Bab 18

68 19 0
                                    

"Siska kenapa?" tanya Rani khawatir.

Dia pasti merasa cemas melihatku yang sedari masuk sampai pulang sekolah terus bengong seperti orang kehilangan akal.

"Aku sakit Ran, aku kotor ...," batinku.

Aku menggeleng mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa. Karena terkadang beberapa hal lebih baik di pendam sendiri.

Tapi bukan Rani namanya, kalau tak bisa menduga  apa yang sebenarnya terjadi. "Jangan bohong!" tegasnya kepadaku. 

Cukup! aku tidak bisa menahannya lagi. Ku dekap erat tubuh Rani, menumpahkan luapan air mata di atas bahunya. Apalagi dengan keadaan kelas yang sedari tadi sudah kosong karena semua murid telah berhamburan pulang ke rumah masing-masing. Aku jadi semakin leluasa untuk menangis sampai sesegukan atau histeris sekalipun.

Rani mengusap pungguhku penuh perhatian seraya melontarkan pertanyaan, "Kamu kenapa? jangan kaya gini, Rani jadi bingung. Kamu ngomong kamu kenapa?" nada bicaranya semakin khawatir. 

Aku hanya bisa diam sembari menangis sesegukan. Tak lama kemudian Rani melepaskan pelukanku dari tubuhnya. Mungkin dia semakin geram karena aku belum juga angkat bicara. Dia tahu betul bahwa sekarang aku sedang dalam posisi butuh pelukan dan ketenangan, tapi dia juga butuh penjelasan dan aku mengerti itu. 

"Kamu kenapa? cerita sama aku," ujarnya semakin tegas. Ku lihat matanya berbinar, berkilauan air mata. Inilah Rani, sahabatku yang bisa ikut merasakan kesedihanku.

Akhirnya aku angkat suara. "Reno," rintihku.

"Iya, Reno kenapa?" tanyanya mencapai puncak penasaran. Matanya membulat, menyorotiku dengan tajam. Dia mengoyak bahuku. "Jawab, Sis."

"Dia nyium bibir aku!" jawabku langsung dengan sekali tarikan nafas. Setelah itu aku kembali menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Menangis histeris sejadi-jadinya tak perduli walau ada orang yang akan mendengarnya atau tidak. Atau bahkan jika satu dunia pun yang melihatku sedang menangis sesegukan seperti anak kecil sekarang ini tak akan aku gubris. Aku bodo amat.

Aku benar-benar malu saat membeberkan hal menjijikan itu kepada Rani. Aku merasa hilang sudah harga diriku sebagai seorang perempuan dan sebagai manusia.

"Dasar cowok brengsek!" celanya menekankan kata 'brengsek' dengan puas, "Rani bener-bener gak habis pikir, bisa-bisanya dia ngelakuin itu ke kamu," suaranya naik beberapa oktaf.

Awalnya dia kaget seakan tidak percaya bahwa laki-laki yang juga ia kagumi bisa melakukan hal memalukan seperti itu. Apalagi padaku, sahabatnya sendiri. Tapi kemudian seperti bisa merasakan rasa sakitku dia terus menghina Reno seraya mengeratkan dekapannya kepadaku. Aku bisa mendengar suaranya yang kian sendu dengan hidung yang terisak. Dia menangis. 

And finally-dan akhirnya, suara tangisan kami pecah, menggema ke seantero penjuru kelas.

"Anjing!"

"Bugh!"

Suara teriakan dan pukulan keras terdengar lantang memecah suara tangis kami. Suaranya terdengar familiar di telingaku. Sejenak aku berpikir masih dalam pelukan Rani, mencerna dan memutar ulang memori ingatanku. Mencari tahu siapa pemilik suara itu.

"Randi,"batinku.

Aku segera berlari mencari darimana suara itu berasal tanpa memperdulikan ritual menangisku yang belum mencapai finish. Begitu juga Rani, dia mengikutiku, berlari di belakang.

Aku menutup mulut dengan tangan, tercengang dengan peristiwa yang tengah terjadi di depan mata kepalaku. Seraya berdiri mematung di pinggir lapangan.

Tenggelam Bersama LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang