Bab 23 : Tragedi

47 6 0
                                    

"No ..." kali ini tangisku benar-benar pecah. Aku tak bisa lagi bertahan dari eratnya pelukan Reno yang menyulitkan dan menghambat kelancaran saluran pernafasanku.

Tenagaku sudah terkuras, kugunakan untuk berontak dan melawan. Tetapi, hasilnya nihil. Reno adalah lelaki, dan tenaganya jauh lebih kuat dariku.

Bagai melayang, aku ditarik oleh seseorang. Yang membuat wajahku melesat di atas bahu yang cukup lebar.

"Sis ... kamu gapapa?" sayup-sayup aku mendengar kata-kata itu. Dan pipiku terasa sedang dioyak-oyak.

"Randi," kataku pelan, seperti orang berbisik.

Seseorang kembali menarikku, begitupun sebaliknya dari arah yang berlawanan adapula yang menarikku. Aku merasa seperti boneka yang sedang jadi bahan rebutan dua anak kecil. Yang ditarik dari sisi kanan dan kiri.

"Stop ..."
"Udah, cukup!" Perkataan itu bertubi-tubi keluar, terealisasikan lewat suaraku yang kian menciut.

Tubuhku gontai, bak terombang-ambing di atas kapal tak berawak. Ditarik kesana-kemari. Puncaknya saat lelah, letih, lesu dan sebuah benda menghujam, membentur keras kepalaku.

***

Langit-langit dengan material asbes putih, dengan lampu neon yang menggantung di atasnya terlihat samar. Semuanya berwarna putih.

Perlahan semuanya mulai jelas. Saat aku mulai mengedip-ngedipkan mata. Pelan-pelah ku edarkan mata mengamati keadaan sekitar.

"Sayang, kamu udah bangun." suara itu menghentikan edaran bola mataku. Membuatnya langsung beralih mencari sang sumber suara.

Seorang wanita memakai dress hijau, dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai. Tengah duduk di samping ranjang yang aku tiduri, seraya menggenggam tanganku. Sesekali ia mengusap kepalaku.

Tepat dibelakangnya berdiri seorang pria tua mengenakan kemeja garis-garis dan celana longgar berwarna hitam.

Dan di sebelah kananku, berlawanan dengan si wanita yang berada di sebelah kiri. Seorang pria remaja dewasa nampak cemas, menatapi wajahku dalam-dalam.

"Kamu udah sadar, Sis." Si pria muda menggapai tanganku yang masih terbujur kaku di atas tempat tidur. Terselip kecemasan dalam suaranya.

"Dok, dokter ..." Histeris pria itu memanggil dokter dengan suara lantang, dan gelagap tubuh panik.

Kemudian ia kembali menghampiriku, mengelus halus puncak kepalaku. Matanya nampak berbinar.

"Akhirnya kamu sadar sayang." Dia mengecup lembut punggung tanganku.

"Ini dimana?" tanyaku. Mencari tahu dimana keberadaanku sekarang. Dan apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Kamu di rumah sakit," jawabnya.

"Rumah sakit?"

"Iya, kamu nggak sadarkan diri selama dua hari. Ini hari ke tiga, dan alhamdulillah kamu sadar,"
"aku seneng banget, Sis," sambungnya.

Binar senang terpancar dari sorot matanya. Seseorang yang tak kukenali.

"Kamu siapa?"

Semua orang yang berada dalam ruangan nampak kaget. Mata mereka terbelalak, membuntang terpegun mendengar kata-kata yang baru saja kulontarkan.

"Maksud kamu apa, Nak?" tanya perempuan di sampingku, "kamu jangan becanda. Ini Nak Reno. Dan ini Ibu, " tambahnya. Seraya menghentakkan pelan telapak tangannya ke atas dada.

"I-ibu?" tanyaku terbata.

"Iya, ini Ibu Nak. Ibu kamu."

Buru-buru ia bangkit dari duduknya, menghampiri seseorang yang baru saja merapatkan pintu. Masuk ke dalam ruangan.

"Dok, anak saya kenapa? Kenapa dia nggak inget sama saya?" sergah perempuan itu kepada laki-laki berumur sekitar 40an. Ia mengenakan jas dokter. Lengkap dengan stetoskop yang melingkar di lehernya. Serta kacamata minus, dan rambutnya yang mulai memutih.

"Tenang, Bu. Saya sudah membawa hasil lab anak Ibu."

Sambil membuka map coklat yang dibawanya, dia melihat. Tidak, sepertinya dia sedang membaca hasil labnya. Lantas dokter itu berkata, "berdasarkan hasil lab, anak Ibu mengalami amnesia."

"Apa, Dok? Amnesia?"
"Jadi, maksud Dokter anak saya hilang ingatan?" Bertubi-tubi perempuan itu menghujam dokter dengan pertanyaan serupa.

"Iya, Bu. Ini adalah kondisi di mana seseorang tidak bisa mengingat informasi, pengalaman, atau semua kejadian yang pernah dia alami sebelumnya. Amnesia bisa terjadi secara tiba-tiba atau berkembang secara perlahan. Dan pada kasus anak Ibu ini, amnesia terjadi saat kepalanya terbentur dengan sangat keras. sehingga, dinding otaknya mengalami cedera berupa retak."

Setelah berhenti sesaat menyadari keadaan yang mulai haru, dokter kembali menjelaskan keteranganya.

"Bila cedera yang terjadi sudah cukup parah, sampai mengenai bagian otak besar, kecil, dan tengah, maka pengidap amnesia akan membutuhkan waktu lama untuk sembuh." penjelasannya semakin membuat suasana tegang. Ku lihat semua orang menampakkan ekspresi panik dengan gamblang.

Wanita disampingku sampai menutup mulutnya dengan tangan. Dan ada sesuatu yang mencair di sudut matanya. Laki-laki tua yang berdiri mematung di belakangnya terlihat frustasi mendengar keterangan dari dokter.

Sedangkan, pria muda itu nampak kecewa. Dia mengeratkan genggaman tangannya, dan tak sungkan menjatuhkan air mata. Bahkan, beberapa tetesnya ada yang mendarat di atas pipiku.

"Tapi, syukurlah benturan hanya mencederai dinding otaknya, sehingga pada kasusnya amnesia yang terjadi mudah disembuhkan."

Suasana terlihat lebih tenang setelah dokter memberikkan pernyataan tersebut. Semua orang nampak menghembuskan nafas lega.

"Dan untuk pengobatannya bisa dilakukan melalui dua cara terapi. Yaitu terapi okupasi dan terapi kognitif. Selain itu, pengobatan juga bisa dilakukan dengan mengonsumsi vitamin dan suplemen untuk mencegah kerusakan otak lebih parah akibat amnesia. Untuk itu, saya akan berikkan resepnya dan silahkan Ibu tebus di bagian resepsionis."

"Baik, Dok."

Setelah memeriksa kondisiku yang dirasanya sudah membaik dan normal. Dokter itu melenggang, keluar dari ruangan.

"Kamu istirahat dulu ya, jangan berpikir atau dipaksain nginget sesuatu. Kamu harus banyak istirahat. Supaya cepet sembuh," ujar si pria muda.

Nampaknya, dia sangat mencemaskan kondisiku saat ini. Dia juga sangat perhatian, ramah dan penuh kelembutan.

Bersambung ...

Tenggelam Bersama LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang