewet. Cepat selesaikan makan malammu. Kita akan pergi ke supermarket," Damian bangkit dari meja makan, meninggalkanku dengan ekspresi cemberut maksimal.

***

Ernie's adalah sebuah supermarket paling lengkap yang tidak jauh dari rumah kami. Toko ini buka 24 jam, sehingga sampai malam pun, kami tetap bisa mendapatkan bahan-bahan makanan yang cukup segar.

Damian mendorong troli belanjaan dengan santai sementara aku mengambil bahan-bahan makanan yang ada di daftar. Besok aku akan masak sup ayam, kemudian ada bahan-bahan dapur yang stoknya tinggal sedikit juga. Yak, telur, sosis, pasta, bawang, kemudian..

"Kau serius ingin pergi ke prom bersama bocah itu?"

"Huh?" Pertanyaan Damian yang tiba-tiba menginterupsi pikiranku. Aku meletakkan sekarton telur ke dalam troli belanjaan.

"Apa kau serius ingin pergi ke prom bersama Benjamin Sanders?" Ia mengulangi pertanyaannya.

Aku mengangguk, "Ya, memangnya kenapa?"

Damian hanya mengangkat bahu, "Tidak apa. Aku hanya penasaran,"

Aku mendengus tidak percaya dan melanjutkan mengambil bahan-bahan makanan lainnya.

"Kami berdua tidak berkencan. Kalau itu yang kau khawatirkan,"

"Siapa yang khawatir, hah?" Uh-oh..suaranya naik dua oktaf.

Aku terkekeh, "Semua tergambar jelas di wajahmu, Damian,"

"Ada apa dengan wajahku?" Dasar Damian, ia tetap bersikukuh tidak mau mengaku.

Aku mencibir dalam hati, "Sudahlah. Ke prom atau tidak, kau tidak usah khawatir. Karena aku akan tetap berkonsentrasi pada ujian akhirku," Ucapku penuh tekad.

Damian tidak menjawab kata-kataku, membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan oleh paman tampanku itu. Eh..apa barusan aku bilang tampan?

Tapi mau tidak mau aku harus mengakuinya sih, Damian memang sangat tampan. Kalau menurutku sih, wajah Damian sangat mirip dengan wajah patung dewa yunani di buku sejarahku. Di usia 31 tahun, ia malah terlihat semakin keren. Tubuhnya juga sangat tinggi dengan postur yang tegap dan atletis, aku saja hanya setinggi pundaknya. Dan penilaianku tentang ketampanan pamanku ini pasti tidak salah, melihat tingkah wanita-wanita yang sedari tadi melirik pamanku dengan genit meskipun Damian tidak menyadarinya. Bahkan ada yang terang-terangan mengedipkan mata pada pamanku ini, membuatku ingin muntah. Aha...otak jahilku mulai beroperasi.

Kudekati paman Damian yang sedang membelakangiku, ia sedang melihat-lihat salah satu produk sarden.

Kutepuk bahunya, ia kemudian berbalik menghadapku. Dengan kecepatan yang tak terduga aku meraih kerah kemejanya dan mencium bibirnya.

Bisa kurasakan tubuhnya yang membeku karena tindakanku. Aku terkekeh dalam hati melihat reaksi wanita-wanita genit yang ada di sampingnya tadi. Aku bisa melihat wajah kesal mereka dari sudut mataku. Ha ha.. Aku tertawa setan dalam hati.

Aku baru akan melepaskan bibirku dari Damian ketika ia malah menarikku lebih dekat ke tubuhnya. Tanganku secara spontan melingkari lehernya sementara lengannya melingkari pinggangku dengan erat.

Damian balas menciumku dengan berapi-api. Bibirnya melumat dan menjelajahi bibirku. Eh.. Eh... Eh...kok jadi seperti ini!!! Niatku tadi kan hanya ingin mengerjai wanita-wanita centil itu..tapi kenapa Damian...

Damian akhirnya melepaskan ciuman kami setelah entah berapa lama. Ia memandang wajahku dengan intens.

Sial..wajahku pasti sewarna tomat busuk sekarang.

Tiba-tiba Damian menyunggingkan senyum seribu gigawattnya.

Tangannya menepuk pelan rambutku, bibirnya berbisik pelan tepat di telinga kiriku, "Lain kali kalau mau mengerjai orang, pastikan kau punya rencana yang lebih baik Magenta."

Aku menelan ludah dan pamanku mengangkat wajahnya. Senyum itu lagi.

Ah..Sial.

***

Ada yang butuh es batu? Panas nih
Hehe

My Dear MagentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang