Bab 26 : Usaha

36 7 0
                                    

"Kamu tidur yang nyenyak ya, muach." kecupan kening kembali ia lesatkan di atas keningku. Entah untuk yang ke berapa kalinya untuk sehari ini saja. Tapi aku bersyukur, jika memang ada yang mencintaiku sampai sebesar ini.

Menit ini, selepas ia mengantarkanku ke kamar dan mengucapkan perpisahan sesaat. Ku putuskan untuk memutar memori, mengingat kejadian-kejadian di masa lalu atau beberapa bulan kebelakang yang pernah ku alami. Meski hanya kejadian di hari sebelum aku berbaring kaku di rumah sakit yang nantinya bisa ku ingat.

Tapi nihil, hasilnya tetap zonk. Nol besar. Semuanya kelabu, hitam tak berwarna. Bukannya ingatan, malah rasa sakit yang timbul, menerpa kepalaku.

"Sampai kapan aku begini. Sampai kapan aku lupa, bahkan tentang diriku sendiri. Jati diriku. Entah cobaan apa yang sedang tuhan ujikan kepadaku saat ini. Namun, aku sadar. Kesabaran selalu menjadi kunci untuk semua cobaan."

***

"Selamat pagi, Non," sapa seorang perempuan paruh baya saat aku menuruni tangga hendak menuju dapur.

Perempuan itu sedang berada di pantry dapur. Melakukan aktifitas memotong sayuran dengan celemek yang menggantung dan melingkar di tubuhnya.

"Pagi," sapaku balik seraya merekahkan senyum. Oh ya, saat ini aku mengenakan setelan piyama tidur berlengan dan celana panjang pemberian Ibu Reno.

"Non bangun pagi sekali. Sarapannya belum siap. Atau mau bibi seduhkan susu dulu?" pertanyaan itu langsung ia lemparkan saat aku semakin dekat berjalan ke arahnya.

"Tidak usah, Bi."
"Ngomong-ngomong Bibi ini siapa?" tanyaku setelah berhadapan langsung dengannya.

"Oh, iya. Bibi lupa, belum memperkenalkan diri. Nama bibi Ijah. Bibi pembantu di rumah ini. Sudah 10 tahun ikut Nyonya dan Tuan."

"ART, Bi," sanggahku, "sekarang udah gak ada yang namanya pembantu. Adanya ART alias asisten rumah tangga. Lagian ART lebih enak di dengar, daripada pembantu yang menurut saya pribadi terdengar kasar dan merendahkan."

"Hehehe, iya Non. Selama bertahun-tahun kerja, rasanya baru kali ini Bibi dipanggil ART. Non ini baik sekali," jelasnya seraya tersenyum, menampakan giginya yang masih tersusun rapi.

"Saya nggak sebaik itu kok, Bi."
"Eh, iya. Tapi kok Bibi udah tahu saya sih, saya kan baru di rumah ini."

"Oh ..., itu Non. Semalam Nyonya sudah cerita kalau calon Nyonya muda menginap. Nama Non Siska kan?"

"Iya, Bi. Panggilnya Siska aja ya Bi, nggak usah pake Non."

"Bibi nggak enak Non."

"Lebih nggak enak saya Bi. Dipanggil Non sama Bibi. Bibi kan lebih tua dari saya. Saya takut besar kepala. Dan kayanya gak sopan aja gitu ke denger di telinga hehe ...," jelasku menyelipkan kekehan kecil di akhir kata.

"Gimana kalo Bibi manggilnya Neng saja. Soalnya Bibi gak enak sama Tuan dan Nyonya kalau cuma manggil nama Non."

"Iya, Bi. Seterah Bibi saja, asalkan jangan Non. Karena terkesan seperti saya empunya rumah dan orang gedongan. Padahalkan saya cuma orang biasa."

"Non kan,"

"Bi," potongku.

"Eh." Dia menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. "Maksudnya Neng. Hehe ...,"

Tak lama, aku memotong kikikannya dengan sebuah pertanyaan. "saya mau nanya."
"Orang-orang di rumah ini bangunnya jam berapa ya?" tanyaku sambil berjalan mendekati dispenser.

"Setelah beres menunaikan shalat, biasanya Nyonya turun ke bawah memastikan menu sarapan hari ini sesuai dengan yang di request."
"sekitar jam 6 barulah semua anggota keluarga berkumpul di meja makan untuk sarapan. Setelah itu, Tuan akan berangkat mengecek perkebunan, lalu ke kantornya." tambahnya.

"Oh, gitu Bi. Yasudah, saya cuma mau ngambil air minum doang," ucapku seraya mengangkat air minum yang sudah kugenggam sempurna, "saya ke atas dulu ya, Bi," sambungku.

"Iya, Neng."

Aku kembali melenggang, menapakkan setiap inci langkah kaki di atas keramik berbahan dasar marmer. Sembari mengedarkan mata, mengamati setiap sudut rumah sebesar ini yanh hanya di huni oleh tiga orang dan beberapa pembantu saja.

"Sekarang sudah pukul 05:30 wib, mungkin semua anggota keluarga sedang bersiap untuk sarapan. sebaiknya aku juga segera bersiap sebelum dipanggil," batinku.

***

Ada beberapa pertanyaan yang hari ini, rencananya akan ku tanyakan pada Reno. Jika bukan kepadanya, pada siapa lagi. Saat ini hanya dialah satu-satunya orang yang bisa ku tanyai. Terlepas dari kedudukannya sebagai tunanganku. Rasanya malu, kalau aku harus mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang tuanya agaknya seorang wartawan.

"Hmm ....tapi, aku biasa memanggilnya apa?" Aku berpikir sejenak, dengan posisi berdiri mematung menatap pemandangan sekitar di atas balkon. Sambil bertopang dagu dengan sebelah tangan.

"Apa sayang? Seperti biasa ia memanggilku." Aku kembali berpikir. "Tidak! sepertinya terdengar aneh jika kata itu keluar dari mulutku," kataku menjawab pertanyaan sendiri.

"Kakak?" tuturku dengan lamban. "Atau Reno?"

"Sayang aja." Suara itu memecah heningku, yang tengah khusyu dengan pikiran sendiri.

Refleks, aku menoleh ke belakang. Ternyata Reno. Entah sudah berapa jauh dia mendengar percakapan kami. Aku dan diriku sendiri.

"Eh, hehe ..." aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Ya ampun, aktifitas klasik yang kebanyakan orang lakukan saat sedang tertangkap basah," pekikku dalam hati.

Aku jadi malu sendiri dengan aktifitas yang mungkin tergolong aneh ini. Akhirnya aku angkat suara untuk sedikit membebaslan diri dari rasa malu ini. "Kamu, dari kapan disitu?"

"Dari tadi."

Jleb

"Matilah kau Siska. Sekarang malunya sudah menjalar ke seluruh bagian tubuh. Hingga pipi yang mulai terasa hangat, terbakar. Mungkin sekarang warnanya berubah merah padam," batinku.

Aku memasang senyum terpaksa dan penuh kepalsuan di atas wajahku yang kini tersipu.

"Panggilan sayang bagus kok. Nggak aneh, malah kedenger manis kalau kamu yang ngomong," selorohnya yang kini sudah berdiri tegak di hadapanku.

Aku rasa, kami terlihat seperti seorang kakak beradik jika sedang berada dalam posisi ini. Dimana aku hanya setinggi bahunya. Sedangkan dia, masih lebih tinggi beberapa centi dari tubuhku. Mungkin juga ini terlihat romantis, layaknya adegan di beberapa drama korea.

Jleb

Lagi-lagi seperti ada sesuatu yang menusuk di atas dadaku.

"Nah, coba itu gimana Siska," lagi-lagi batinku meracau.

Bibirku terkatup rapat-rapat. Tak sepatah katapun yang bisa keluar darinya, aku rasa.

"Kamu nggak usah ragu. Panggil aja aku dengan sebutan yang kamu mau. Apapun sebutannya, kalau itu keluar dari bibir kamu. Rasanya udah cukup buat bikin hati aku meleleh," terangnya sembari menangkup sebelah pipiku dengan tangannya.

Masih dalam posisi bibir tertutup aku menganggut, menggerakan kepala naik turun. Seraya tersenyum simpul.

Bersambung ...

Tenggelam Bersama LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang