16 | Gita

7 0 0
                                    

"Gita"

Nama gue bergema di depan ruangan Galuh. Suara pemilik ruangan memanggil nama gue dengan penuh penekananan sebelum menunjuk ruangan di balik punggungnya dengan jempol kanan

Sejak hari dimana gue ngobrol sama Malken, Galuh tak menampakkan wujudnya di Cafe hingga beberapa hari. Ada yang bertanya dan ada juga yang berasumsi sendiri kemana perginya bapak manajer Rinn Cafe. Dan dari sekian probabilitas, gue gak pernah menyangka, seorang Galuh Malik Mahardika, si bapak manajer, akan hadir bersama lebam di pipi kirinya. Lebam gelap menguning di sekelilingnya menandakan jejak tersebut sudah ada sejak beberapa hari yang lalu

"Ini.. apa-apaan ini?" Galuh mengibas-ngibaskan selembar kertas hvs sebelum ia lepas dengan kasar. Kertas itu gue yang bawa, gue tulis atas nama gue, dan gue letakan di meja Galuh dua hari lalu

"Seenak jidat maju mundur, emangnya lo Syahrini?"

Bibir gue berkedut dengan guyonan Galuh yang sebenarnya gak lucu sama sekali. Tetapi karena kontras dengan wajah kerasnya itu yang bikin gue ingin tertawa

"Lo tuh kenapa sih? Ada apa-apa ngomong Git, jangan bikin gue bingung!"

Gue terdiam melihat ekspresi marah yang tercetak jelas di wajah Galuh. Gue dapat merasakan kekesalan di nada bicaranya selaras dengan mata legamnya yang menatap tajam kedalam mata gue. Belum pernah gue lihat sisi Galuh yang ini, he's a complete stranger

"Harusnya gue yang nanya. Mas kenapa?" Gue mencolek pipi gue sebagai petunjuk akan apa yang gue pertanyakan. Galuh yang gue kenal tak tampak seperti orang yang akan menyanggupi adu fisik, walau gue akui tubuhnya kekar dan bahu tegapnya tercetak jelas di kemejanya, tapi dari matanya gue tahu Galuh tak akan sembarang menyakiti

"Ini bukan tentang gue, Git. Tentang lo."

"Iya, semua tentang gue, dari awal juga selalu gue! Kenapa sih mas, lo mau tau banget segala sesuatu tentang gue? Tiap ngobrol, pasti lo nanya gimana pandangan gue, gimana pendapat gue. Lo lupa ya waktu wawancara gue bilang gue gak mau buka-buka soal masalah pribadi, tapi makin hari makin getol aja lo ngorek-ngorek isi kepala gue!"

Dada gue kembang kempis dengan ledakan emosi yang membuncah tiba-tiba. Gue sendiri terkejut gue mampu bicara seperti itu, apalagi Galuh yang kini air mukanya seperti baru saja ditampar

"Gita-"

"Oke kalau lo mau tau. Gue kasih tau. Gue ngelamar kerja padahal gue gak butuh duit amat karena gue menghindar untuk pulang, gue menghindar dari abang gue! Lo liat sendiri kan gimana gue ke abang waktu itu? Kebayang gak lo gimana gue gak sudi banget buat pulang disaat gue cuma tinggal berdua sama orang yang gue benci? Gue cari kerja karena gue butuh pelarian! Gue butuh tempat dan waktu dimana gue gak harus mikirin beban-beban gue!"

Sesak mulai merasuki paru-paru gue. Tenggorokan gue terasa ketat sampai-sampai sakit rasanya untuk lanjut bicara, namun ego gue memaksa untuk memberikan manusia satu ini apa yang dia minta

"Penyakit gue, iya, gue thalassemia. Selain kuliah di hari kerja, dua minggu sekali gue harus transfusi darah karena badan gue gak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri! Ngerti kan lo sekarang kenapa gue minta jam kerja part time?" Susah payah gue menelan ludah "Gue muak, mas."

Menahan getaran di suara gue, akhirnya gue tutup mulut. Gue lihat Galuh terpaku di tempat duduknya menatap gue. Dapat gue lihat guratan sesal di matanya. Kenapa? Nyesel lo udah ngomong gitu ke gue?

"Gausah nyesel. Gue gak perlu belas kasihan lo"

Tatapan Galuh masih teguh di posisinya menemui mata gue walau kini rautnya sedikit melunak. Pernah gak sih gue bilang tatapan itu menghanyutkan? Tolong berhenti Gal, gue gak mau terseret lebih jauh kedalam sana. Tapi gue menolak untuk memutus kontak karena ego gue dipertaruhkan disini

Hingga akhirnya Galuh yang pertama memutus kontak. Ia berdeham mengisi kekosongan sebelum menyandarkan kepalanya di kursi kerjanya yang besar itu. Kedua tangan bersender di sandaran, matanya terpejam namun alisnya bertaut. Tak ada sepatah kata yang ia lontarkan, hanya suara samar keramaian di luar yang mengisi keasingan ini.

Asing

Rasanya seperti orang lain

Bukan Galuh yang minggu lalu nyuruh gue pake jaket kulit dia waktu di Ranca Upas. Bukan galuh yang dengan entengnya melempar candaan di warung sate Cisangkuy

"Kasih gue waktu," ucap Galuh tiba-tiba ditengah keheningan. Gue diam menanti kelanjutan kalimatnya.

"Seenggaknya sampai ada pengganti, baru lo bisa mundur" lanjutnya tanpa membuka mata, apalagi repot-repot mengubah posisi untuk menatap gue.

"Keluar" titahnya sebelum gue sempat mengeluarkan suara apapun. Walau tahu Galuh takkan melihat, gue mengangguk sebelum melangkahkan kaki keluar ruangannya

SENANDIKA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang