Dia bernama Melati. Dia cantik dan kulitnya seputih bunga Melati. Ke manapun dan di manapun, dia menarik perhatian layaknya bunga. Hanya saja, seperti namanya, dia rapuh, bisa layu dan mati kapan saja. Melati mudah jatuh sakit dan akan bertambah parah jika tidak cukup istirahat.
Pertama kali Edgar mengenal Melati adalah ketika kuliah. Mereka sering berpapasan di jembatan kampus karena rute menuju gedung masing-masing fakultas. Edgar berada di jurusan bisnis sementara Melati di kriya. Dari berpapasan tanpa sengaja, mereka mulai sengaja bertemu. Lalu, terjalinlah hubungan yang manis itu.
Di tahun berikutnya, Edgar lulus dan berencana melamar Melati. Namun, Melati langsung menolaknya dengan alasan dirinya sakit dan hidupnya tidak lama lagi. Walau begitu, Edgar bersikeras hingga Melati menerima lamaran itu.
"Aku terima, tapi jangan berharap banyak," kata Melati yang luluh setelah melihat perjuangan Edgar.
Kehidupan pernikahan mereka berjalan damai dan harmonis. Karunia datang saat Melati mengandung Leon. Saat itulah hidup mereka berada di puncak kebahagiaan.
Ada satu kejadian saat Leon belajar berjalan. Waktu itu, Leon mencoba berjalan sambil berpegangan sofa. Tidak disangka, ia langsung jatuh. Leon jatuh dalam posisi telungkup. Mengetahui hal tersebut, Melati menghampirinya dan menggendong anak itu. Lalu, terdengarlah suara manis yang memanggil, "Mommy."
Tahun-tahun berlalu. Kesehatan Melati kian memburuk. Selama berhari-hari, Edgar mendampinginya dan meyakinkan jika hidup Melati masih panjang. Namun, takdir yang kejam berkata lain. Melati kembali ke surga meninggalkan suaminya, Edgar dan anaknya, Leon yang masih kecil.
Kepergian Melati memukul Edgar. Ia merasa menjadi penipu karena selama ini selalu memberi harapan jika hidup Melati akan berlangsung lebih lama. Mulai titik itu juga, Edgar berhenti mengejar hal yang dinamakan harapan.
🍼🍼🍼
Julia mengernyit melihat pria di depannya terdiam cukup lama. Ia mendekat sedikit dan menyadari Edgar meneteskan air mata. Kemudian, Julia melangkah mundur. Aneh jika pria itu sedih karena dirinya akan pulang.
"Lo kenapa?"
Tangan kanan Julia melambai di depan wajah Edgar. Lalu, pria itu tersadar. Ia terlihat kebingungan. Tangannya menyeka air di sudut matanya, kemudian menghadap Julia.
"Butuh payung nggak?" tanya Edgar.
"Enggak. Hujannya udah berhenti. Gue pulang dulu."
"Iya."
Julia melangkah menuju pintu. Sejenak ia berbalik badan memastikan Edgar baik-baik saja. Pasalnya dalam sepuluh menit, pria itu berdiri mematung, lalu tiba-tiba menangis. Mungkinkah Edgar teringat 'Mommy' yang sudah lama pergi?
"Lagian bukan urusan gue," bisik Julia sembari melangkah keluar.
🍼🍼🍼
Setelah berganti baju, Julia merebahkan diri di kasur. Beberapa detik memejamkan mata, dia tidak nyaman dan duduk. Di mana-mana adalah bau minyak wangi Leon. Dirinya ingin menyingkirkan semua itu, tetapi sudah terlalu malam.
"Dasar anak beruang."
Gadis itu mengambil selimut dari lemari, kemudian berbaring di sofa. Meski agak keras, sofa adalah benda yang tidak memiliki bau Leon.
Ketika akan memejamkan mata, ponselnya bergetar. Dengan malas, ia membukanya dan menemukan pesan dari grup.
Geo: Ingpo balap 😉
Ferdinand: Jam 1, deket alun-alun
Marie: Mau ikuttt
Geo: Khusus yg bisa naek motor @Julia
Julia: Reward?
Ferdinand: Yg kalah jadi babu
Senyum mengembang di wajah Julia. Ia menggenggam erat ponselnya. Kebetulan sekali ada hiburan. Dirinya sedang stres akibat ayah dan anak beruang itu. Malam ini ia ingin bersenang-senang.
"Alun-alun... keknya geng baru nantang."
Alun-alun yang dimaksud adalah tempat terbengkalai. Itu ditinggalkan karena pengelolanya korupsi. Letaknya yang terpencil membuat masyarakat enggan berkunjung ke sana. Akhirnya tempat itu menjadi lahan balapan liar.
Sekelebat ingatan muncul. Julia teringat sekelompok pemuda yang berencana melukai Juna. Mereka mungkin berasal dari sebuah geng motor. Mereka punya rencana yang jahat dan kedengarannya seru.
Julia kembali menatap layar ponsel. Tak ada kabar apapun dari Roy.
Julia: Royco gk tau kan?
Ferdinand: Kasih tau gak ya🌝
Geo: Mereka yg nantang Roy
Marie: Roy keren bgt!
Mata Julia melebar. Dalam hati ia meneriakkan pengkhianat. Roy bilang akan hiatus dulu, tetapi malam ini dia akan beraksi. Julia menekuk bibir. Inilah sisi menyebalkan Roy, bermulut dua.
"Maunya seenak dia."
Julia bergumam sambil memasang alarm. Kemudian, dia memejamkan mata.
🍼🍼🍼
Pukul setengah satu dini hari, Julia bangun. Tanpa mencuci muka, ia memakai jaket hitam dan celana hitam. Rambutnya sengaja diacak-acak untuk menutupi wajah.
Rumah sangat sunyi ketika Julia menuruni tangga. Lampu di kamar Elza mati begitu juga dengan dapur. Julia agak was-was karena Bibi bangun dini hari untuk ibadah.
Perlahan dan pasti, gadis itu pergi ke garasi. Ia menengok ke pos satpam, tidak ada orang di sana. Dengan cepat, Julia menuntun motor setelah membuka pintu gerbang tanpa bersuara.
Julia menghidupkan motor setelah jarak beberapa meter dari rumahnya. Saat akan melewati gerbang penjaga, ia dicegat.
"Mau ke mana, Mas?" tanya seorang satpam bertubuh gempal.
Julia berdeham kecil. "Saya mau pulang."
Suaranya yang berubah rendah membuat satpam itu terhenyak. Selama bekerja di sini, ia mengenali tiap penghuni perumahan. Dia bertanya, "Rumah Mas yang mana?"
"Enggak, saya temennya... Edgar. Biasa, habis bahas kerja."
Di balik helm hitam, Julia berdecak kesal. Menyebalkan, batinnya. Jam dinding di pos penjaga menunjukkan jam satu kurang lima belas menit. Ia harus mengebut jika tidak mau kelewatan balapan itu.
Satpam itu mengamati pengambilan Julia, kemudian motornya. Agak mengerikan dan keren seseorang dalam balutan warna serba hitam.
"Ya, Mas. Silakan pulang, hati-hati."
Begitu izin keluar, Julia berterima kasih, lalu menancap gas. Dalam dua kedipan mata, gadis itu sudah menghilang bersama motor hitamnya.
"Bukannya itu motornya Julia?"
Teman satpam itu bangun. Ia menengok keluar.
"Tadi siapa itu?"
Satpam yang menanyai Julia terkesiap. Tubuhnya tidak jadi duduk. "Ngakunya temennya Pak Edgar."
"Terus kenapa bawa motornya Julia?"
"Itu maling?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Neighbor's
Teen Fiction"Bunda! Ada anak beruang nyasar!" Julia melirik tubuh pendek yang terbungkus kostum beruang. Mata bulat berbinar dan pipi tembam bocah itu tidak serta merta membuat Julia terpana. Ketika beruang kecil itu mendekat, kemudian menempel di kakinya, Juli...