Setelah melalui perjalanan cukup panjang yang di tempuh dengan berjalan kaki, kami akhirnya sampai di rumah Teh Ade. Aku, Ibu dan Rani.
Selepas berusaha keras membujuk Ibu, akhirnya dia memperbolehkan Rani ikut. Walaupun dengan sebuah persyaratan yang terpaksa harus aku setujui.
Sebuah bener bertuliskan "Kosmetik Ade, tak perlu diragukan lagi" tergantung manis di pagar depan. Rumah modern minimalis dengan gaya vintage, dengan cat yang di dominasi warna putih. Tanaman hias berbaris rapi dan teratur di halaman rumah, mengisyaratkan bahwa sang pemilik rumah memang seorang pecinta tanaman.
Seorang perempuan tinggi, mengenakan outfit bermotif bunga-bunga kecil warna kuning. Dipadukan dengan dalaman putih dan celana jeans biru langit serta kerudung yang senada dengan outfitnya. Menyambut hangat kedatangan kami, sesudah Ibu mengetuk pintu bercat coklat sebanyak tiga kali.
"Apa kabar?" tanya perempuan itu, yang tak lain dan tak salah lagi adalah teh Ade.
"Baik," balas Ibu langsung dengan seringai girang sembari cipika-cipiki.
Seorang perempuan kecil bersembunyi malu di balik tubuh langsing teh Ade. Sesekali ia melongok mengamati wajahku baik-baik, sampai akhirnya.
"Teteh," katanya dengan suara mungil khas anak kecil berusia 5 tahun. Seraya berlari keluar dari persembunyian di balik badan Ibunya, kemudian dengan cekatan ia langsung menyambar dan memeluk hangat tubuhku.
"Sayang," ucapku tanpa basa-basi yang diikuti membalas pelukannya.
Aku memang dekat dengan anak kecil yang bernama Sheila ini. Sejak masih bayi aku sering mengajaknya bermain, bahkan tak jarang dia bermalam di rumahku. Aku telah menganggapnya sebagai adik sendiri. Begitupun Ibu, yang menganggapnya seperti cucu sendiri. Itulah gambaran kedekatan keluargaku dengan keluarga teh Ade.
"Dede kangen sama teteh," paparnya yang terdengar manis.
"Teteh juga kangen sama Dede," balasku.
Sama halnya dengan Sheila, akupun dapat merasakan kerinduan setelah 1 minggu kami tidak bertemu. Karena dia ikut Ibunya ke Bandung.
"Mani sono pisan si Dede ka teteh-si Dede kangen banget sama teteh. Di Bandung juga nanya-nanyain Teteh terus," terang teh Ade, "yaudah ayok masuk dulu," ajaknya, "si Tetehnya di ajak masuk atuh de," titahnya kepada sheila.
Tangan kecilnya menyelinap masuk ke sela-sela jariku. Kemudian, menarik tubuhku untuk mengikuti langkah kakinya yang diselimuti sepasang sandal tidur beruang berwarna coklat tua, masuk ke dalam rumah.
Selama kurang lebih satu setengah jam memilih produk skincare dan melalui berbagai pembicaraan ngalor ngidul, akhirnya kami kembali ke rumah masing-masing. Aku dengan jinjingan kecil berisikan skincare yang dirasai tepat dan cocok untuk kulitku. Bukan hanya aku, Rani pun tak mau kalah dengan tas jinjingnya yang penuh dengan skincare dan beragam alat make up. Aku rasa si pakar cinta yang satu ini mulai memasuki masa pubernya.
Aku menjawat tangan mungil Sheila yang tertawa riang memeluk boneka beruang yang berwarna senada dengan baju tidur pinknya. Malam ini dia akan menginap di rumahku. Selepas melakukan adegan menangis haru untuk mendapatkan izin dari Ibunya. Dengan alasan masih kangen dengan teh Siska.
Dia dengan sejuta keimutan dan keluguannya mampu membuat siapapun iba, dan tak tega menolak permintaannya.
***
"Makan yang banyak ya," pekik Ibu ramah kepada sheila, seraya mengelus puncak kepalanya.
Si gadis manis hanya mengangguk sembari menggigit paha ayam goreng krispy yang suaranya meraung kriuk.
"Nanti sebelum ke sekolah kamu anterin Sheila dulu ya," titah Ibu kepadaku. Aku melenggut, mengiakan perintahnya.
Tok ... Tok ... Tok.
Suara tiga kali ketukan pintu memecah hening di antara kami bertiga yang masih duduk di meja makan.
"Siapa sih, pagi-pagi gini udah namu!" gerutu Ibu kesal, diikuti langkah kakinya yang melenggang menuju ambang pintu.
Sayup-sayup aku mendengar suara Ibu cekikikan, tertawa riang gembira.
"Moodnya cepat sekali berubah," batinku.
Aku memang tidak dapat mendengarnya dengan jelas, karena jarak antara meja makan ke pintu depan lumayan jauh. Ditambah, ada sekat ruang tamu yang membuat suaranya makin tak jelas.
Selera makanku hilang seketika. Setelah mataku membuntang, menyaksikan penampakkan yang membuatku mual bahkan jijik.
"Ayo, ayo. Silahkan duduk Nak. Kita sarapan bareng," cakap Ibu penuh ramah tamah kepada Reno. Sembari menyiukkan nasi dan lauk pauk kedalam piring untuknya.
"Kak Reno," sapa Sheila kepada kerabatnya itu. Mereka saling berbalas sapa dan senyuman.
"Bu, aku berangkat ya," kataku kesal, "kamu udah selesai kan, makannya de?" tanyaku kepada Sheila yang di balas anggukan olehnya.
"Yaudah, yuk."
"Buru-buru banget Sis. Nak Reno kan baru gabung," beber Ibu.
"Takut telat!" ungkapku ketus. Aku merasa seperti orang paling judes saat itu. Dan memang di usahakan semaksimal mungkin agar judesnya terlihat alami, supaya si bedebah menjauh sejauh mungkin dari hidupku.
"Aku anterin ya," sosor Reno tanpa permisi.
"Nggak usah!" balasku.
Aku sama sekali tidak menyangka, kalau persahabatan kami akan hancur begitu saja. Setelah bertahun-tahun lamanya bersahabat, dalam waktu sehari aku sudah membencinya sampai sebesar ini."Siska," Ibu berdesis. Kemudian menarik tanganku menuju ruang tamu. Meninggalkan Reno dan Sheila yang masih duduk manis di meja makan.
"Kenapa sih bu?" tanyaku heran dan sebal. Sesaat sesudah Ibu melepaskan cengkraman tangannya.
"Kamu kenapa sih? Judes banget. Nggak boleh gitu,"tuturnya, "kamu berangkat sama nak Reno. Nurut sama Ibu!" tegasnya.
"Nggak mau, Bu," pungkasku.
"Inget loh ya. Kamu masih punya utang sama Ibu," ungkapnya. Yang langsung membuatku tertegun, melanglang buana mencari tahu perihal apa yang baru saja dia katakan.
Mulutku menganga, melontarkan ucapan, "utang?" dengan polosnya.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenggelam Bersama Luka
RomanceSisi kelam yang mewarnai perjalanan hidupnya perlahan mulai memudar. Saat seorang pria bernama Randi singgah di hati dan kehidupannya. Dengan latar belakang keluarga berkecukupan, serta sang ayah yang berprofesi sebagai anggota TNI-AD. Konflik yang...