20 | Gita

7 0 0
                                    

TRIGGER WARNING!!!

Suicide mentioned. may cause discomfort

.
.
.
.

"Gue minta maaf"

Bugh

"Aduh!" Gue mundur selangkah dari punggung Galuh yang barusan gue tabrak, nggak sengaja, Galuhnya yang tiba-tiba berhenti

"Git, duduk juga belum loh" kini Galuh sudah sepenuhnya menghadap gue. Gue melirik sofa yang berada di samping kami, ruang keluarga rumah Kamila ada di lantai dua dan berhubung semua orang sedang berkumpul di bawah, lantai dua sepi, hanya ada gue dan Galuh, kayaknya.

"Teras aja deh, takut kedengeran ke bawah. Eh lo mau minum gak?"

Gue menggeleng "Gausah repot-repot sih mas, kayak ke siapa aja"

Galuh tertawa pelan sebelum menuntun langkah gue ke terasnya-balkon lebih tepatnya. Ruang terbuka seluas 2x5 meter itu dihiasi tanaman rambat di pagarnya yang menjuntai hingga ke bawah, memberikan privasi dari orang lewat yang iseng melihat keatas rumah

Setelah menutup pintu di belakang kami, Galuh menumpukan sikunya di pagar dan matanya menyapu pemandangan sekitar yang gak jauh-jauh dari genteng tetangga dan kendaraan lalu lalang. Untuk entah alasan apa ia tak kunjung buka mulut, membiarkan gue terpaku dengan kecanggungan yang entah sejak kapan ada

"Mau ngajak stargazing tapi langit disini gakeliatan star nya"

Berdiri di sampingnya, gue melihat langit yang sudah gelap. Sebelum Galuh bawa gue kesini, nyokapnya tadi narik gue dulu buat sholat maghrib bareng. Untuk pertemuan pertama, impresi gue ke nyokapnya Galuh adalah ramah. Begitu beliau melihat gue bengong di studio, beliau langsung menghampiri gue

"Nyari Mila ya? Hari ini gaada kelas"

Gue tersenyum malu "Engga, tante. Saya disuruh mas Galuh nunggu"

Alis nyokapnya Galuh terangkat tinggi seolah melihat gue adalah melihat sesuatu yang mengejutkan "Yaudah sambil nunggu Galuh bantu tante mau? Galuh lagi nyari lilin"

"Gue minta maaf mas, terakhir kali kita ngobrol-bukan ngobrol malah, gue lancang banget"

Dari samping gue lihat Galuh menunduk  lalu tersenyum maklum. Dari semua ekspresi Galuh yang pernah gue lihat, ekspresi ini baru, seenggaknya bagi gue. Senyum halus di bibir yang sampai ke matanya, menawarkan kehangatan dan seolah berkata 'Gak papa, all emotions are welcomed here'

Berapa bulan gue gak bertemu dengan lelaki ini? Kenapa gue merasa banyak hal yang sudah terlewati? Ekspresi maklum di wajahnya jelas-jelas menjadi bukti Galuh telah melewati beberapa hal dan telah belajar darinya.

"Gue masih utang cerita, yang lo denger itu belum cerita lengkapnya"

Galuh diam, dia tak memberi tuntutan untuk gue kembali menyingkap tentang diri gue, tetapi dia memastikan ia ada dan memasang telinga untuk mendengar apapun yang siap gue lontarkan

"Gue pernah cerita kan nyokap gue nomorin anak-anaknya pake alfa beta gama?" Gue memberi jeda sampai anggukan kepala Galuh terhenti "Lo sadar gak harusnya ada dua kakak?"

Galuh terdiam, atau terpaku, karena bola matanya terhenti di satu titik. Satu dua spekulasi pasti mengalir di kepalanya, tetapi matanya tak mau menemui mata gue untuk menebak spekulasi mana yang benar. Dia benar-benar memposisikan dirinya sebagai pendengar

"Kakak kedua gue, Betania Kirana Arifin namanya. Bunuh diri tahun lalu,"

Mata gue melihat ke ujung genteng yang menaungi teras, dapat gue rasakan cairan mulai mengisi pelupuk mata gue, "Yang bikin gue marah adalah bang Yandra ada di rumah waktu itu. Bebe bisa aja dicegah seandainya bang Yandra lebih peduli sama sekitar."

SENANDIKA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang