25ーdefeat

4.3K 1.1K 433
                                    

05:59 am

gue mengerjapkan mata secara perlahan. cukup lama gue terdiam menatap langit-langit kamar setelah mata gue benar-benar terbuka dan—entah kenapa, seperti ada sesuatu yang menghantui gue. setelah mendengar dentingan jam dinding di atas pintu gue akhirnya tersadar, kalau ini adalah hari senin yang di mana gue aka mengikuti ujian akhir sekolah, sementara renjun sedang berada di rumah sakit dengan rintihannya.

rasanya ada banyak hal yang berusaha menekan gue, rasanya banyak benda tumpul yang terjatuh menghujam pikiran gue. setelah kemarin menemani renjun di dalam ambulance sepanjang perjalan ke rumah sakit, gue gak kunjung memperoleh kabar tentang kesadarannya, bahkan sampai detik ini. saat hari telah berganti.

beberapa detik berselang mata gue menoleh pada ponsel yang menyala dalam sekejap, menunjukkan layar tanpa adanya notifikasi dari mama atau pun siapa aja yang bisa berkata—luia, renjun akhirnya bangun.

bagaimana ini? bagaimana caranya di saat gue dan teman-teman yang lain melaksanakan ujian, renjun malah terbaring di sana dan gak bisa hadir?

gue menghela nafas berat setelah menyadari semuanya. gue pun bangkit untuk kembali terdiam beberapa saat. setelah mendengkus, gue mengusap sudut mata gue yang berair karena dibuat menangis sepagi ini.

come on luia. lo harus ujian dan baru setelah itu lo bisa menjenguk renjun di rumah sakit.

berat, rasanya sangat berat. pada akhirnya gue benar-benar berdiri, berupaya untuk mempersiapkan segalanya dan berangkat ke sekolah.

yang biasanya gue melihat senyuman renjun sebagai sambutan pagi di depan rumah, kini gak ada yang seperti itu. yang biasanya gue bercanda bareng dia di sepanjang perjalanan menuju sekolah, kini terasa sangat hampa. papa yang sekarang mengantar gue ke sekolah terus meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. seandainya gue tau kalau ini akan terjadi, kemarin gue akan menolak dengan tegas ajakan renjun untuk ngedate. seandainya gue bisa memutar waktu, gue lebih memilih renjun marah karena permintaannya gak gue iyakan ketimbang harus berakhir seperti ini.

setibanya di sekolah, jia, haechan, yangyang serta felix berusaha menemani gue sepanjang waktu berjalan. see, sekarang kita sisa berlima seperti ini. beberapa teman yang tau renjun masuk rumah sakit pun berusaha menyemangati gue dan mendoakan renjun agar cepat pulih. amin, amin yang paling serius.

gue cukup terhibur dengan kehadiran jia juga yang lainnya. namun gak menutup kemungkinan otak gue akan terus memikirkan renjun. secara, cowok itu yang sepanjang hari selalu menemani gue, iseng menoel pipi gue, berdiri di samping gue atau bahkan menunggu gue masuk juga keluar kelas. damn, baru segini aja gue malah terlampau sedih tanpa kehadiran dia.

"gak apa-apa lui, jangan nangis terus." hibur haechan disaat ujian hari ini telah usai. "banyak yang jagain dia kok, dia bakalan sembuh. toh dia juga diawasin sama nyokap lo."

jia mengangguk setuju. "bener tuh, kata yangyang orangtuanya renjun juga on the way kesini dari surabaya. kan, yang?"

"apaan sih lo pake yang?! inget, kita kan cuma temen!"

"terus gue panggil siapa? hutong? berantem ayok pake papan ujian."

"gak mau, papan gue udah grandmaster alias fiber castel. papan lo masih versi mod, papan kayu."

"gila lo, bocah banget otaknya kayak keripik malah ngebandingin papan ujian." felix kesal. "sekalian sana pake papan catur."

"papan catur kitu paguyuban check!"

haechan menggeleng-gelengkan kepalanya. "tolonglah, lui bukannya terhibur tapi malah emosi liat lo semua."

"luia—"

kita semua reflek menoleh begitu ada yang berbicara dengan memanggil nama gue. bukan jia, bukan haechan, yangyang, ataupun felix. melainkan dinda yang sedang berdiri sendiri dengan raut wajah memelas.

"mau ape lagi nih, ape nih—" gumam yangyang.

"gue—gue mau bicara."

"bicara aja sini, lui gak dibolehin sendiri sama kita." kata jia.

"please, lui—" mohon dinda dengan ekspresinya yang semakin menjadi.

gue menghela nafas ringan. karena gak mau ada beban tambahan, akhirnya gue berkata, "gak apa-apa, biar gue ngobrol sama dia. kalian tunggu disini."

"ah elah lui—gimana kalau nanti lo digebukin?"

"udah gak mungkin." balas gue rileks pada pertanyaan felix. gue lalu mengambil papan ujian yangyang dan berkata, "gue pukul satu-satu kalau gue udah gak tahan."

"ya gak pake papan gue juga..."

"mantap, mau gue kumpulin batu sekarung?"

"gue ambilin parang di kantinnya bu ida mau gak?"

"yang begini nih gue demen."

gue tersenyum tipis tanpa menjawab pertanyaan mereka lalu berjalan menghampiri dinda. sebelum gue benar-benar berada di dekatnya, dinda kembali melangkah sedikit jauh dari tempat sebelumnya dan menoleh pada gue.

"lui— gue minta maaf ya?" katanya. "maaf kalau gue punya salah sama lo, maaf kalau gue punya salah ke renjun. gue benar-benar minta maaf."

"lo beneran sendiri? mana yang lain?"

tiba-tiba air mata dinda mengalir di hadapan gue. "gue minta maaf sama lo, please. tolong ya maafin gue?"

gue terdiam melihat bujukannya.

"tolong maafin mark dan jaemin juga, teman-teman gue yang lain. karena—"

"jadi setelah seungmin, kali ini lo jadi perwakilannya? astaga."

dinda reflek terdiam menatap gue terkejut.

"dinda, tolonglah—" entah kenapa secara tiba-tiba emosi gue meluap sampai ke ubun-ubun. "lebih baik lo gak usah minta maaf kalau begini caranya. kenapa lo yang sendirian seperti ini? kenapa cuma lo? kenapa harus ke gue aja? gimana sama renjun? kenapa? lo takut sama mark dan yang lainnya?"

"luia—"

"lo itu cewek dinda, kenapa lo bela-belain harga diri lo hanya untuk seorang cowok dan sebuah pertemanan? din, gak tau kenapa gue kecewa banget sama manusia kayak lo. lo tau gak karena perbuatan temen lo, renjun harus dirawat di rumah sakit disaat-saat seperti ini? lo tau gak sih, rasanya—ah, sial."

gue segera berbalik dari hadapannya untuk mengusap aliran air mata gue yang ikut meluncur. sakit, rasanya sakit banget. rasanya gue juga marah, tapi kenapa gue gak bisa menampakkan amarah gue dan malah berakhir dengan tangisan seperti ini?

tanpa gue sadari, ternyata ada felix yang mendekati kita dan perlahan menarik gue untuk pergi. "udah, lui. mending kita pergi aja buat jenguk renjun."

"gue gak peduli ya kalian sekarang mau ngapain lagi." kata gue pada dinda sebelum pergi dari sana. "gue gak akan mau ngeladenin kalian lagi. gue sakit hati, sumpah. renjun sampai harus dioperasi dan lo—ah. tolong lo denger ini. gue berharap lo semua gak akan merasakan posisi gue dan renjun. gue berharap lo semua akan tenang, kalau memang tuhan mengizinkan itu terjadi. semuanya terserah sama lo semua. dan tolong behenti ganggu gue, renjun juga yang lainnya."

"udah, stop." seseorang yang baru terdengar suaranya itu mengistrupsi pendengaran gue. gue dan felix menoleh, mendapati hyunjin yang berjalan mendekat. "ayo kita pulang." ajaknya pada dinda.

gue bisa melihat dengan jelas wajah felix yang terkejut bukan main. tentu ini menjadi tamparan untuk kita lagi dan lagi, namun gue bisa merasakan kalau felix spontan menarik tangan gue guna beranjak pergi dari sana.

"hyunjin bangsat." umpatnya.

RENDUALITY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang