Tangan Sungjin gemetar. Selembar kertas yang ada di tangannya terjatuh, bersamaan dengan air matanya yang terjun bebas membasahi permukaan lantai. Tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka, terkejut dengan rentetan kalimat yang baru saja ia baca.
Itu surat ancaman.
Untuk Wonpil.
Pagi ini sebetulnya Sungjin hanya sedang bersih-bersih apartemen seperti biasa. Tapi kemudian ia baru sadar kalau ia tidak sengaja membuang surat tagihan listrik bulan ini yang belum ia bayar. Akhirnya, ia terpaksa membongkar kembali isi pelastik sampahnya lalu memilahnya satu persatu.
Dan di situlah ia menemukan sebuah surat yang berisi kata-kata keji dan penuh ancaman. Tidak jelas siapa pengirimnya, karena si pengirim tidak mencantumkan namanya (tentu saja) tapi sangat jelas kalau surat itu ditujukan untuk anak bungsunya : Kim Wonpil.
Masih jelas di ingatan Sungjin kata demi kata yang tertulis di atas kertas lusuh itu :
Hei homoseksual laknat. Jika kau berani lapor tentang kejadian tadi siang kepada Wali Kelas atau siapapun, maka jangan salahkan kami jika terjadi sesuatu yang tidak kau harapkan pada pacarmu : Yoon Dowoon dan kami jamin, kau akan menyesal selamanya.
Hati Sungjin mencelos. Homoseksual laknat, katanya.
Air mata Sungjin tak bisa berhenti menetes. Seluruh persendiannya terasa kaku dan dadanya nyeri. Setiap kata yang dibacanya menusuk tepat di hatinya; bagai rentetan peluru tak kasat mata menggempur dadanya tanpa ampun. Sakit sekali.
Sebenarnya dari dulu Sungjin tahu kalau anak-anaknya merupakan korban diskriminasi sosial karena orientasi seksualnya dan Jaehyung. Dan sebenarnya sudah puluhan kali pula ia ingin mengambil tindakan, tapi Jaehyung selalu melarangnya.
"Percaya padaku, Babe. Mencampuri urusan anak-anak kita hanya akan memperburuk citra diri mereka di hadapan orang-orang itu."
"Kau itu punya hati atau tidak sih, Hyung?! Mereka mendapat perlakuan seperti itu karena mereka anak-anak kita : kau dan aku. Laki-laki yang menikah dengan laki-laki!"
Biasanya setelah ia mengatakan itu, Jaehyung langsung memeluknya erat. Tak peduli seberapa keras ia meronta minta dilepaskan, Jaehyung tak akan melepaskannya sampai dirasa dirinya benar-benar tenang.
"Bukankah sejak awal kita sudah membicarakan ini?" Jaehyung berbisik. "Keputusan yang kita ambil memang memiliki resiko yang besar dan kita sudah sama-sama tahu. Jadi, dari pada melabrak orang-orang keji itu, lebih baik kita bangun kekuatan dan beri kepercayaan untuk anak-anak kita. Kau pasti ingin kan' mereka tumbuh menjadi anak-anak yang tangguh?"
Tangguh. Kata pamungkas yang selalu berhasil meyakinkannya. Ia sadar bahwa dunia tidak se-ramah itu, terlebih untuk orang-orang seperti dirinya dan Jaehyung. Maka dari itu, menjadi tangguh dan mendidik anak-anaknya agar menjadi tangguh adalah cita-citanya.
Salah satu yang Sungjin lakukan adalah dengan berusaha tidak terlihat khawatir setiap kali anak-anaknya pulang sekolah dengan pakaian yang kotor, terluka, bahkan menangis sekalipun. Ia hanya akan menyuruh mereka membersihkan diri, makan, kemudian mempersilakan mereka untuk bercerita tentang apapun yang terjadi hari itu. Meski Sungjin selalu tahu, cerita pulang sekolah yang diceritakan anak-anaknya hanyalah karangan belaka, demi menutupi segala kenyataan pahit yang terjadi pada mereka di sekolah.
Dulu sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar, Younghyun tidak ada bedanya dengan Wonpil. Ia manja dan cengeng. Ia sering pulang sekolah dalam keadaan marah sambil menangis dan minta diberikan Eomma. Ia berulang kali mengatakan benci pada hidupnya, benci pada Papa dan Appa-nya, bahkan saat kelas tiga SD ia pernah kabur dari rumah selama tiga hari, membuat Sungjin dan Jaehyung mencarinya ke mana-mana seperti orang kesetanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOUGH
Fiksi Penggemar"Aku bangga. Kita berhasil membesarkan anak-anak yang tangguh" - Park Jaehyung #Day6Fanfiction #AU! #BxB