12 🌷 Canggung

6.9K 271 5
                                    

Selamat Membaca
━━━━━━ • ✿ • ━━━━━

✿ Khanza POV ✿

Saat sampai di ruang makan, aku melihat semua anggota keluarga sudah berkumpul. Aku bisa lihat tatapan jahil yang di layangkan mas Revan.

Ya Allah, Khanza malu!!

"Kok baru turun, nak? Elvan mana?" tanya papa

"A–anu, pak Elvan–"

"Eoh... masih manggil bapak? Panggil mas dong!" perintah mbak Freyya sambil tersenyum.

Caelah, dipanggil mas mah kemudaan. Kalau bisa dipanggil om aja sekalian.

"Ehehe... Itu, mas Elvan nya masih di kamar," jawabku sedikit kikuk.

"Kok belum turun anaknya, bukannya tadi sudah dipanggil Revan ya?" tanya mbak Freyya membuatku jadi salah tingkah, apalagi semua pasang mata sekarang terarah padaku. Nyamuk lewat aja natap aku sampai ketabrak dinding. Mampus.

Gak lama seluruh atensi beralih pada suara seseorang yang menuruni tangga, jiaaaaah bahasa gue gini banget, gue-lo anjaaaaay. Apasih gaje.

"Eh udah dateng. Lama kamu, dek. Cepetan duduk biar cepet selesai makan. Cepet juga proses bikin debay nya." perkataan mas Revan langsung dihadiahi tatapan tajam sama pak Elvan.

Tolong siapapun yang bisa menenggelamkan seseorang ke laut tanpa terkena hukum pidana, datengin aku SEKARANG!

Maluuuuuuuuu... bunda, anakmu sekarang punya malu.

"Shht... jangan gitu, Revan. Gak liat tuh mukanya Khanza udah merah," kata mama sambil ketawa.

Ya Allah, ku kira bakal dibela. Ternyata sama aja. Kudu sabar kalau begini mah.

Akhirnya kita makan dalam keadaan hening. Sumpah ya, daritadi hawanya gak enak banget, kayak canggung gitu. Apalagi kalau ngeliat wajah pak Elvan yang makan sambil natap tajam mas Revan.

Selesai makan, aku, mbak Freyya, sama mama langsung beresin sisa makanan tadi sedangkan yang lain pada nonton tv di ruang keluarga. Aku langsung menuju tempat dimana piring-piring kotor sudah menumpuk minta dicuci.

"Mau ngapain, nak?" tanya mama yang datang sambil bawa botol semprotan dan lap.

"Khanza mau cuci piring, ma." jawabku singkat sambil tersenyum membuat mama langsung menaruh botol semprotan dan lap tadi di atas meja lalu menarik bahuku pelan.

"Jangan atuh. Besok aja, lagian ini banyak banget loh, Za," kata mbak Freyya yang tiba-tiba datang dan diangguki mama.

"Gak apa-apa, ma, mbak. Lagian karena banyak ya harus langsung di cuci, takutnya besok malah nambah lagi pas selesai sarapan. Mending di cuci sekarang aja biar sekalian." jelasku.

"Tapi–"

"Udah, gak apa-apa kok, ma."

Akhirnya dengan terpaksa mama dan mbak Freyya membiarkan ku mencuci piring. Mama dan mbak Freyya segera kembali membersihkan meja dan kursi. Di sini memang pembantu tidak dipekerjakan 24 jam. Mungkin saat pagi datang, dan sore pulang.

"Kamu ngapain?" tanya pak Elvan saat datang sambil membawa beberapa gelas kotor. Ia menaruh gelas itu di samping tumpukan piring yang sudah berbusa karena ku cuci.

"Saya lagi nyabutin bulu ayam, pak." jawab ku asal.

"Yang benar saja. Kamu kan lagi cuci piring," ucapnya sambil geleng-geleng kepala.

YA KALAU UDAH TAU, TADI NGAPAIN NANYA?!

Aku menghembuskan napas lalu kembali melanjutkan kegiatan mencuci piring yang sempat tertunda tadi.

"Mending kamu bantuin istri kamu cuci piring aja, dek," suruh mama pada pak Elvan.

Tanpa basa-basi busuk, pak Elvan langsung berdiri di sampingku, menghidupkan keran air dan mulai membilas piring yang tadi sudah ku sabuni. Tumben mau.

Selesai menyabuni semua piring, aku juga membantu membilas yang sudah disabuni. Tapi saat aku ingin mengambil piring terakhir, aku malah menyentuh sebuah benda keras dan basah. Setelah ku lihat.

Astaghfirullah, tangan pak Elvan ternyata.

"E—eh, maaf, pak." kataku lalu menarik tanganku dari atas tangannya.

Setelah piring terakhir terbilas, aku dan pak Elvan langsung menyusunnya ke rak piring. Tapi sialnya di saat aku ingin mengambil piring tadi, tanganku kembali menyentuh tangan pak Elvan.

Aku menatap pak Elvan yang menatapku datar. Serem coy.

"Aduuuuh... ini habis cuci piring malah asik mojok berduaan. Mending langsung ke kamar aja, dek." suara itu membuatku dan pak Elvan terkejut. Tapi untungnya piring tadi tidak jatuh.

"Ki—kita gak mojok, ma. Tadi cu—cuma–"

"Iya, mama paham kok. Di awal memang masih malu-malu, mama sama papa dulu juga begitu. Mending kalian langsung ke kamar aja setelah ini, jangan lupa kunci pintunya, takut nanti ada orang ganggu." kata mama sambil tersenyum lalu pergi meninggalkan kami.

Sekarang jadi canggung. Kita sama-sama diam setelah mama pergi.

Aku melirik pak Elvan yang masih melihat ke arahku. Ia lalu berjalan menaruh piring tersebut ke rak dan segera pergi meninggalkanku.

Ya Allah, sabar kan lah hambamu ini.

Akhirnya setelah menaruh beberapa piring yang tersisa, aku meninggalkan dapur dan berniat pergi ke kamar. Saat melewati ruang keluarga, ternyata mbak Freyya, mas Revan, dan pak Elvan sedang menonton tv bersama.

"Eh, mau langsung tidur, dek?" tanya mbak Freyya begitu melihatku melewati mereka.

"Iya, mbak. Aku duluan ya, mbak, mas."

Mbak Freyya ngangguk dan aku langsung menuju kamar untuk beristirahat. Ngantuk braaaay. Apalagi kalau ngeliat ada kasur lengkap sama bantal guling, rasanya mau menerjunkan diri aja di atas kasur terus bobo cantik.

Baru aja mau mejemin mata, pintu kamar berasa ada yang ngebuka membuatku menoleh ke sana. Ternyata pak Elvan masuk, tapi tampangnya gak ngenakin banget.

"Bapak sudah masuk?" kataku dengan nada bertanya. Biasanya dia kalau udah di depan tv, bakal anteng nyampe lupa jam.

"Memang kenapa?" pak Elvan nanya balik sambil masang wajah garang. Jiah si bapak, aku yang pms kok dia yang sensian.

━━━━━━ • ✿ • ━━━━━━
To Be Continue

=====================
Hai hai
Masih ada yang ingat sama cerita ini? Maaf ya lama up terus, sebenarnya cerita yang aku bikin ini di draft udah hampir ending. Tapi namanya juga manusia ya, kadang suka bablas lupa up.

Hihiw

Terimakasih sudah mau baca cerita ini, jangan lupa kritik dan saran apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata maupun kalimat ;)

Dosenku, SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang