Kematian (c)

39 10 3
                                        

Happy reading

Sudah 1 tahun Nasha ditinggalkan oleh keluarganya. Selama 1 tahun bukan hal mudah untuk seorang Nasha. Awalnya Nasha mengurung diri selama sebulan, tapi Bunga sebagai sahabat tak pernah bosan untuk menemani Nasha. Bunga dengan sabar membantu Nasha untuk bangkit lagi itu berhasil meski sikap Nasha jadi dingin.

"Happy birthday to you my sweety."

"Ah, tapi kayaknya ada yang kurang ya, kalo gue gak ke rumah lo, Nash," ucap Bunga sambil terkekeh. Orang yang ada di sebrang sana hanya menghela napas berat.

"Gak usah, Nga,"

Bunga derdecak pelan

"Hilih, ini itu ulang tahun lo. Pokoknya gue mau ke rumah lo," kekeuh Bunga sambil membenarkan posisi ponselnya.

"Gak ada penolakan, gue on the way!"

Bunga langsung memutuskan sambungan telponnya. Dia berpamitan dulu kepada Bundanya dan menutup pintu.

Bunga mengambil motor meticnya di garasi, dia menyimpan paper bag untuk Nasha di depan. Dia melajukan motornya.

Jalanan nampak sepi karena mungkin ini bukan malam minggu yang biasanya di penuhi oleh orang-orang yang berpacaran.

Bunga melihat di depan ada orang berjubah hitam sedang berdiri di tengah jalan. Bunga mencoba mengklakson orang itu tapi tetap saja tak mendengarkannya. Bunga mencoba untuk mematikan mesin motornya tapi tiba-tiba tidak bisa.

Dari arah berlawanan ada sebuah truk dengan kecepatan di atas rata-rata.

Brak!

Bunga tak sempat menghindar dari kecelakaan ini. Kepalanya terbentur batu penyebabkan pendarah dari kepalanya terus  keluar. Paper bag untuk Nasha terus digenggam oleh Bunga.

      *****

Nasha memandang jenazah Bunga dengan tak percaya. Air matanya terus saja mengalir. Nasha menatap ke samping, kedua orang tua Bunga sedang berpelukan, suami istri itu saling menguatkan karena kehilangan anak sulungnya.

Nasha berjalan dengan pelan ke arah Bundanya Bunga. Bundanya Bunga menatap Nasha sambil tersenyum, meskipun air matanya masih membasahi pipinya.

"Maafin Nasha Bun, Bunga jadi seperti ini karena Nasha," lirih Nasha sambil terus menunduk. Bunda menggelengkan kepalanya pelan, kemudian membawa Nasha kedalam pelukannya.

"Ini bukan salahmu. Ini sudah jadi takdir Bunga."

Nasha hanya bisa menangis sesegukan dalam pelukan Bundanya Bunga.

"Andai Nasha berhasil melarang Bunga untuk datang ke rumah Nasha, ini gak akan terjadi Bun," ucap Nasha terus menyalahkan dirinya.

"Sudah Nash, ini udah jadi takdirnya Bunga. Kamu yang ikhlas ya," sahut Pak Wahyu-Ayah Bunga.

Nasha menggelengkan kepalanya pelan, andai dia bisa mencegah Bunga untuk tidak datang ke rumahnya pasti ini semua tidak akan terjadi.

Nasha melepaskan pelukan Bunda Bunga dengan pelan. Dia berjalan mundur. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Dia tidak percaya sahabat satu-satunya yang dia punya sudah pergi meninggalkannya.

Nasha memegang kepalanya yang berdenyut nyeri, tapi dia abaikan. Dia menatap jenazah Bunga. Kepalanya semakin terasa sakit.

"Gak, ini gak mungkin ..."

"BILANG SAMA NASHA KALAU INI BUKAN BUNGA?" tanyanya sambil berteriak. Orang-orang yang ada di dalam sana berusaha menenangkan Nasha tapi Nasha terus berteriak kalau dia gak percaya dengan kepergiannya Bunga.

Hingga terpaksa harus menyuntik Nasha dengan obat penengan.

"Bunga gak mungkin pergi," lirihnya sebelum kesadarannya hilang.

Sementara itu kedua orang tua Bunga menatap Nasha sedih. Mereka tahu seberapa berharganya Bunga bagi Nasha, tapi ini sudah jadi takdir. Mereka pun sama terpuruknya seperti Nasha.

Birth (die) in juneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang