Di sore yang sibuk ketika orang-orang berusaha menghindar dari hujan deras, sekumpulan remaja berkumpul di kafe. Sembari menunggu hujan reda, mereka mengisi waktu dengan menyeruput kopi juga bercanda. Di tengah mereka yang tertawa lepas, seorang gadis menatap nyalang layar ponselnya. Karena hanya dia yang diam, temannya pun penasaran.
"Julia, kenapa?" tanya Rena sambil menepuk pundak Julia.
"Bunda nyuruh pulang," jawab Julia dengan nada kesal.
Rena mengangguk-angguk. "Sekarang?" tanyanya lagi.
"Iya. Nggak biasanya nyariin."
"Mungkin lo mau diajak jalan."
Julia mematikan ponsel, lalu meletakkannya di meja. Ia bersedekap, kemudian membalas, "Bunda sibuk kerja, mana sempet ngajak jalan."
"Mungkin lo mau dikenalin ama cowok."
"Haish, nggak tau lah. Gue mau pulang."
Mendengar penuturan Julia, orang lain jadi melihat ke arahnya. Teman-temannya seketika bengong. Tidak biasanya Julia pulang lebih awal. Salah satu dari mereka yang bernama Hans menanyai, "Hujannya belum selesai. Lo mau ke mana?"
Julia menghela napas. "Sayangnya hujannya udah selesai," sahutnya sambil memakai jaket.
"Duluan," pamit Julia.
"Yah ... nggak asik. Julia pulang duluan."
Gemerincing bel berbunyi seiring dengan Julia yang melangkah keluar. Gadis berambut sebahu itu mendongak, memandang langit yang berangsur-angsur cerah. Beberapa saat kemudian, ia pergi menuju tempat parkir. Julia memilih sebuah motor sport hitam. Ia memasang kunci, lalu memakai helm. Ketika deru mesin terdengar, Julia meninggalkan kafe.
Dalam perjalanan, kemacetan tidak dapat dihindari. Walau kesal dengan pengendara lain yang bergerak lambat, Julia menahan diri. Akhirnya, ia bisa melaju di jalan yang lancar. Namun, hanya sebentar karena tiba-tiba segerombolan geng motor melintas. Mereka membuat kemacetan bertambah parah karena tetap melaju walau lampu merah menyala.
"Jatuh, jatuh," lirih Julia menyumpahi mereka.
Sehabis melewati rintangan jalan yang memuakkan, Julia berhasil pulang ke rumah. Ia berpikir untuk mandi dan seterusnya makan. Senyum menghiasi wajahnya yang tertutup helm. Julia bersenandung kecil sambil memasuki halaman rumah. Melihat garasi yang terisi mobil, ia memutuskan memarkirkan motor di depan teras. Tidak disangka, seekor beruang berlari keluar dari dalam rumah.
Julia mengerem keras motornya. Jantungnya berdebar keras sementara napasnya terengah-engah. Dengan cepat ia menoleh ke kiri. "Anj*ng!" maki Julia.
Beruang kecil itu melongo. Ia terdiam. Lama kelamaan, bibirnya melengkung. Julia yang baru saja tersadar tidak sempat mencegah. Terdengarlah suara keras nan nyaring yang memekakkan telinga.
"Huwaa ...."
Julia menatap datar beruang itu. Menyebalkan, batinnya. Ia turun dari motor dan melepas helm. Kegiatan Julia tampak menarik di mata beruang kecil. Ia pun diam memperhatikan gadis itu.
Julia berbalik. Matanya mengamati penampilan si beruang. Tampak kotor dan tidak memakai alas kaki.
"Bunda! Ada anak beruang nyasar!"
Julia melirik tubuh pendek yang terbungkus kostum beruang. Mata bulat berbinar dan pipi tembam bocah itu tidak serta merta membuat Julia terpana. Ketika beruang kecil itu mendekat, kemudian menempel di kakinya, Julia berteriak, "Beruang liar!"
Tangan Julia menghempas di udara, berharap beruang itu pergi. Bukannya harapannya terjadi, anak beruang justru tersenyum.
Tidak ada pilihan lain, Julia menghempaskan kakinya. Di saat itu juga Elza, Bunda, datang. Wanita itu tergopoh-gopoh. "Julia!" panggilnya dengan suara nyaring.
"Bunda! Tolongin. Ada beruang liar," adu Julia.
Elza menarik beruang kecil. Tangannya menepuk beberapa sisi pakaian dan memastikan tidak ada luka. Barulah setelahnya ia memarahi anak gadisnya.
"Kamu ... ini Leon, anak kecil kamu bilang beruang. Kamu yang beruang. Kamu, kan, yang buat Leon nangis."
Julia memutar mata. Tanpa menjawab Elza, kakinya melangkah masuk ke rumah. Ia mendengus. "Dia yang salah, gue yang dimarahin," dumelnya.
"Non, baru pulang udah marah-marah," sapa Bibi, si asisten rumah tangga.
Julia menaiki tangga menuju lantai dua. "Bunda lebih milih anak beruang!" sahutnya.
"Non Julia ada-ada aja. Masa ada anak beruang di perumahan ... ada anak beruang?! Nyonya! Ada anak beruang!"
Bibi berlari keluar meninggalkan rice cooker yang belum dinyalakan.
🍼🍼🍼
Julia membanting tubuh ke kasur. Kakinya menendang udara sehingga sepatu lepas dari kakinya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan. Tubuh Julia berbalik menjadi tengkurap. "Anak beruang sialan," lirihnya.
Julia berbalik. Ia menatap langit-langit. Gagal sudah. Elza marah dan Julia yakin dirinya tidak akan dibiarkan makan malam. Tangannya memukul kasur. "Anaknya siapa sih? Udah pinter fitnah orang," katanya.
"Julia!"
Suara Elza dari bawah menyapa telinga. Julia enggan datang, jadi ia menutup telinga menggunakan bantal. Menunggu beberapa menit, Elza tak lagi memanggil. Julia tersenyum. Ia ingin tidur.
"Julia!"
Teriakan Elza terdengar lebih keras. Terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Julia pasrah. Dirinya sedang malas meladeni drama sang bunda.
"Julia! Kamu tidur? Bangun! Mandi dulu. Udah mau jam enam."
Elza mendatangi kamar dan langsung mengusik Julia. Wanita itu sesak melihat Julia berbaring dengan jaket yang masih melekat. Apalagi sepatu kotor yang diletakkan sembarangan. "Bangun, Julia. Bunda mau ke butik. Kamu jaga Leon," jelasnya.
Julia yang baru duduk dibuat kewalahan karena tiba-tiba diserahi beruang kecil. Julia menatap kesal Leon, lalu melirik ke Elza. Elza sendiri tidak bicara lagi. Ia bergegas pergi untuk memeriksa butik miliknya.
Ditinggalkan dan dalam keadaan malas-malasan, Julia segera menjauhkan Leon. Gadis itu turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi.
Selagi Julia pergi, seorang bayi kebingungan. Tempat ini asing dan sepi. Ia melihat pintu kamar mandi yang tertutup. "Aa ... Ya?" rengeknya.
Beberapa menit berlalu, Julia belum kembali. Leon mulai khawatir. Bocah itu berniat turun dari ranjang. Awalnya ia takut, tetapi akhirnya ia lakukan dengan berpegangan pada selimut. Ketika mencoba turun, selimut menjadi licin. Leon pun jatuh terduduk dengan selimut di atas kepalanya.
Di saat yang sama, Julia keluar. Ia akan tertawa karena tumpukan kecil selimut yang terisak. Seiring waktu, tangisan Leon semakin keras. Julia menghela napas. Ia mengambil selimut dan menemukan wajah bulat yang memerah.
"Anjir, kayak tomat," ejek Julia.
"Huwa ...."
Julia tidak bisa menahan tawa, sedangkan Leon tidak bisa menghentikan air matanya. Keduanya saling menatap dengan perasaan yang berbeda.
"Woy, udah. Nangis lo kelamaan," ucap Julia.
Leon tetap menangis dan suaranya lebih kencang. Hal itu benar-benar mengganggu kesehatan pendengaran. Julia tidak punya pilihan lain. Ia berjongkok, kemudian meletakkan kembali Leon ke kasur. Memang tangisnya berhenti, tetapi mengapa bocah itu jadi bersikap aneh?
"Mommy."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Neighbor's
Teen Fiction"Bunda! Ada anak beruang nyasar!" Julia melirik tubuh pendek yang terbungkus kostum beruang. Mata bulat berbinar dan pipi tembam bocah itu tidak serta merta membuat Julia terpana. Ketika beruang kecil itu mendekat, kemudian menempel di kakinya, Juli...