08ーpenshit

6.6K 1.5K 293
                                    

tiga hari berselang, akhirnya tiba juga hari di mana sekolah gue mengadakan acara pekan seni mini serta dadakan setelah fase ospek siswa baru. ini adalah puncak-puncaknya kesibukan osis dan organisasi lain, termasuk gue yang harus jalan sana-sini mengecek para panitia yang lain. pertama dan terakhir kali gue ketemu renjun hari ini adalah tadi pagi, of course karena kita berangkat bareng ke sekolah seperti biasa. selebihnya belum ketemu lagi, bahkan untuk kabar-kabaran via whatsapp gue belum sempat cek.

di jam dua siang, adalah waktu di mana band sekolah harus perform. gue gak tau band mana yang akan tampil hari ini, karena gue harus bantu divisi acara ngurusin jadwal yang sempat teracak karena kesalahan teknis.

"kak lui gak nonton di luar?" tanya adik tingkat gue, somi. "kita kita aja yang ngurusin, nanti lo kecapean kak."

"iya kak. kan mestinya kakak gak di sini repot-repot." tambah yuri.

sebenarnya gue gak enak mesti ninggalin mereka, tapi mereka mohon-mohon dengan alasan gue yang udah menjadi anak kelas tiga dan seharusnya menikmati acara berjalan di luar sana. mau gak mau gue memilih untuk keluar, ya meskipun hati gue juga setengah-setengah buat berjalan. akhirnya gue menghubungi renjun untuk menanyakan dia ada dimana. sayangnya telpon gue gak dijawab, chat gue gak dibalas.

"aku kan bertahan, meski takkan mungkin. menerjang kisahnya, walau perih—walau perih."

penggalan lagu vierra itu langsung menarik perhatian gue. yang nyanyi barusan—suaranya kayak gak asing. gue berusaha untuk menebak-nebak, tapi suara gemuruh penonton malah menghalangi fokus gue. tanpa berlama-lama gue langsung berlari ke arah tribun dan menemukan renjun yang sedang manggung dengan anak band sekolah. mereka adalah jeno, hendery dan kak dowoon si alumni. gue gak menduga ternyata band ini yang tampil. ah, lebih tepatnya gue lupa kalau ternyata renjun yang menjadi vokalis.

"kau buang aku, tinggalkan diriku. kau—hancurkan aku seakanku tak pernah ada."

"LAGUNYA DINDA NIH!" suara teriakan jaemin membuat gue reflek menoleh ke arah mereka yang berada di pinggir tribun. disana ada jaemin and the gank, beserta dinda, juga beberapa teman ceweknya yang lain.

dinda tersenyum tipis sambil sesekali tertawa. begitu melihat ke atas panggung gue mendapati renjun yang juga melihat pada kerumunan dinda dan yang lainnya. rasanya gue mendadak kesal, gue mengepalkan kedua tangan dan berusaha untuk diam.

"ada yang gagal move on nih!"

"dinda renjun is back guys!"

"video video!"

"iri gak sih—cieee!"

"lui?"

gue menoleh dan melihat mark sedang berdiri di samping gue.

"lui lo nangis?" tanya mark lagi.

"luia! luia!" teriak hyunjin dengan kencang dari arah seberang. di sana dia bareng gengnya juga, sontak membuat beberapa orang melihat gue meskipun band masih asik-asiknya perform di atas panggung.

gue buru-buru berbalik dan berlari meninggalkan mark, gak menggubris panggilan hyunjin. gue kecewa, gue marah, gue benar-benar gak habis pikir ini bisa terjadi. persetan dengan kata orang kalau gue baperan, yang jelas bagi gue ini kelewatan. udah pms, capek, gue malah dibikin sakit hati, bangsat.

gue berhenti di samping laboratorium sekolah yang sepi. gue duduk di atas sebuah bangku panjang dan menumpahkan semua kekesalan gue disini. i mean—gue lagi sibuk dan mencuri waktu menghubungi renjun. dan, boom! gak ada api gak ada angin tiba-tiba cowok gue sendiri malah saling melempar senyum di tribun sekolah dengan mantannya, di depan banyak orang, di dalam acara yang gue bela-belain agar gak hancur. malah perasaan gue yang retak kayak telur rebus.

"lui."

gue melirik sejenak, menemukan mark yang ternyata datang menghampiri gue. dia langsung berjongkok di depan gue dan kembali bertanya, "lui are you okay?"

rasanya gue gak bisa menjawab mark dan malah menangis. gue terlalu cengeng untuk perkara ditanya kondisi saat ini.

"lo kenapa, hey? kok tiba-tiba lo nangis?"

pertanyaan-pertanyaan mark seperti menyatu dengan sayup-sayup nyanyian dari suara renjun di tribun. mereka terdengar riuh, berbeda dengan kondisi gue yang sedang terisak dalam sunyi di sini.

"it's okay, lui." ucapan andalan mark sedari kita masih pacaran terucap kembali dari empunya. "nangis aja, gue yang nemenin lo."

bodohnya gue semakin menangis dan kesal. apa mark gak sadar akan apa yang terjadi di antara renjun dan dinda? bukannya mark ada hubungan spesial sama dinda?

gue lelah, gue jenuh. gue menggeser mark dan berdiri untuk menuju sekretariat osis. di depan sekret gue bertemu jia dan hyunjin yang terbelalak melihat gue menangis seperti ini.

"heh lo kenapa?!" tanya jia. "lo apain lui?! lo kalau udah jadi mantan jangan banyak tingkah ya!" tuduhnya pada mark yang berada di belakang gue.

"bukan dia, ji." kata hyunjin.

"terus apa dong? eh, kenapa tadi lo nyari-nyari lui?!" desak jia agar hyunjin segera menjawab.

akhirnya hyunjin buru-buru menjelaskan semuanya. mendengar nama renjun gue makin gak bisa mengendalikan diri. gue masuk ke dalam sekretariat dan mengambil tas untuk pulang. gue gak mengindahkan cegahan jia dan hyunjin. pokoknya gue mau pulang, gue gak bisa tinggal disini.

"lui jangan gitu please. nanti kita bicara sama renjun." cegat hyunjin. "gue yakin kita cuma salah paham."

"ah bangsat." umpat jia. "apanya yang salah paham kalau kayak tadi?! udah jelas-jelas loh ini lui yang liat, di depan banyak orang. mana antek-antek lo nambah-nambahin lagi!" omel jia juga pada mark.

gue gak memperdulikan mereka bertiga dan sekarang gue berusaha untuk pulang. dalam perjalanan gue bertemu dengan beberapa orang yang kenal sama gue, dan tentunya mereka heran melihat wajah sembab gue. termasuk chenle si sepupu yang terlihat memakai tasnya dari koridor lain.

"weh—lo kenapa?" tanya chenle.

"lo mau pulang?" kata gue tanpa menjawab pertanyaannya.

chenle mengangguk.

"gue bareng sama lo."

"tapi kenapa? bukannya lo mesti—"

"kita, pulang, bareng, sekarang." sambung gue penuh penekanan. beruntungnya chenle langsung mengiyakan dan mengajak gue untuk segera masuk ke dalam mobil jemputannya.

"lui!"

ah, itu renjun.

"luia!"

"lo dipanggil cowok lo." bisik chenle.

gue gak merespon siapa pun dan buru-buru naik ke dalam mobil lalu menutup pintunya. begitu chenle juga duduk di samping gue, gue meminta supir untuk segera pergi dan meninggalkan sekolah ini.

;;;
rajin ber-uwu uwu bareng pacar tidak menjamin kebangsatan minder dalam hubunganmu brou🙌🏻🙌🏻

RENDUALITY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang