Here I am, duduk di pinggir kasur sambil lihat Pak Elvan yang mondar-mandir enggak jelas. Kelakuannya mirip seperti aku setiap setrika baju kerjanya. Lama-lama aku yang lihat juga ngerasa panas. Apa sih tujuannya begitu? Mau pamer pesona kah ke istrinya ini? Hahaha, tanpa pamer pun juga aku tahu sih beliau ini punya pesona memikat yang kuat.
"Pak, mending duduk daripada bolak-balik gitu lihatnya, saya ikut pusing tahu! Lagian ngapain sih begitu daritadi? Udah mirip banget sama setrikaan." akhirnya ocehan kesalku keluar. Tampaknya dia enggak peduli sedikitpun sama ucapanku. Suami kurang ajar memang.
"Haduh, Pak. Mending saya keluar ngurusin itu perempuan." ucapanku berhasil membidik tepat di otaknya. Sekarang matanya menatap bak elang melihat musuh. Sudah siap terkam dan cabik-cabik aku, duh, seram banget.
Tapi, dia pikir dia siapa? Belagak sok galak gitu, dikira aku takut? Wkwkwk, iya lah! Ya sedikit doang, kalau dikalkulasikan jadi pasir ya bisa dapat segerobak. Daripada ditatap begitu terlalu lama nanti aku bisa berubah jadi batu, lebih baik aku kabur. Akhirnya melangkah menuju pintu kamar jadi tujuan utamaku.
Namun, sialnya baru tiga langkah, tanganku udah ditahan. Ya Tuhan, tolong selamatkan aku. Genggaman Pak Elvan kencang banget, mungkin efek enggak mau pisah dari istri, cuaks. Mau enggak mau ya aku noleh, lihat dia dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Gila! Rahangnya makin tegas, sorot matanya tajam, belum lagi alis yang menukik. Ditambah urat-uratnya keluar semua. Kalau begini, aku rela Pak Elvan bersikap begini setiap hari, makin ganteng, astaga.
"Nurut atau.." Pak Elvan menggantungkan kalimat yang keluar dari mulutnya. Dih, sok misterius banget. Namun, lama-kelamaan dia malah semakin dekat dan maju ke arahku. Syukurnya aku punya tingkah refleks yang tinggi, tentu saja otomatis kakiku melangkah mundur dan berusaha menjauh.
Namun, aku benci fakta kalau sekarang rasanya aku masuk ke dalam dunia sinetron di mana punggungku malah menyentuh pintu kamar yang tertutup. Artinya aku sudah enggak bisa mundur lagi dan terjebak di sini. Mana wajah pak Elvan seram banget lagi, rasanya udah seperti mau makan aku.
"Pak, jangan maju terus!" titahku tak tahan, tapi sialnya si tua itu malah tersenyum miring, sok keren. Wajahnya perlahan mendekat dan turun hingga sejajar dengan wajahku. Ini keadaan apa, sih? Kenapa aku malah gugup begini, bahkan tatapan dia berhasil buat aku beku di tempat.
Rasanya bahkan lupa cara bernapas. Di dalam pikiranku sudah berisik dan ramai dengan merapalkan berbagai doa, takutnya pria yang berdiri di hadapanku sekarang ini lagi kesurupan. Lama-kelamaan mataku tertutup karena enggak sanggup lihat dia yang begini, aku tarik kata-kataku tadi, lebih baik sifat pak Elvan yang seperti ini dihilangkan saja.
Sialnya aku dengar kekehan merendahkan dan suara pintu yang terkunci. Reflek mataku terbuka dan lihat Pak Elvan yang sudah menjauh sambil memasukkan kunci kamar ke saku celananya. Kampret, aku dikerjain sama dia.
"Ngapain tutup mata? Kamu pikir saya akan berbuat apa?" aku benci banget dengar nada bicaranya, belum lagi tatapan dia yang mengejek seolah tahu apa yang ada di pikiranku.
"Otak kamu kotor, Khanza. Besok pergi bersihkan dengan banyak beribadah." demi apapun aku enggak suka lihat dia yang aneh tingkahnya itu. Letak salahku di mana? Memangnya apa yang aku pikirkan? Ciuman? Ya, tentu! Banyak film yang aku tonton dan tanda jika pria ingin mencium wanitanya adalah dengan mendekatkan wajah mereka secara perlahan dan terkesan menggoda. Ini bukan seratus persen salahku!
![](https://img.wattpad.com/cover/227734614-288-k826519.jpg)