Karena kondisinya yang tidak memungkinkan, akhirnya Rosé mengikuti kemauan sang ayah untuk pulang. Tapi Youngbae hanya akan mengantarkan Rosé, karena dia harus kembali ke rumah sakit untuk menjaga Lalice bersama Tiffany.
Dan alhasil, di kamar rawat Lalice yang mewah itu hanya berisi tiga orang. Youngbae yang sibuk berkutat dengan macbooknya, Tiffany yang terus mengusap kepala Lalice, dan Lalice sendiri yang sedang memejamkan mata.
Gadis itu tidak tertidur. Hanya saja menikmati uapan obat yang dihasilkan dari nebulizer di mulut dan hidungnya.
Lalice sungguh tidak mengerti, akhir-akhir ini asmanya sering sekali kambuh. Dan serangan yang dialaminya pun berat bukan ringan. Hal itu tentu membuat Lalice cukup kualahan.
"Lalice, tidurlah. Eomma akan menjagamu, jadi jangan takit jika kau akan bermimpi buruk." Ujar Tiffany yang tahu jika Lalice belum juga tertidur.
Youngbae dan Tiffany benar-benar membuktikan ucapan mereka. Perlahan, kedua orang itu mengetahui hal-hal tentang anak mereka. Bukan lewat Lalice maupun Rosé secara langsung. Tapi mereka terus bertanya pada Minjae yang mengurus Lalice dan Rosé sejak bayi.
Lalice hanya mengangguki ucapan Tiffany. Tapi nyatanya dia tak bisa jatuh dalam tidurnya. Bayang-bayang betapa marahnya Rosé tadi sore masih hinggap di kepala gadis itu.
Seumur hidup, baru tadi Rosé membentaknya dengan kasar. Lalice tidak akan masalah, jika alasan Rosé bukanlah mengenai kesehatan Lalice.
Apakah kembarannya itu khawatir? Lalice tidak tahu. Karena nyatanya rasa kasihan dan rasa khawatir itu beda tipis. Tapi Lalice tak bisa menyimpulkannya. Lagipula, itu semua adalah hak Rosé. Jika pun dia hanya kasihan pada Lalice, maka Lalice tak akan mempermasalahkannya.
.......
Benda pipih itu tak pernah terlepas dari tangan Rosé sedetikpun. Walaupun tadi ada guru yang sempat menegurnya karena mengeluarkan ponsel pada jam pelajaran, tapi Rosé tak menghiraukannya. Gadis itu acuh dan tetap mencatat walaupun sesekali melirik ponsel di tangan kanannya.
Kemarin, sebelum pulang ke rumah. Gadis itu melakukan pelepasan gips di tangan kanannya. Sehingga dia bisa menggunakan tangan yang satu bulan lebih ini terbungkus. Walaupun tak bisa bergerak banyak, tapi Rosé cukup mensyukurinya karena pulih dengan cepat.
Selama dua minggu bersekolah, gadis itu juga tak memiliki kesulitan apapun dalam mencatat. Karena sedari kecil, Rosé memang tergolong orang yang kidal. Menulis menggunakan tangan kiri.
"Ya! Pagi tadi aku melihat ayahmu memasuki ruangan kepala sekolah. Ada apa?" tanya Miyeon ketika guru yang mengajar mereka baru saja keluar dari kelas.
"Sepertinya ingin berdiskusi dengan guru olahraga di kelas Lalice." Jawab Rosé sembari membereskan buku-bukunya. Kemarin dia sempat diberitahu, jika Namjoon menyarankan Lalice untuk menghindari kegiatan yang berat. Termasuk olahraga. Karena selama sekolah, Lalice masih mengikuti pelajaran olahraga walau terkadang hanya sampai setengah.
"Asma adikmu semakin parah?" tanya Jiho terkejut, sambil melahap keripik kentangnya.
"Hm," gumam Rosé lesu. Jika mengingat penjelasan Youngbae mengenai kondisi Lalice kemarin, entah kenapa Rosé menjadi lemas seketika.
"Rosé-ya," Rosé menoleh pada Eunha. Yang kini menatapnya dengan pandangan sendu.
"Dulu aku memiliki adik." Beritahu Eunha yang membuat seluruh temannya berseru kaget, kecuali Rosé yang memilih diam di tengah keterkejutannya.
"Bukankah kau anak tunggal?" tanya Jihyo tak percaya. Selama satu tahun berteman, dia sama sekali tak tahu rupa adik Eunha karena gadis itu tak pernah memperlihatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold, Hug, and Understand ✔
Fiksi PenggemarMereka terlahir dari rahim yang sama. mereka tiba di dunia pada jam yang sama. Namun hingga usia mereka beranjak remaja, kedekatan layaknya saudara tidak terlihat. Hidup di rumah besar namun tanpa kehangatan orang tua membuat keduanya menjalani hari...