26ーjangan gegabah

4.1K 1.1K 405
                                    

setelah pulang ke rumah untuk mengganti baju, gue langsung ke rumah sakit lagi untuk menjenguk renjun. orangtuanya dari surabaya belum tiba, dan gue gak bisa fokus kalau pikiran gue malah stuck di rumah sakit tapi raga gue ada di tempat lain.

begitu tiba di kamar rawat renjun, gue langsung duduk di samping ranjang, mengamati dia yang masih tertidur pulas di atasnya. ren, lucu banget ya? kemarin kita masih tertawa bareng karena gombalan lo yang super cringe itu. tapi sekarang lo malah tenggelam dalam mimpi dan tidur lo tanpa berniat untuk bangun, bahkan tersenyum seperti biasanya pada gue.

ren, ini gak mengandung unsur kelucuan sama sekali. tolong, lo bangun dan bilang lo gak kenapa-napa.

"eh, tante—" sapa yangyang kepada mama yang masuk ke dalam kamar. beliau tersenyum melihat kehadiran gue dan yang lainnya alias jia, haechan, yangyang dan felix. mama menghela nafas, merubah senyumannya menjadi raut kesedihan dalam sekejap.

"kita masih mencari pendonor liver yang cocok untuk renjun."

gue reflek sangat shock mendengar penuturannya. dengan serentak, jia dan haechan menutup mulutnya gak percaya.

"tan—separah itu?" tanya felix.

mama mengangguk. "liver renjun terluka cukup parah saat dia berantem. dia juga sempat gak memperdulikan sakitnya untuk beberapa waktu, kan? livernya terluka dan renjun mengalami trauma. setelah di ct scan waktu itu, dokter residen dan yang lainnya langsung mengajukan untuk renjun segera dioperasi. dan untuk sekarang kita cuma bisa mengharapkan donor dari pasien mati otak."

"sabar lui." bisik jia sambil mengusap punggung gue.

gue hanya bisa melipat kedua bibir dan mengamati wajah renjun lirih. menunggu dan berusaha berpikiran jika semua akan baik-baik saja, seperti yang selalu dia katakan. meski gue tau, menemukan donor organ seperti itu gak mudah.

"nanti mama akan bicara lebih lanjut dengan orangtua renjun. kalian jagain dia ya? kalau lapar, kalian langsung makan. bisa gantian kan jagain dia?"

"iya mamanya luia." ucap yangyang seolah ingin mencairkan kesedihan ini. "terimakasih banyak! semangat ya tante kerjanya!"

mama terkekeh. mama berpamitan untuk kembali ke ruang kerjanya. tersisalah kita disini dalam diam tanpa ingin ngeroasting satu sama lain seperti biasanya. usai merasa cukup lama memandangi renjun, gue akhirnya mengedarkan pandangan, melihat jia masih di samping gue, haechan dan felix bermain ponsel di tempatnya, serta yangyang yang kini memainkan bunga tulip plastik di sudut kamar.

"lo semua pulang aja, belajar buat besok." kata gue. "biar gue yang jagain renjun."

"gak ah." tolak yangyang. "gue mau cosplay jadi bunga kembang."

"ngembang aja lo sono sampe angkasa." ledek haechan.

"iyuuuh—"

"kita pulang terus belajar, lo disini ngapain dong? masa diam aja?" kata jia.

"jangan gitulah lui. lo kan selalu denger katanya renjun apa, lo mesti belajar, bagusin nilai dan ilmu lo biar bisa jadi dokter. supaya kalau dia sembuh nanti dia bangga ternyata lo berhasil."

"tumben waras." ucap yangyang.

"emang gue lo, sakit jiwa?"

"udahlah, kok malah berantem! semoga renjun cepet sembuh. biar bisa nemenin kita lagi."

"amin."

"eh tapi—" haechan mengambil jeda cukup lama membuat kita semua terdiam. "hyunjin beneran kayak gitu?"

kita berempat menghela nafas berat secara bersamaan.

"masa hyunjin begitu anjir?"

"tetangga kok gitu? eh, temen kok gitu? eh emang kita temenan sama dia?"

"ya mau gimana lagi? coba sekarang gue tanya, kenapa mark dan kawanannya bisa kayak gitu? paling jawabnya ya—karena takdir."

"kita sisa segini, kayak eliminasi take me out aja."

"biarin sisa segini yang penting kita udah percaya satu sama lain." kata haechan dengan santai lalu bersandar pada sofa. "balik lagi sama diri sendiri, lo temenan karena emang tulus apa ada maunya doang? gue sih udah paham, beranjak dewasa sikap orang bakalan beda-beda. tergantung pandangan masing-masing, lingkungan juga ngaruh banget."

"oh my god." mata yangyang berbinar kagum. "i stan you, haechan biadab."

"pala lo pitak ngatain orang biadab."

"guys."

semuanya kembali tenang saat gue berbicara lagi.

"apa lui?"

"gimana kalau gue aja yang donorin hati gue buat renjun?"

"gila lo, sinting lo ya—"

"jangan ngadi-ngadi lo bibi yasoda. hilangkan pikiran seperti itu. sekarang kembalikan kewarasanmu."

"please lui." jia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada gue. "lo udah denger kan mama lo bilang apa? kita tunggu donor dari pasien mati otak. it means—yang kita bisa hanya nunggu. sabar, dan berharap semuanya yang terbaik. jangan gegabah, okay?"

"bener tuh. lui mah, bikin panik aja. awas lo kalau sembarangan ngomong lagi."

hal ini membuat pikiran gue kembali menambah beban. gue gelisah, bagaimana kalau pendonornya belum juga muncul dan membuat renjun memasuki masa kritis? livernya sudah terinfeksi, gue gak bisa berhenti memikirkan itu.

bahkan hingga malam telah tiba, gue gak bisa makan atau minum seperti biasanya. gue gak bisa melakukan hal lain selain menjaga renjun sepanjang hari. tuhan, gak lucu banget kalau dia gak kunjung bangun hari ini. sebegitu sakitnya kah dia sampai membuka mata untuk sekadar melihat ke sekitarnya dia gak bisa?

"cuy." haechan menepuk bahu gue. "kuy pulang."

"tapi—"

"bentar lagi orangtuanya bakalan tiba disini. kita pulang aja dulu, besok masih ujian. ada felix sama yangyang juga kok diluar, mereka yang bakalan nungguin orangtuanya renjun."

gue menggigiti bibir bawah. gue berusaha meyakinkan untuk mengikuti ajakan haechan dan meraih tangan renjun sebelum beranjak. "ren, gue pulang dulu ya? istirahat aja kalau memang lo masih butuh itu. besok gue balik kesini. oke?"

hening, gak ada sahutan apa-apa.

"have a nice dream, rendi."

dengan berat hati gue bangkit, mengikuti langkahan kaki haechan keluar dari rumah sakit. bodohnya gue tiba-tiba menahan air yang membendung di pelupuk mata gue. bukan kemauan gue untuk menangis, sumpah. haechan yang sadar akan tangisan gue dalam diam ini lalu menepuk-nepuk punggung gue sebelum kita kembali berjalan menuju rumah.

di sepanjang perjalanan gue hanya bisa mengusap air mata karena sejujurnya—gue masih belum bisa menerima ini semua.

setibanya di depan pagar, haechan ikut turun dan berniat menemani gue sampai ke dalam rumah. namun langkahan kaki kita sama-sama berhenti, begitu menemui kehadiran marvin riski lee di teras rumah.

"ini orang gak ada capek-capeknya apa?" gumam haechan.

"lui." ujar mark. "can we talk about yester—"

"apa lagi sih mark? gue capek."

"gue hanya mau membahas masalah kemarin."

"apalagi yang mau dibahas? gak ada."

"please, luia."

"tolong mark, lo ngertiin posisi gue. nanti lo bisa ngobrol sama gue, kalau renjun udah pulih dan kembali seperti biasanya."

RENDUALITY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang