Shiawase - Lupa penyanyinya siapa:v🎶
Seperti pagi-pagi di musim hujan beberapa hari belakangan, Langit terus bertemu Azura. Sekedar saling berbagi cerita atau berbincang ringan tentang banyak hal.
Langit tidak pernah berhasil kehabisan topik saat bersama gadis itu. Dinginnya seakan luruh. Rasanya Langit ingin terus berbicara banyak hal dengan Azura. Langit selalu masih punya segudang cerita untuk utusan hujan yang katanya bertekad membuat cerah harinya.
"Kenapa kamu nggak jadi penulis aja, Langit?" tanya Azura yang hari ini duduk di halte dekat sekolah--tempat pertama kali ia dan Langit bertemu.
"Kenapa kamu nggak diem aja, Zura?" tanya Langit gemas. Azura cengengesan, berikutnya memilih diam dan menyandarkan kepala pada bahu Langit.
Lama - lama Langit lelah juga melihat gadis itu mengoceh terus menerus. Langit menampakkan kelam yang pekat. Guruh menggema akibat petir masih bersahutan, hujan semakin melebat.
Hari ini meski tidak diberitahu, Langit sadar Azura tidak sedang dalam keadaan sehat. Wajah gadis itu terlihat lebih pucat. Matanya yang biasa berbinar semangat menatap rintik yang jatuh dari langit berubah lebih sayu dari biasanya.
"Zura, kamu sakit?" tanya Langit akhirnya tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.
"Utusan hujan punya sistem imun pangkat 10. Jadi mana bisa sakit cuma karena singgah di bumi sebentar gini?" ucap gadis itu melantur.
Langit justru semakin bertambah cemas. Suara serak serta parau gadis itu semakin membuat perasaan Langit tak keruan.
"Kalau sakit seharusnya jangan ketemu saya. Saya nggak maksa kamu buat tiap hari begini kok." Langit mengusap lembut puncak kepala Azura.
Gadis itu memejamkan mata. Merasakan perasaan tenang dan nyaman melingkupi kepala. Memeluk lengan kekar Langit pelan, beberapa kali Azura juga tidak sadar pria itu memperhatikannya yang tengah menghapus air mata yang menetes di sudut mata.
Tidak ingin lebih banyak bertanya tentang keadaan gadis itu, Langit memilih kembali mengusap puncak kepala Azura seolah tidak tahu apa - apa. Percuma bertanya pada Azura, Langit tidak akan berhasil menemukan jawaban dari pertanyaannya.
"Zura, kenapa kamu terus dateng nemuin saya tiap hujan turun?" tanya Langit mengalihkan topik.
"Kenapa kamu selalu nunggu aku tiap hujan turun?" tanya Azura balik, menampar telak Langit.
"Saya nggak pernah nungguin kamu, ya! Say --- "
"Jangan berbohong sama makhluk luar angkasa, Langit. Sudah kubilang aku punya radar dari segala radar." Azura memotong kalimat Langit sembari membekap mulut pria itu dengan telapak tangan kanannya.
Baru saja akan memberontak, Langit justru memilih mendiamkan telapak tangan mungil gadis itu di mulutnya. Seketika kejanggalan mengisi kepala Langit.
Tangan Azura ... kenapa didominasi oleh bau obat yang sangat pekat?
"Eh ... tanganku!" kesal Azura begitu mencoba menarik tangannya tapi ditahan Langit.
Langit mengerjap. Berikutnya melepas tangan Azura dan menatap gadis itu lekat. Bibir yang pucat ... dan bau obat.
Azura ... tidak apa - apa, kan?
"Zura."
"Hmmm?" gumam gadis itu menyahut santai.
"Kamu ... sakit apa?" tanya Langit memberanikan diri.
Azura melotot. Berikutnya memutar bola mata terlihat berpikir, kemudian ikut menghirup bau di telapak tangan kanannya.
"Hehe ... ketauan." Gadis itu menyengir geli.
"Kamu sakit apa?" tanya Langit lagi. Semakin penasaran juga ketakutan dengan dugaan - dugaan yang berkeliaran di kepala.
"Aku anemia. Sejak tadi pagi kayaknya kambuh. Jadi minum obat sebelum ke sini." Azura menyahut santai, tidak terlihat seperti berbohong sama sekali.
Langit memilih mengangguk mengerti.
"Langit, menurutmu kita hidup untuk apa?" tanya Azura tiba - tiba.
"Katamu 'kan kita hidup untuk masalah, masak lupa?" tanya Langit balik.
"Lebih dari itu ... nyatanya kita hidup untuk mati. Sejenis kita lah." Azura menyahut ambigu.
Langit mengernyit heran.
"Hah?"
"Enggak, cuma baru sadar, bentar lagi udah musim kemarau," jawab Azura sembari memandang kosong langit di atasnya.
Sedangkan Langit di sampingnya, justru sibuk menatapi makhluk dari langit yang kini tengah menatap langit lain. Untuk pertama kalinya, atau memang jika dengan Azura selalu terasa pertama kali, Langit merasa dunia berporos padanya.
"Kalau musim kemarau, kamu bakal muncul juga, nggak?" tanya Langit memastikan ketakutannya.
Matanya menyorot lekat gadis yang hari ini meski pucat tetap saja selalu terlihat terus bertambah cantik di matanya. Azura tersenyum manis, berikutnya menabok pundaknya membuat Langit meringis.
"Mana ada! Kalau Langit udah nggak hujan lagi ya tugasku udah selesai. Tinggal balik ke langit lagi."
"Kalau saya mau utusan hujan terus ada buat Langit di bumi, gimana?" tanya Langit dengan maksud tersirat.
Azura menoleh cepat. Menatap dalam mata Langit yang sarat arti. Memilih berdiri dan melangkah meninggalkan halte yang kini disinggahi gerimis kecil, Azura melambaikan tangan pada Langit yang masih duduk terpaku.
"Meski Langit di bumi mau terus di deket hujan, kalau langit di atas mau yang lain, aku bisa apa?"
_____
Eung ... buat kalian yang bertahan baca cerita enggak jelas ini sejauh ini, kalian keren'-'
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Hujan [TAMAT]
Novela Juvenil"Aku suka hujan, aku suka sekolah, aku suka semua yang kupunya kecuali kehilangan." *** Langit tidak pernah menyangka, pertemuannya dengan gadis misterius di halte pagi itu begitu banyak mengubah hidupnya. Ia yang semula benci sekolah, jadi lebih ra...