Bab 3 : Bakso hilang dari dunia?

228 98 14
                                    

"Hey!"

Entah dari mana suara bulat, besar, dan nyaring itu muncul. Tapi seperti terdengar tidak asing lagi ditelinga.

"Ngapain kalian berdua disana?"
Setelah beberapa kali celingak-celinguk mencari sang pemilik suara. Akhirnya edaran mataku terhenti. Terfokus pada sesosok pria yang tengah berdiri tegak di pinggir lapangan.

Terdengar suara derap langkah kaki yang berjalan menghampiri kami. Seorang pria tua berumur 40 tahun, mengenakkan seragam PNS berwarna coklat muda. Lengkap dengan logo dan nametag bertuliskan Drs. Sukriyadi, M.pd. sebuah kacamata baca berlensa kotak juga terkait di hidungnya yang besar. Dia tengah bercekak pinggang dengan sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri nya. Baju nya yang rapi dan licin selaras dengan sepatu pantofel hitamnya yang mengkilat tersorot cahaya sang surya. Kini, dia tengah memandang kami. Menunggu jawaban dari pertanyaan yang baru saja dia ajukan.

"Gimana nih? Ya ampun. Ayo Siska, Pikirin alasan yang bagus dan tidak menyinggung hati Randi," gerutuku dalam hati.

Aku terus memutar otak, berusaha mencari jawaban yang tepat dan tidak menyinggung perasaan Randi.

Tapi, tiba-tiba. "Oh, ini pak. Masa depan saya sedang dihukum. Daritadi dia sendiri disini, dan kepanasan. Jadi saya datang untuk memayungi dan menemaninya," seloroh Randi tanpa keraguaan sedikitpun.

Seketika aku membeku, kali ini ragaku beku tapi hatiku hangat. Entah kenapa perkataan yang di ucapkannya itu terdengar sangat indah dan menenangkan. Suara yang seolah memantulkan cahaya. Menerangi hatiku yang terperangkap, jatuh ke dasar kegelapan.

Seperti tersambar petir di siang bolong. Aku terpelangak, terpinga-pinga, terkesima oleh tutur katanya yang dipoles menawan.

Sedangkan, kepala sekolah tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban dari Randi. Lalu ia menepuk kasar bahunya. "Bagus, itu tandanya kamu laki-laki yang bertanggung jawab," cakapnya, "tapi, selain cinta, perempuan juga butuh materi. Jadi, sekarang kalian masuk ke dalam kelas. Terutama kamu. Siapa nama kamu?" tanya-nya pada Randi.

"Randi pak," jawab Randi.

"Hah. iya, Randi. Sekarang kamu harus belajar yang bener, yang pinter. Biar gak cuma ngasih cinta tapi juga bisa ngasih materi. Soalnya, zaman sekarang cinta tanpa materi bagaikan sayur tanpa garam, tanpa gula kurang enak kurang sedap," senandung kepala sekolah.

Aku dan Randi tertawa mendengar nyanyiannya yang sedikit sengau dan parau.

"Inget ya nak wejangan Bapak." Kepala sekolah menyentuh puncak kepalaku. "Kalo Nak Randi ini sekolahnya gak bener, kamu jangan mau sama dia. Mending cari laki-laki lain yang lebih pinter. Pinter jagain kamu dan yang paling penting pinter nyari duit," canda kepala sekolah, yang membuat kami tertawa lepas.

"Kalo saya mah insyaallah pak, masa depannya cerah dan terjamin," beber Randi diakhiri kekehan.

"Yaudah, sekarang kalian masuk ke kelas. Belajar dulu yang bener, urusan cinta-cintaan nanti nyusul belakangan," tandas kepala sekolah.

"Baik pak," aku dan Randi menjawab dengan kompak sembari mengembangkan senyum.

Kemudian kepala sekolah berlalu meninggalkan kami berdua.

"Ayo Sis, sini Randi pegangin." Randi memegang bahu dan memapahku.

***

Tiba-tiba Randi menghentikan langkahnya.

"Siska duduk dulu ya."
Randi mendudukanku di atas sebuah kursi yang berada di lorong sekolah, lalu hendak bergegas pergi. Namun, belum sempat melangkah pergi aku sudah menarik tangannya.

Tenggelam Bersama LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang