Bab 16 : Bedebah Reno!

102 31 3
                                    

"Kamu ngapain bohong sih, No? pake ngaku-ngaku kita tunangan segala!" tanyaku kesal.

"Ya, maaf Sis. Abisnya Reno bingung harus bilang apa tadi," jawabnya dengan nada mengeluh.

"Kamu kan bisa jujur. Ngomong aja kalo aku tuh temen kamu. Gak usah bohong, aku nggak suka!" tegasku.

"Iya, maaf. Udah dong, jangan marah-marah terus," pintanya.

"Wajar kalo aku marah, No. Kita nggak tau, apa Bapak itu bakal ngomong ke orang lain atau nggak kalo kita tunangan. Aku nggak mau di gosipin. Apalagi, kalo sampe aku denger langsung. Itu tuh nyakitin!" ucapku tegas dan kesal. "Awas kalo kamu sampe kaya gitu lagi!" ancamku, dengan wajah tegang dan mata yang melebar, menatapnya lekat.

Reno meraih tanganku sembari menungkapkan permintaan maafnya. Aku mulai meredam kekesalanku padanya.

Maaf, mungkin reaksiku ini terlalu berlebihan. Tapi, aku benar-benar muak jika nantinya harus di gosipkan dan dicibir orang. Terlebih, oleh Genk malaikat berhati iblis yang sudah lama tak bertandang, bertamu ke rumahku.

Aku menganggukan kepala, mengiakan permintaan maaf Reno. Reno membelai rambutku selembut sutra, mengucapkan terima kasih karena telah memaafkannya.

Setelah masalah itu selesai, kami kembali melanjutkan perjalanan berkeliling perkebunan. Sepanjang perjalanan para pekerja terus menegur Reno dengan sopan dan penuh hormat. Seperti yang tadi ku katakan, layaknya pada seorang atasan.

"Den," sapa seorang perempuan setengah baya bercaping yang tengah memetik daun teh.

"Den? Mungkinkah Reno pemilik perkebunan ini?" batinku.

Di kampungku panggilan "Den atau Aden" biasanya ditujukan pada tuan muda pemilik perkebunan atau tanah.

"Non cantik sekali," puji wanita itu padaku, "cocok bersanding dengan Aden," sambungnya.

Aku menarik sudut bibirku, melemparkan senyum padanya yang telah memujiku.

"Baru kali ini Aden membawa gadis ke perkebunan,cantik pula. Apakah Non ini calon nyonya muda perkebunan, Den?" tanyanya pada Reno.

"Hm... ternyata benar dugaanku perkebunan ini milik Reno," batinku.

Reno terkekeh pelan, "Kami duluan, ya," ucapnya yang langsung menarikku kembali berjalan.

Aroma daun teh yang segar dan khas terus menyapa hidungku di sepanjang perjalanan. Hamparan daun teh yang luas nan berbukit-bukit, membuatku betah berlama-lama di sini. Pikiranku jadi lebih fresh dan rileks.

"Ke sungai, yuk?" ajak Reno.

"Ngapain?" tanyaku.

"Main air. Inget gak, dulu kita suka mandi terus main air di sungai. Ngalun -- membiarkan tubuh terbawa arus sungai di atas ban kompa hitam berbentuk bulat seperti donat, sama temen-temen yang lain," katanya.

Aku melebarkan senyum, tertawa bahagia. Sejenak mengingat kembali masa-masa itu. "Iya, inget. Seru banget," pungkasku.

"Yaudah,yuk!" Reno berlari, menarik tanganku. Membuat tubuhku secara otomatis berlari pula mengikutinya.

Setelah berlarian dan berjalan cukup lama. Akhirnya, aku mendengar suara gemercik air.

Air sungai mengalir dengan tenang. Airnya jernih, belum tercemar. Saking jernihnya batu-batu kecil di dalamnya bisa terlihat jelas. Bebatuan besar dan kecil yang berdiri megah di tengah dan di tepian sungai. Bak permata yang mengkilat, mereka berkilauan di sorot oleh cahaya matahari siang yang cerah. Selain itu, tanaman-tanaman dan bunga liar yang tumbuh di sekitarnya turut andil, menjadi bumbu penyedap tambahan.

Di atas langit biru, awan-awan putih bergumpal seperti kapas. Terkadang beberapa burung melintas, terbang sambil berkicau merdu.

Kini, aku tengah duduk di atas salah satu batu besar di tengah sungai. Di belakangku ada Reno. Punggung kami saling menyender, menempel seperti prangko.

"Hufh," terdengar Reno menarik dan menghembuskan nafas berat.

"Reno jadi pengen bawa pemandangan ini ke Surabaya. sama kamu-kamunya juga," Reno menyelipkan candaan di antara kata-katanya.

Aku terkekeh, "Emang di Surabaya gak ada yang kaya gini?" tanyaku heran.

