10,000 hours

467 32 1
                                    

"Halo, ma?"

"BANGUUUN! SUDAH JAM 6 NAK!"

Aku mengusap kuping, mama bicaranya keras sekali. Ini sudah menjadi kebiasaan mama untuk membangunkanku, tapi aku tetap tidak terbiasa.

Lalu aku memutuskan panggilan dan mulai bergerak mengubah posisi. Lagi-lagi mama berbohong.

Sekarang masih jam 5 subuh. Aku mengacak rambutku. Kesal rasanya.

Tapi yasudahlah, aku bisa menikmati waktu luang dengan bersantai sebelum bertemu dengan dosen pembimbing penelitianku.

Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, melewati seisi rumah kecil yang mulai kucicil dengan uang penghasilanku sebagai pengajar magang di salah satu sekolah swasta.

Ya, meskipun aku susah bangun pagi, bukan berarti aku pemalas. Buktinya aku berhasil mendapat beasiswa S2 di salah satu universitas negeri terbaik di negeri ini.

Selain itu, akupun sudah bekerja. Setahun lagi setelah aku lulus, aku akan diangkat menjadi pengajar tetap dengan gaji yang cukup bahkan lebih untukku yang hidup seorang diri.

Aku mengaduk matcha hangat yang baru saja kuseduh. Lalu mampir menuju pembakar roti yang sudah menunjukkan bahwa roti sudah matang.

Bisa kupastikan saat ini mataku masih bengkak, serta rambutku kubiarkan megar. Penampilan sempurna.

Aku berjalan dengan gontai menuju teras. Menunggu matahari terbit mungkin hal terbaik untuk melepas kantuk.

Ketika hendak membuka pintu, aku mengintip jendela. Aku mencari keberadaan tetanggaku yang selalu kuhindari beberapa hari ini.

Ternyata tidak ada.

Aku membuka pintu dan langsung duduk di kursi depan. Aku duduk dengan kaki mengangkang dan mata yang setengah tertutup.

Kurasa laki-laki akan berlari jika melihat penampilanku pagi ini. Hahaha biarlah. Yang penting tetanggaku tak ada.

Memang ada apa dengan tetanggaku?

Aku juga tak tahu. Hanya saja aku malu berhadapan dengannya.

Alias aku malu karena ia lebih rajin dariku!

Biasanya dia akan bangun pagi membersihkan halaman rumahnya dan-

"Pagi, mbak Mita."

Aku terkejut hingga hampir jatuh dari kursiku. Dengan sigap aku merapihkan bentuk rambutku dan juga posisi dudukku.

"Pagi, mas Taeil." Aku tersenyum gugup.

Dia tertawa, "Kaget ya, mbak? Sampe mau jatuh, gitu."

Aku tertawa garing menanggapinya. Ia menggeleng pelan, ternyata sedari tadi ia membersihkan rumput didepan rumahnya.

Karena tak ingin canggung dan terkesan sombong, akhirnya aku menghampiri pagar pendek yang menghalangi rumah kami.

"Rajin banget mas, masih subuh udah bersihin rumput." Guyonku.

Mas Taeil tersenyum, "Yah ginilah mbak, sebelum Tiara bangun saya udah harus beberes. Biar bisa ngasih makan tepat waktu."

Aku mengangguk kecil. Apa kubilang, tetanggaku ini rajin sekali. Aku iri sekaligus salut padanya.

Seorang duda yang ditinggal selamanya oleh istrinya karena sakit pendarahan setelah melahirkan anak mereka tiga tahun yang lalu.

Aku tahu cerita ini dari Jaemin, si anak SMA yang sering mampir ke rumahku untuk membawakan  berbagai makanan buatan mamanya yang tinggal disebelah rumahku.

Sedih saat mengetahui cerita mas Taeil. Tapi wajahnya yang selalu ceria itu membuat orang-orang disekitarnya merasa bahwa ia sudah hidup dengan baik.

Sejujurnya yang membuatku menghindari mas Taeil adalah gosip tetangga yang kurang mengenakkan. Karena interaksiku yang masih lajang dengannya yang menduda membuat beberapa orang berpikir kami cocok.

Semenjak ibu-ibu di komplek ini selalu menjodohkanku dengan mas Taeil, aku mulai mengurangi interaksiku dengannya.

Namun entah apa yang merasukiku pagi ini, tiba-tiba mulutku lancang berkata tanpa ada kerjasama dengan otakku.

"Mas, udah masak belum buat Tiara? Kalo belum sekalian aja saya masakin." Ucapku dengan wajah tenang, namun setelah itu jantungku berdegup kencang menyadari kebodohanku.

Mas Taeil menghentikan aktivitasnya, ia menatapku sebentar dengan mata sedikit membesar.

"Serius mbak? Gak enak sih sayanya."

Aku tertawa kecil, "Gak papa mas, lagian udah lama saya gak main sama Tiara."

Ya, semenjak gosip dimana-mana, aku tak pednah lagi main bersama anak Mas Taeil.

Kemudian dia tersenyum lebar. "Makasih lho, mbak."

Aku mengangguk. Kemudian dengan cepat berlari kecil menuju dapur. Aku menggunakan bahan masak seadanya.

Setelah masak, aku membersihkan diri dan langsung membawa makanan ke rumah mas Taeil.

"Mas, saya masuk ya." Ucapku setelah mengetuk pintu.

Mas Taeil datang sambil menggendong Tiara, kemudian ia tersenyum kearahku.

"Makasih banyak ya, Mit."

Tiara turun dari gendongan ayahnya, kemudian berlari kearahku.

"Ala mau makan sama Mita." Ucap gadis kecil dengan piyama bermotif unicorn.

"Tiara, yang sopan panggilnya, nak." Tegur mas Taeil, namun dibalas gelengan dengan Tiara.

"Mita?"

"Bukaaan."

"Mita!"

"Yang sopan, Tiaraa."

"Mama Mita!"

Ucapan yang terakhir berhasil membuatku dan mas Taeil terdiam. Bahkan sampai selesai makan pun, aura di sekitar kami berubah menjadi canggung.

"Mas, saya pulang dulu ya. Ada jadwal." Pamitku, lalu berjalan menuju keluar sambil membawa mangkuk yang kubawa tadi.

"Mit!" Panggil Mas Taeil yang mengikuti arah langkahku.

"Mit, saya minta maaf untuk yang tadi." Sesalnya.

Aku tertawa, "Gak papa, mas. Santai aja namanya juga anak kecil."

Aku bisa lihat ia tersenyum tulus. "Tapi kalau saya berniat jadikan kamu mamanya beneran, keberatan gak?"

Perkataannya sukses membuatku berubah jadi patung. Saat itu semua terasa berhenti. Hanya senyum dan kedip matanya saja yang bergerak.

"Mit?" Ucapannya membuatku sadar.

"Eh maaf, mas. Saya ehm itu saya, kenapa ya, saya-"

"Gak papa, Mit. Pikirkan dulu aja. Saya gak paksa. Tapi saya harap kamu mau kasih saya kesempatan untuk pendekatan lebih lagi."

Aku tersenyum.











I'd spend ten thousand hours and ten thousand more
Oh If that's what it takes to learn that sweet heart of yours
And I might never get there, but I'm gonna try
If it's ten thousand hours or the rest of my life

10,000 hours-Justin Bieber ft Dan+Shay

NCT (One-Shot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang