GH || 01. Gadis di Halte

110 7 0
                                    

Rain - Sekai no Owari🎶

"Ini hujan, bukan hujaman bom atom. Kenapa makhluk bumi harus sekesal itu?"

*

Mendung yang menyebalkan. Jakarta yang padat. Pagi yang muram. Langit jadi semakin malas ke sekolah.

Membasuh muka sekalian menyikat gigi tanpa mandi, pria 17 tahun yang kini menginjak bangku kelas 12 SMA itu berjalan ke arah sepeda Polygon--hadiah ulang tahun ke 15 dari Almarhum Bundanya.

Jam menunjukkan pukul 07.03. Tapi, pria dengan dua kancing seragam terbuka itu memilih tetap mengayuh sepeda guna ke sekolah. Wajar saja, dia Langit Pramdifta.

Setiap hari adalah terlambat. Sekolah untuk tidur dan sekedar mengumpulkan tugas. Murid pasif yang bahkan dicap bisu oleh seantero sekolah. Tidak punya teman, selalu melakukan apapun sendirian.

Di perjalanan, hujan menderas. Semula hanya rintik kecil, tapi berikutnya malah membesar disertai petir. Langit memilih berteduh di halte Bus yang berjarak sekitar 10 meter dari sekolah.

Duduk di bangku halte dan memarkirkan sepeda hijau mudanya di tempat teduh, Langit memeluk tubuh terbalut hoodie hitamnya guna menghalau dingin. Pagi yang muram dan hujan tentu saja adalah hal paling menyebalkan untuknya.

Dia tidak suka hujan. Hujan mengambil Bundanya. Hujan mengejeknya ketika dihukum Ayah. Hujan tidak pernah mau bersahabat dengannya.

"Love you 'til the last of snow disappears, love you 'til a rainy day becomes clear. Never knew a love like this now i can't let go i'm in love with you and now you know."

Langit melirik pada gadis kurang kerjaan yang tengah berputar-putar tidak jelas di tengah hujan yang menderas. Pria itu mendelik aneh. Pagi-pagi begini ada saja, ya, yang suka main hujan. Anak SMA pula.

"Eh kamu! Nah loh terlambat!" ucap gadis dengan rambut sepinggang itu sembari tertawa geli.

Langit diam, tidak berniat menggubris. Dasar tidak tahu diri! Lah dia main hujan dengan seragam SMA yang sama di luar sekolah jam segini bukan terlambat namanya?

"Kamu terlambat kok nggak ada muka-muka nyeselnya, sih? Waah udah pengalaman nih pasti!"

"Terlambat itu nggak keren, tapi kalau terlambat karena hujan kayaknya justru hal terkeren yang dilakuin anak sekolah," gumam gadis itu yang kali ini duduk bersila di aspal jalan.

Langit menoleh cepat. Rautnya begitu tidak terima. "Hujan nggak keren, ya! Apaan kamu itu!" sanggah Langit nge-gas.

"Lah, ini hujan loh. Bukan hujaman bom atom, kenapa makhluk bumi kayak kamu harus sekesel itu sih?" tanya gadis itu masih dengan kekehan yang menurut Langit menyebalkan.

Gadis yang kini terlihat menggigil itu berlari mendekat ke halte dan duduk di samping langit. Pakaian basahnya membuat air terus menitik ke paving halte.

Memeluk tubuhnya yang menggigil masih sembari bersenandung kecil, gadis bertubuh mungil itu melirik Langit lamat-lamat. Langit yang ditatap se-intens itu kontan membalas dengan pelototan garang.

"Ngapain natap saya gitu?!" tanya Langit galak.

"Enggak, ganteng aja. Nama kamu siapa?" tanya gadis itu polos.

"Langit." Langit menjawab singkat.

"Ooo ... Langit. Pantes, langit di atas mendung, mukanya Langit yang mijak di bumi pun ikut mendung." Gadis itu mengangguk-angguk sok paham.

Berikutnya hening. Hanya ada suara grasak-grusuk dari tangan atau kaki gadis di samping Langit yang tidak kenal diam.

"Nama kamu siapa?" tanya Langit membuka suara.

"Aku? Waah ditanyain!" heboh gadis itu yang kali ini semakin duduk memepet ke dekat Langit.

"Eum ... anu, aku utusan hujan. Aku ... ya gadis hujan!" ucap gadis itu yang sudah kembali bermain hujan.

"Nama kamu, saya gak nanya asal - usul kamu," sewot Langit sebal.

"Ya tapi aku 'kan utusan hujan! Mana punya nama!" kesal gadis dengan kulit seputih salju itu.

"Dasar gadis aneh," gumam Langit lirih. Memilih menoleh ke arah lain ketimbang menyahuti gadis cerewet dan banyak tingkah di depannya.

"Eh tapi kita kayaknya bakal sering ketemu. Jadi kalau kita ketemu lagi, nama panggilan buatku udah siap, ya!" titah gadis itu semena-mena.

"Yakin banget kita bakal ketemu lagi!" sindir Langit. Bibirnya tertarik asimetris.

Sejenak, kilat petir di langit menyala ngeri. Beberapa detik kemudian guruh di langit berbunyi.

Langit meringis kecil. Itu langit. Dia juga langit. Tapi kenapa dia tidak bisa seperti langit juga? Dia Langit yang monoton. Tidak ada kemarau, tidak ada hujan. Hanya mendung, dan selamanya mendung.

"Wahh ... petirnya keren. Kayaknya itu tongkatnya Raja Langit yang lagi nembak Kuntilanak di pohon beringin buat jadi istri." Gadis yang masih berdiri di tengah hujan itu mendongak takjub.

"Sinting ini anak!" gumam Langit tidak habis pikir.

Tidak hanya hujan, ternyata gadis aneh itu juga suka petir. Wajahnya seperti habis melihat bunga mekar di taman surga saja.

Refleks ikut mendongak dan memandangi kilat cahaya petir di langit, Langit mengernyit heran. Apa yang indah dari kilat petir hingga wajah si gadis aneh setakjub itu?

Sampai hujan mereda dan menyisakan rintik kecil pun, Langit tidak menemukan jawaban. Justru menoleh pada tempat gadis itu berdiri tadi, Langit semakin dibuat bingung sendiri.

Kemana gadis itu pergi?

_____

Enggak tahu kenapa, tiba-tiba aku pengen publish cerita ini. Mungkin karena rindu nulis di Wattpad. Soalnya beberapa bulan terakhir aku malah sibuk nguli di platform berbayar:v

Gadis Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang