14 | Galuh

6 0 0
                                    

"Git, kok lo masuk?"

Suara Dito dari luar menarik perhatian gue dari data yang terpampang di layar laptop. Udah dua hari berlalu sejak kejadian Gita jatuh dan sekarang keadaan Cafe sudah kembali kondusif

Malken :
Tar berangkat bareng ya
Eh tapi ke Borromeus dulu sih mobil gue masih disana
Ntar gue ke tempat lo

Kekehan lolos begitu saja dari hidung gue begitu membaca pesan yang sudah masuk dari dua jam yang lalu namun gue yang tadi lagi fokus saat notifikasi masuk cuma jawab dalam hati dan menanamkan dalam kepala ingetin ntar jawab kenyataanya gue lupa dan baru balas beberapa jam kemudian

Galuh :
Gimananya bareng tapi mobil sendiri2?


Malken  :

Ck, yauda baliknya aja ambil mobilnya.

BTW GAADA AKHLAK BGT LO BARU JAWAB

NGAPAIN SIH LO DI RUANGAN

KELUAR

GUE UDH DI DEPAN CUK

Galuh :
Kerja lah gblk.
Bntr

Gue melipat laptop dan memasukannya kedalam ransel sebelum bergegas keluar, lagi-lagi meninggalkan iced Americano gue yang sisa setengah. Nanti juga gue minum

Gue menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan berusaha mencari Malken di salah satu tempat duduk yang hampir semuanya terisi mengingat waktu sudah mendekati jam makan malam

"Dit, Gus, cabut dulu ya!" Gue mengangkat tangan kanan gue tinggi-tinggi kepada dua barista yang menangkap keberadaan gue

"Eh Gal!"

Sepatu gue berdecit ketika panggilan Dito menahan langkah gue

"Gue sama yang lain gaakan ngasih kerjaan berat-berat ke Gita hari ini karena dia dateng aja udah bikin kaget. Tapi coba deh lo omongin anaknya, kayaknya bebal banget" tuturnya yang gue balas anggukan. Dari tempat gue berdiri gue bisa melihat Malken duduk di salah satu kursi luar, kepalanya menenggak menemui tatapan lawan bicaranya yang mengenakan seragam dan membawa nampan bundar yang ditangkupkan di depan paha. Gita. Yang sepertinya baru mengantar paper bag untuk pesanan take away yang dipesan Malken

Dengan langkah cepat gue menghampiri meja mereka, Malken yang pertama menyadari keberadaan gue, posturnya sedikit berubah saat matanya menemui gue yang hanya tinggal beberapa langkah dari tempat Gita berdiri. Gue gak tau apakah jahitannya sudah dibuka karena tak ada kapas putih yang menempel di rambutnya. Tapi gue skeptis kalau memang secepat ini

"Git lo jangan-"

"Saya permisi dulu."

Dengan alis tertekuk dan penuh rasa tak terima gue menatap punggung Gita yang kian menjauh sebelum menemui pandangan Malken yang kurang lebih sama 'Anjrit?'

"Lo berdua udah ngobrol lagi belum sih?" Tanya Malken begitu duduk di bangku penumpang. Gue tak langsung menjawab karena fokus gue berada di kaca spion dan tampilan kamera belakang di display unit sebelum akhirnya mobil gue keluar dari area parkir dan memasuki jalan utama Dago

"Sorry, apa tadi?"

"Anjing. Untung temen." Malken bergumam namun sengaja dikeraskan sehingga gue bisa dengar "Lo, udah ngobrol lagi belum sama Gita?" Lanjutnya dengan suara lebih keras namun tempo lebih lambat

Gue menggeleng

"Sama sekali?"

Kali ini gue mengangguk "Gue gamau ngasih dia tekanan, apalagi dia belum fit juga kan. Gue sebenernya kaget sih pas dia dateng sore tadi"

"Tapi gue lebih kaget lagi liat sikap dia ke lo sih"

Dalam hati gue mengiyakan pernyataan Malken yang sedang menyibukkan diri dengan audio player sebelum suara bass dan gitar listrik memasuki pendengaran gue, lima detik pertama dan gue langsung dapat menyebutkan judul lagu dan pelantunnya, Vanilla - The Maine.

"Salah apa gue?"

"Banyak"

"Anjing." gue menatap sinis Malken yang sempat-sempatnya berguyon. Wajah Malken bersinar dari pancaran layar hpnya yang semakin menunjukan cengiran tanpa dosa

"Waktu ngomong sama gue baek-baek aja sih, berarti emang di elo masalahnya"

"Ngomongin apaan kalian emang?"

Mata Malken memincing kearah gue yang gue balas pelototan

"Santai bos! Dia cuma bilang makasih sama maaf udah ngerepotin katanya. Terus pas gue tanya pagi pergi jam berapa dia bilang subuh soalnya ada kelas pagi"

Gue jadi teringat pagi itu Malken nelfon gue panik karena Gita tak ditemukan di setiap sudut rumahnya, jujur gue juga kesal karena Gita benar-benar bertindak semaunya. Tapi kalau dipikir-pikir Gita pergi se-subuh itu sebelum Malken dan Cia bangun ada benarnya juga. Gita mungkin mencari tempat dimana ia bisa melaksanakan kewajibannya yang jelas-jelas tak mungkin di rumah Malken, yang mungkin cuma pernah pegang sarung sebagai selimut saat KKN dulu, apalagi mukena dan lain-lainnya?

Kan, pemikiran begini yang bikin gue terkadang terlalu rasional dan bekerja layaknya komputer. Gue selalu menemukan alasan-alasan logis untuk tiap aksi dan reaksi yang dilakukan seseorang. Sekalinya gue paham alasan rasional tersebut, alasan emosional rasanya sudah bukan masalah besar dan mendapat sampul 'bodo amat itu cuma dia yang tau, gue sih nggak ekspektasi yang lain'

"Daritadi gue terngiang-ngiang lagu ini" Ucap Malken ditengah-tengah vokalis menyanyikan liriknya yang mengulik tentang seseorang yang sangat basic seperti eskrim rasa vanilla. Sebaik dan sebagus apapun kualitasnya, eskrim vanilla dimanapun ya bakal gitu-gitu aja, At your best you're still basic

"Lo nyindir apa gimana Mal?"

"Emang lo ngerasa?"

Gue bungkam dari detik itu hingga sisa perjalanan, membiarkan playlist Malken yang mengisi keheningan sementara gue berupaya mengesampingkan pemikiran-pemikiran rumit di kepala gue dan berusaha untuk fokus ke jalanan yang jauh dari kata menarik. Hingga kaki gue melangkah memasuki lounge hotel berbintang, gue baru mempertanyakan motif Malken mengajak gue kesini

"Mal, lo mau ketemu siapa sih emang?"

"Orang dari brand partnership baru. Gue butuh bakat cenayang lo kalau-kalau dia ada maksud terselubung" tutur Malken dengan nada datar. Matanya menatap lurus ke satu titik dimana langkahnya mengarah. Gue menoleh untuk melihat titik yang menjadi pusat perhatiannya dan badan gue hampir terhuyung seandainya kaki kiri gue gak berpijak kuat di lantai marmer yang dipoles sangat mengkilap hingga menimbulkan suara decitan.

"Atau seenggaknya lo bisa nahan gue buat gak nelen itu orang idup-idup"

Tanpa sepengetahuan Malken kedua tangan gue terkepal kuat di sisi tubuh. Dia yang menjadi sasaran layangan tinju gue dua tahun lalu, kini tampak gagah dengan setelan rapihnya, langsung berdiri begitu melihat kedatangan gue dan Malken

Dari sekian banyak sumber daya manusia yang menjalankan sebuah brand, kenapa harus dia?

Dia yang sudah merampas apa yang seharusnya milik gue

"Hei, Mal. Gak bilang-bilang lo bawa temen"

SENANDIKA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang