Bab 17 : Melebur bersama hujan

63 17 0
                                    


Sontak, aku mendorong tubuhnya menjauh dari tubuhku. Runtutan kejadian itu benar-benar terekam jelas dalam memori ingatanku.

Bayangan wajah Reno dengan mata tertutup. Menampakan dengan gamblang bahwa dia sangat menikmati ciuman itu.

"Nggak. Ini cuma mimpi!" ucapku dengan suara gemetaran, menenangkan diri.

"Ini cuma mimpi!" jeritku, terisak menangis beruraian air mata.

Aku sama sekali tak menghiraukannya yang tengah terpuruk, jatuh ke lantai teras.

Aku menepuk-nepuk kedua pipiku, berupaya menyadarkan diri dari kenyataan yang ku harap hanya sebuah ilusi mimpi tak bertepi. "Bangun, bangun Siska! Bangun!" raungku makin menjadi-jadi.

Segala ringkikan dan rintihan terpendam, tertahan tak tersampaikan. Jutaan pertanyaan berkecamuk, memenuhi ruang kepalaku.

Semuanya hadir, membuatku kebingungan. Rasa ingin marah, menampar, memukuli itu semua ada. Tapi, di satu sisi aku juga ingin menangis, berteriak, ingin bertafakur sendirian.

Secepat kilat ia menyambar kedua tanganku. Mengutarakan penjelasan yang membuatku semakin muak dan mual. "Maafin aku. Aku cuma pengen nolong kamu," rintihnya.

Ku hempaskan tangannya dengan kasar tanpa rasa kasihan sedikitpun, sampai ia kembali jatuh, tersungkur ke lantai teras.

Saat rasa marah membuncah di dalam dada. Rasa benci memantik hasrat untuk pergi. Otakku seakan tumpul, tidak dapat berpikir jernih.

Langkah kakiku goyah, berjalan di bawah lebatnya hujan yang hari ini kembali membawa kesedihan. Ku seka dengan kasar bibir suci yang kurasai telah hilang kesucian itu daripadanya.

Dimana orang yang merampasnya tengah meneriaki, memanggil namaku dengan keras. Tapi tak ku gubris. Ku acuhkan dia yang kini hanya ku anggap sebagai seorang lelaki bejad.

Aku berjalan gontai, tak tentu arah seperti mayat hidup. Hatiku hancur, melebur bersama aliran hujan yang meresap ke dalam tanah. Kekecewaan menusuk dasar hatiku, menyayat sanubari serta merajam habis sukmaku sampai ke akarnya.

Sampai akhirnya, aku benar-benar terjatuh. Di atas jalan setapak berbatu yang berada di tengah hamparan kebun teh. Entah telah berapa lama aku berjalan, dan entah ada dimana diriku sekarang.

Darah mengalir dari lututku yang terluka. Tak tahu, bagaimana luka ini bisa ada dan hadir. Tapi aku benar-benar tak dapat merasakan bagaimana kedatangan dan kehadirannya, jika tak melihat darah yang mengalir, terbawa oleh air hujan yang menuruni perkebunan.

Karena ada luka lain yang jauh lebih perih, lebih menyakitkan daripada luka yang terlihat dan berdarah ini. Ada goresan di bagian tubuh lain yang lebih menyakitiku daripada goresan di lutut ini. Dan luka serta goresan itu adanya di dalam hati. Tak terlihat, tak berdarah, namun teramat sangat menyakitkan.

Aku jatuh tersungkur, terpaku dalam dudukku bersama lebatnya hujan dan luka serta dukaku. Aku terus menyeka bibirku sekuat tenaga, tak perduli walau dia akan terluka atau bahkan sobek. Yang ku tahu, aku hanya sedang berusaha menghilangkan kotoran yang baru saja di tempelkan kepadanya. Berupaya mengembalikkan kembali kesucian yang telah direnggut darinya oleh orang yang tak seharusnya mengambil dan memilikinya.

"Aaaa ..." raungku, menjerit sekeras-kerasnya meluapkan seluruh emosi jiwa yang tertahan dalam diri. Otot-otot wajahku menegang, hujan mengguyur tubuhku. Tapi bukan dingin, malah panas yang ku rasakan menjalar ke seluruh bagian tubuhku hingga pelosok yang paling dalam.
"Aaaa ..." suaraku melengking, beradu dengan suara guruh guntur di atas langit. Darah terus merangkak naik, mendesir ke seluruh permukaan wajahku.

Aku tercenung, bertafakur dalam-dalam. Termangu, terdiam karena sedih dan kecewa. Air mata telah menyatu dengan air hujan. Dan jasadku, akan segera menyatu dengan tanah.

"Kenapa? Kenapa harus Reno? Kenapa dia yang ku anggap sahabat malah mematahkan hatiku, meremukannya sampai hancur lebur dan porak-poranda!"
pikiran itu terus muncul, memenuhi isi kepalaku.

Kesucian yang bertahun-tahun lamanya ku jaga dengan segenap jiwa dan raga. Ku persiapkan baik-baik hanya untuk suamiku kelak. Tapi tadi, hanya butuh waktu beberapa detik baginya untuk merenggut kesucian itu dariku.

Dia telah membuat penjagaanku dan penantian calon suamiku hancur. Dia telah merampasnya sebelum suamiku mengambil yang menjadi hak patennya.

Aku merasa telah kotor, telah hina. Sehingga tak layak nantinya suamiku bersanding dengan wanita kotor sepertiku, yang tak dapat menjaga kesucian dirinya.

Mungkin sebagian dari kalian menganggap reaksiku ini terlalu berlebihan, aku ini sok suci, sok alim dan sebagainya.

Tapi bagiku tidak ada yang berlebihan, emosi dan kekecewaanku tak berlebihan. Sama sekali tidak. Karena dalam prinsipku hal-hal seperti itu hanya untuk suamiku, bukan laki-laki lain. Aku tahu diriku bukanlah sosok seorang wanita yang soleha, bukan wanita alim yang paham betul tentang ilmu agama. Aku mengerti dengan sangat bahwa diriku tidak lebih dan tidak lain hanyalah seorang pendosa. Bukannya merasa paling suci, tapi prinsip tetaplah prinsip. Dan aku akan menjunjungnya tanpa memperdulikan omongan orang.

Jadi, jika menurut kalian ini berlebihan. Maaf, bagiku ini sudah sangat wajar.

***

Drkk ...

Setelah membuka pintu Ibu langsung berlari kecil menyambutku. "Eh, anak Ibu udah pulang. Nak Reno nya mana?" tanya Ibu diikuti wajahnya yang melongok keluar pintu, meneliti keberadaan Reno.

"Loh, kok gak ada?" tanyanya heran.

Tidak ada kata dan jawaban yang keluar dari lidahku.
Aku hanya menjatuhkan wajahku di atas bahu Ibu. Berharap Ibu mau memeluk dan menenangkanku. Tapi, ekspektasi tak sesuai realita.

"Iih ..." Ibu menjauhkan tubuhku dari badannya dengan gestur dan raut wajah yang menunjukan bahwa dia jijik. "Kamu tuh basah! jangan peluk-peluk Ibu," sinisnya, "Ibu tanya, Nak Reno mana. Kamu kan tadi pergi sama dia, kok pulangnya sendiri?" lanjutnya, kembali menanyakan Reno.

"Kenapa Bu? Kenapa cuma Reno yang Ibu tanyain, yang Ibu khawatirin. Disini, sekarang anak Ibu lagi butuh dukungan lagi, butuh figur seorang Ibu yang penyayang dan mau mengasihinya," batinku mengoceh kecewa.

Aku menatap Ibu nanap, penuh kecewa. Air mata telah berkilauan menandakan semuanya sangat menyedihkan.

"Siska ke kamar dulu, Bu," pamitku pada Ibu.
Aku segera berlalu masuk ke dalam kamar. Menumpahkan kembali semua kekecewaan yang datang menerpaku.

"Dor ... dor ... dor," Ibu menggedor keras pintu kamarku. "Jawab dulu pertanyaan Ibu. Siska!"

Sementara di balik pintu itu aku sedang terkulai, menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala kesedihan dan kekecewaan yang datang menghantam bak ombak pasang yang menenggelamkanku bersama luka.

"Aaaa ..." hatiku menjerit, meraung kesakitan. Rasa kecewa yang begitu besar telah menghancurkannya sekali lagi.
Bibirku bergetar, bergejolak memintaku untuk teriak sekuat-kuatnya. Tapi itu tak mungkin. Ini di rumah dan ada Ibu.

Kondisiku kacau, semrawut acak-acakan. Sekujur tubuh dan pakaian basah kuyup tersiram hujan. Begitu pula dengan rambut basah nan berantakan yang ku biarkan terurai begitu saja. Hal itu sudah tidak ku pentingkan lagi.

Luka di lutut kananku-kubiarkan apa adanya. Sekarang aku hanya bisa memeluk erat keduanya. Meratap dan merenungi setiap kejadian naas yang ku alami hari ini. Sepertinya malam ini akan terjadi kebocoran hebat lagi di telaga mataku.

Bersambung ...

Tenggelam Bersama LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang