Dengan kecepatan tinggi Julia mengendarai motor menuju lokasi balapan itu. Dia punya rencana untuk menonton dari jauh, tetapi bukan berarti dirinya akan diam jika diajak balapan. Biasanya, orang baru yang menantang balapan motor adalah mereka yang ingin masuk ke geng motor Roy. Namun, tidak menutup kemungkinan orang tersebut berniat menaklukkan Roy.
Berkendara sekian menit, Julia akhirnya tiba di alun-alun itu. Beberapa meter dari lokasi, ia mematikan motor dan berkamuflase di bawah bayangan pohon. Di tengah alun-alun berumput, ada beberapa lampu motor yang menyala. Julia tersenyum mengetahui dirinya tidak terlambat untuk menonton.
Kemudian, lampu-lampu motor itu bergerak ke jalan yang mengelilingi lapangan. Tidak menunggu lama, itu melaju kencang memutari alun-alun. Langit malam yang terlalu gelap tidak menguntungkan untuk mencari tahu mana motor yang dikendarai oleh Roy.
Saat masih seru menonton, Julia merasakan hawa dingin di bahunya. Kepalanya menggeleng dan membuat sugesti jika angin malam yang membuatnya merasa merinding. Ia kembali fokus menonton motor-motor itu memacu kecepatan untuk mencapai tiga kali putaran.
"Julia."
Suara tegas yang dingin mampir ke telinganya. Tubuh Julia menegang. Ia menelan ludah. Lokasinya menonton terbilang gelap, teta[i tidak terlalu gelap. Kedua tangannya mengepal. Suara itu berasal dari belakang. Pak Satpam bilang kalau dipanggil di kegelapan, jangan pernah menoleh sekalipun kamu penasaran.
Tangannya merayap ke kunci motor yang masih tertancap. Ia hanya perlu memutarnya, kemudian memutar stang.
"Julia."
Belum lama sejak suara itu kembali memanggilnya, Julia memutar kunci dengan cepat dan akan memegang stang. Tiba-tiba, sebuah tangan memegang tangannya. Dengan berani, gadis itu menoleh ke pemilik tangan. Gelap, wajahnya tak terlihat meski itu memiliki tubuh.
Kaki kirinya menendang kaki tubuh itu, lalu melompat dari motor. Julia masih memakai helm saat wajah itu muncul setelah senter ponsel dinyalakan.
"Bapaknya beruang?"
Edgar memiliki wajah datar ketika matanya menatap Julia. Ia memegang senter ponsel yang kemudian direbut Julia. Ia menatap gadis itu tanpa emosi. Tadi dia pergi ke luar untuk beli nasi goreng di depan perumahan. Di pos penjaga ada keributan tentang seseorang yang mengaku sebagai temannya dan membawa kabur motor milik Julia.
Terpaksa, Edgar mengikuti orang yang dimaksud hingga ke sini. Tidak disangka ternyata gadis itu sendiri yang disebut maling. Ia menoleh ke alun-alun. Balapan liar, batinnya.
Edgar menoleh ke Julia, lalu bertanya, "Tante Elza tahu kamu di sini?"
"Apa urusannya sama lo?"
Mendapati pertanyaannya dijawab oleh pertanyaan, Edgar menghela napas. Tangan kirinya menengadah, meminta ponsel miliknya.
"Buat apa?" Julia bertanya dengan galak.
"Hubungi polisi. Mereka balapan liar"
Julia menaruh ponsel itu ke sakunya. Dengan santai dia naik kembali ke motor, bersiap kabur. Namun, Edgar dengan liciknya mengambil kunci motor. Julia melayangkan tatapan sengit kepada pria itu di balik kaca gelap helm.
"Balik sana," perintah Julia. "Ngapain ikut-ikut nonton balapan?"
"Itu pertanyaan yang sama buat kamu."
Julia berdecak. Baik anak ataupun bapaknya sama saja, selalu buat kesal!
"Kamu bohong ke satpam, memang sejak kapan saya jadi temenmu?"
"Ya, kita bukan temen jadi balikin kunci motor gue."
Edgar mengadahkan kembali tangan kanannya. "Hp," ucapnya.
"Kunci dulu."
"Jangan rese. Kalo mereka sadar lo di sini, habis lo."
Mendengar ancaman gadis di depannya, Edgar memasang senyum miring. Ancaman itu tidak menakutinya karena dulu dia pernah seperti itu. Itu bukan kenangan yang bagus. Jadi, sebelum gadis ini terjerumus ke hal-hal itu, ada baiknya ia mencegahnya.
"Kamu pulang sama saya."
"Nggak mau," tolak Julia tanpa berpikir dua kali.
"Kamu masih muda, jangan bantah perintah orang yang lebih tua."
"Dasar tua."
Edgar sedikit tersentak. Gadis nakal.
Julia menoleh ke alun-alun. Balapannya sudah selesai dan seseorang ke arahnya. Itu Royco. Ia menarik tangan Edgar, kemudian menyembunyikannya di belakang pohon. Julia akan menghampiri Roy dan pura-pura tidak sengaja di sini, tetapi Edgar justru menariknya. Sekarang, mereka bersembunyi bersama.
Edgar memegang kedua tangan Julia dan meletakkannya di punggung sedangkan dirinya berjongkok di belakang gadis itu.
Roy datang sambil memastikan motor hitam di depannya benar milik Julia. Itu tanpa kunci. Saat melihat ke tanah, ada kunci dengan gantungan kepala beruang. Roy menunduk untuk memungut itu.
"Ke mana Julia?" gumamnya dan mengedarkan pandangan ke sekitar.
Ia mengambil ponsel dari saku, berniat menghubungi gadis itu. Padahal dirinya tidak memberitahu ada balapan. Pasti orang dalam membocorkan ini.
Dari balik dedaunan, Julia melihat layar ponsel Roy menyala. Dia memberontak agar Edgar melepaskannya. Akan tetapi, pria itu tidak berencana melepaskan pegangannya.
"Dia mau nelpon gue," lirih Julia.
Edgar mengenali ponsel Julia ada di saku kiri celananya. Secepat angin, dia mengambilnya untuk mematikan daya ponsel.
"Off...."
Sekali lagi, Roy mengedarkan pandangan. Mungkin tadi gadis itu di sini dan lari saat melihatnya mendekat. Gadis nakal.
Dia menancapkan kunci motor, kemudian menaikinya. Mesin motor menyala diikuti Roy mengendarai motor Julia, membawanya ke alun-alun.
"Gara-gara lo," geram Julia dan kembali memberontak. Kali ini Edgar melepaskannya. Mereka berdua masih berjongkok di balik semak-semak.
"Kamu pulang sama saya."
Julia menoleh ke belakang. Mata bulatnya menyipit. Dalam pikiran gadis itu, Edgar menyebalkan dan ikut campur. Sedangkan Edgar diam. Gadis itu berusaha mengancamnya, tetapi sorot matanya yang kekanakan menutupi.
"Lo ke sini naik apa?" tanya Julia.
"Mobil."
"Nggak ah, gue mau ke sana. Minta motor gue."
Julia berdiri dan Edgar juga berdiri. Gadis itu membersihkan daun kering yang menempel di jaketnya. Ia memegang kepala dan merasakan helm masih ia pakai. Ini menyebalkan, batinnya. Kemudian, Julia melangkah keluar dari tempat persembunyian. Di saat yang sama, Edgar menangkap pergelangan tangannya.
"Apa sih?" Julia menoleh ke samping. Ia menggerakkan tangannya yang ditangkap Edgar. "Gue mau ambil motor."
"Mereka semua cowok."
"Terus?"
Edgar kehabisan kata-kata. Jakunnya naik turun, bingung harus menjawab apa supaya gadis ini terdiam seribu bahasa. "Jangan deket-deket sama cowok," ucapnya kemudian.
"Terus lo apa?"
Bukan Julia yang diam, melainkan Edgar. Ia terdiam. Secepatnya ia melepas pergelangan tangan itu.
"Yang ambil motor tadi sepupu gue."
"Terus?"
Julia mengernyitkan dahi. Apa-apaan respons itu? Mengapa juga dirinya memberitahu informasi yang tidak penting. Tangan kanannya melambai. "Kita balik sendiri-sendiri," putusnya.
"Pulang sama saya, Julia."
Edgar memberi ketegasan pada ucapannya. Di bawah remang lampu jalanan yang tertutup pohon, matanya menatap tajam gadis itu. Julia berani keluar tengah malam dan sebagai tetangga yang baik, Edgar akan melaporkannya ke Elza.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Neighbor's
Novela Juvenil"Bunda! Ada anak beruang nyasar!" Julia melirik tubuh pendek yang terbungkus kostum beruang. Mata bulat berbinar dan pipi tembam bocah itu tidak serta merta membuat Julia terpana. Ketika beruang kecil itu mendekat, kemudian menempel di kakinya, Juli...