"Ada sih," jawabnya, "cuma gak ada kamunya," tambahnya, "pemandangan sebagus apapun, kalo gak ada kamunya percuma. Hambar, gak ada rasa."

"Masa sih? emangnya Siska garem?" tanyaku sembari terkekeh setelah mendengar tutur katanya itu.

"Bukan." Reno membalikkan tubuhnya ke depan. "Tapi, Siska itu gula. Manis banget!" bebernya dengan tegas, "kalo Reno semut, pasti Siska udah Reno gondol. Reno bawa ke sarang, terus di sembunyiin di tempat rahasia. Cuma Reno yang tau di mana tempatnya," tambahnya lagi.

"Kok di sembunyiin sih?" tanyaku penasaran.

Reno membalikkan tubuhku, supaya menghadap kepadanya. "Soalnya, gula manis yang satu ini cuma punya Reno," akunya, yang sesudah itu langsung mencubit gemas kedua pipiku.

Aku tertawa, disusul Reno. Sehingga, membuat kami jadi tertawa bersamaan.

Reno turun, memerosotkan dirinya dari atas batu yang sedang kami duduki. Memasukkan kakinya ke dalam air dengan celana jeans yang digulung sampai pertengahan betis. Kemudian, ia masukkan tangannya ke dalam air sebelum mengayunkan dan melemparkannya padaku.

Percikkan air yang diayunkannya mendarat tepat sasaran di tubuh dan wajahku. Dia menertawaiku setelah melakukan tindakannya itu. Tawanya lepas dan terlihat penuh kebahagiaan, mulutnya sampai terbuka cukup lebar. Kerutan muncul di kedua sudut matanya yang menyipit. Rambut klimisnya ikut bergoyang, terbawa oleh tubuhnya yang bergetar mengeluarkan tawa.

Langit biru mulai memudar jadi kelabu. Gerombolan awan hitam berkumpul menutupi awan putih. Butiran bening mulai jatuh, menetes ke permukaan wajah bumi.

"No. kayanya mau ujan deh," selorohku padanya.

Benar saja, belum kering kata-kata itu keluar dari mulutku. Bahkan aku belum sempat merapatkan bibir. Namun, butiran bening yang tadi baru saja menetes, sekarang sudah membasahi tubuh dan pakaian kami. Mereka jatuh bersamaan, serentak menimpa tubuh kami tanpa rasa ampun.

Refleks, Reno menarikku ke tepi sungai. Membawaku singgah ke sebuah pondok kecil yang terbuat dari bambu untuk berteduh dari derasnya hujan. Di depan pondok, tergeletak kursi panjang tanpa sandaran punggung yang kini sedang kami duduki. Kami duduk kedinginan, dalam keadaan basah namun belum kuyup. Hujannya turun lebat, tanpa suara guruh dan petir yang mengiringi.

Semakin lama, hujan bukannya mereda malah bertambah kencang dan lebat. Rasa dingin mulai menjalar ke seluruh permukaan tubuh, membuatku menggigil kedinginan. Aku menggosok-gosok telapak tangan, lalu meletakkannya di lengan atas dengan posisi menyilang. Berharap hal itu dapat memberikanku sedikit kehangatan. Tapi nihil, rasa dingin malah semakin menjadi-jadi, mencekam erat tubuhku.

Reno yang tak tega melihatku menggigil kedinginan, langsung melepas jaket yang melekat di tubuhnya. Dia memasangkan jaket itu kepadaku. Padahal, aku tahu diapun sama kedinginannya sepertiku. Reno duduk sangat dekat denganku, tidak ada jarak se sentipun yang memisahkan tubuh kami. Reno memeluk erat tubuhku, sesekali ia menggosok telapak tangannya lalu menempelkannya pada tangan dan pipiku. Dia berusaha memberiku rasa hangat.

Aku menyenderkan tubuh pada Reno, dalam pelukannya sambil memejamkan mata. Angin semilir yang bertiup membawa hawa dingin perlahan kurasai mulai menghilang. Pelan tapi pasti, usaha Reno berhasil. Aku mulai merasakan kehangatan di tangan, pipi, dan tubuhku.

Tapi, seketika aku tersentak saat kehangatan itu datang menghampiri bibirku. Aku langsung mengerjapkan mata, untuk mencari tau dari mana asalnya kehangatan ini.

Saat itu aku benar-benar bisa melihat wajah Reno yang terpampang jelas di depan mataku. Bahkan, aku bisa merasakan hembusan nafas yang keluar dari hidungnya. Bagaimana tidak, wajahnya saja hampir menempel dengan wajahku.

Berengsek! kehangatan itu ternyata berasal dari bibirnya yang menekan, tengah mencumbui bibirku.

Bersambung...

Tenggelam Bersama LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang