15. Breath

13.8K 1.8K 413
                                    

Mereka memulai awal yang baik. Mencoba merekatkan jarak yang sempat renggang. Bergandengan tangan, saling memeluk, dan mulai mengerti satu sama lain.

Rosé dan Lalice adalah pribadi yang bertolak belakang. Namun jika ada rasa saling mengerti di antara mereka. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan terasa lebih bahagia. Ditambah kini kedua orangtua mereka sudah melakukan perannya dengan baik.

Empat belas hari mereka lalui dengan suka cita bersama. Mulai menata hidup baru yang tentu lebih baik. Bersama, mereka saling membagi tawa dan tangis.

Setiap pagi, Youngbae tidak pernah absen untuk mengantarkan kedua anaknya. Membuat hidup Lalice dan Rosé terlampaui rasa bahagia. Karena hal sederhana itulah yang mereka impikan sedari dulu.

"Rosé-ya, hati-hati dengan kakimu. Lalice, selalu bawa inhalermu." Kalimat peringatan itu selalu menjadi suara terakhir yang Youngbae berikan sebelum meninggalkan area sekolah tempat kedua anaknya menimba ilmu.

Setelah memastikan Porsche Panamera milik Youngbae keluar dari parkiran sekolah, kedua gadis itu bergandengan tangan memasuki gedung sekolah. Dengan langkah perlahan karena Rosé belum mampu untuk berjalan cepat walaupun gips di kakinya sudah di lepas.

"Jadi karena sudah berbaikan dengan Rosé, kau berani mengabaikan apa yang ku suruh?" seorang kakak kelas menghadang anak kembar itu saat ingin memasuki lift. Menatap jengah Lalice yang kini berwajah datar.

"Apa maksudmu berkata seperti itu, Sunbae? Seharusnya kau berterima kasih pada adikku karena tak melaporkan perbuatanmu pada Appa kami."

Di sekolah itu, semua akan segan pada Rosé. Karena gadis itu benar-benar memanfaatkan kekuasaan sang ayah. Dia tak akan ragu untuk menghancurkan hidup seseorang yang mengganggunya.

Berbeda dengan Lalice. Sejak masuk ke sekolah itu, dia tak mengumbar siapa status dirinya. Dan walaupun sudah terungkap jika dia salah satu putri donatur terbesar pun, beberapa dari mereka tetap memperlakukan Lalice seenaknya.

Hubungan yang tak baik dengan Rosé adalah penyebabnya. Juga Lalice adalah orang yang berpikir terlalu jauh. Dia tak ingin mencari masalah yang nantinya akan mempengaruhi nama baik sang ayah.

"Aku hanya menegur saudaramu itu. Santai saja," ujar senior itu dan berlalu begitu saja. Membuat Rosé mendesis kesal dibuatnya.

"Tidak bisakah kau sedikit tegas?" sentak Rosé yang membuat Lalice terkesiap.

Gadis itu memandang saudarinya dengan bingung. Lalu menggaruk tengkuk yang tak gatal.
"Aku tidak pandai marah-marah seperti dirimu."

Bahu Rosé turun dengan lesu. Dia lupa jika Lalice adalah introvert sejati. Jika marah pun, gadis itu hanya diam. Tak menunjukkan tanda-tanda emosinya keluar. Namun, jika sudah terlalu lama di pendam, amarah Lalice seperti bom waktu yang bisa meledak sangat besar. Seperti saat Rosé jatuh sakit dan Rosé kecelakaan waktu itu. Dimana Lalice sangat marah pada kedua orangtua mereka.

"Baiklah. Aku yang akan marah-marah kepada orang semacam tadi untukmu." Rosé menarik tangan Lalice ketika pintu lift terbuka.

.......

Dua minggu ini, hidup Lalice menjadi lebih berwarna. Dia tak lagi memakan makan siangnya sendirian di cafeterian. Karena Rosé dan teman-teman gadis itu akan menemaninya. Walaupun Lalice sangat jarang ikut dalam obrolan mereka. Tapi semua bisa menghargai Lalice jika dia ada di antara mereka.

Saat ini, Lalice sedang berada di kamar mandi. Dia baru saja selesai buang air kecil. Sempat meninggalkan Rosé dan keempat teman kembarannya itu karena sudah tak tahan.

Hold, Hug, and Understand ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang