9 | Gita

7 0 0
                                    

"Nggak ada ya Mas lo nyetir abis ini. Mata lo tinggal setengah watt tuh"

Bukannya sanggupan, gue malah mendapat kekehan sebagai jawaban, bukan dari Galuh, tapi dari Malken dan tunangannya yang dipanggil Cia itu

"Aduduh 'mas'..." Dengan nada yang meninggi layaknya anak tangga, Malken mengejek panggilan gue ke Galuh. Kedua tangan menumpuk di dada dan ekspresi wajahnya dibuat-buat seolah tersentuh dengam aksi gue

Galuh nemu dari mana sih temen kayak gini?

"Bentar-bentar" gue mengangkat kedua tangan gue sebatas dada lalu menunjuk Galuh dan Malken "Kalian berdua pasti umurnya gak beda jauh dong. Gue panggil lo mas juga berarti?" Tatapan gue tertuju pada Malken

"Mmm... Gausah deh Git, lo panggil Malken aja gapapa, gue kan jiwa muda, gak kaya mas lo itu"

Galuh mengacungkan jari tengahnya kepada Malken. Tampak sekali ia ingin melawan namun hasratnya itu terkalahkan oleh kantuknya

Lagian siapa suruh begadang?!

Untung aja gue bikin kopi sebelum keluar rumah, niatnya buat gue sendiri karena gue baru tidur sejam, tapi kedua mata Galuh jelas menunjukkan siapa yang lebih butuh kopi tersebut. Walau hanya ia habiskan setengahnya, namun seenggaknya gue sampai di rumah Malken dengan selamat

Ngomong-ngomong, gue heran Malken punya rumah besar di daerah Dago yang pastinya berhrga tinggi namun hanya ditempati berdua dengan tunangannya, dan mungkin pembantu, supir, satpam, dan lainnya, tapi ya sayang aja...

Bukan urusan gue juga sih, duit-duit dia

"Lo pada tidur aja, ntar kalau udah sampe gue bangunin" titah Malken begitu kami berempat meninggalkan rumahnya. Gue bukan tipe yang gampang tidur di mobil orang, tapi Fortuner Malken menembus jalanan lenggang Bandung dengan mulusnya, entah pengaruh jalan kosong atau cara mengemudi Malken yang kelewat halus, tak sampai sepuluh menit gue udah terlelap dengan kepala bersandar pada seat belt yang melintang diagonal di pundak gue

"Git-bangun Git. Udah sampe" tepukan halus di pipi gue menarik kesadaran gue perlahan. Sambil mengumpulkan nyawa, gue mengedarkan pandangan sekitar yang masih gelap. Gue gak menemukan keberadaan Malken dan Galuh. Tapi gue langsung menyadari sensasi dingin yang mengigit kulit padahal mesin mobil mati berarti ac juga mati

"Ini dimana?" Tanya gue pada Cia, Cia sendiri mengenakan jaket tebal yang mengingatkan gue bahwa gue juga membawa jaket bomber merah muda yang jarang gue pake.

"Situ cileunca"

Ketika gue mangambil jaket, mata gue melihat tas kecil berwarna marun yang biasa gue bawa kemana-mana. Seketika otak gue menyusun puzzle yang belum pernah terfikirkan sebelumnya

Cia sudah menunggu di luar mobil saat akhirnya gue mengambil tas kecil tersebut dan menyelipkannya di kantong jaket gue hingga tampak menggembung sebelum menyusul Cia keluar

Gue belum pernah ke Pangalengan dan gue gak ekspektasi akan sedingin ini. Gue terus membatin setiap langkah gue mengikuti Cia hingga mendapati Malken dan Galuh duduk di warung dengan secangkir kopi yang menguarkan uap hangat di tangan masing-masing

"Bu, ada musholla?" Bukannya ikut duduk, gue meneruskan langkah gue menghampiri ibu pemilik warung yang sepertinya baru membuka dagangannya

"Aya neng, teras kadinya sakedik aya musholla. Kakara rengse jamaah subuh"

Hah?

Gimana-gimana?

Mata gue mengikuti arah yang ditunjuk ibu tersebut walau sebenernya gue gak ngerti dia ngomong apa

SENANDIKA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang