29ーleaden

4.8K 1.1K 253
                                    

🎶 someone you loved by. lewis capaldi 🎶

seperti yang selalu gue katakan sebelumnya, rumah sakit kini menjadi tempat baru gue menghabiskan waktu. seraya menunggu donor hati untuk renjun, gue pun selalu menemani dan menyemangati renjun agar dia bisa kuat untuk terus bertahan. sayangnya, renjun semakin lemah karena livernya seperti acuh gak acuh akan renjun yang masih berjuan disini. sudah banyak upaya yang kita lakukan, namun tuhan belum memberi tanda dimana dan siapa pendonor yang cocok untuk renjun.

di sisi lain, jia, haechan, yangyang serta felix juga setia banget menemani gue dan renjun. meskipun kita semua sedang sibuk-sibuknya mencari perguruan tinggi untuk lanjut nanti, namun mereka masih rajin menyempatkan waktu berkumpul di samping renjun.

tentang mark, dinda dan yang lainnya? oh, i don't know and i really don't give a shit. kita udah gak pernah bertemu sekali pun itu di sekolah. paling gue hanya melihat jeno yang memang masih sering menyapa gue, atau seungmin dan jean. gue pernah dengar, mereka yang lain akan menghindar kalau melihat gue lagi berjalan dari jauh. ya udah, gue gak mau menambah beban pikiran karena mereka, gue udah bilang terserah mereka mau ngapain. well, menurut gue itu gak buruk. seenggaknya kalau memang mereka mau mengakhiri dengan cara yang baik, ya gak apa-apa.

selanjutnya, kalau ditanya gue masih sedih atau gak dengan kondisi renjun, jawabannya tentu saja, iya gue masih sedih banget. gue tetap merasa sangat sedih. bagi gue ini menyedihkan. melihat renjun kian hari kian melemah, bahkan untuk duduk dia perlu dibantu. terkadang saking gak kuatnya, gue izin keluar dengan beralasan akan mengambil cairan infus yang habis. tapi kenyataannya gue pergi ke toilet lantai bawah dan menangis di dalam sana. cengeng? iya, itu luia yang sekarang.

usai kejadian renjun tiba-tiba datang dan menghilang waktu itu, gue bermimpi, bagaimana renjun mencurahkan isi hatinya karena dia udah gak tahan dengan semua ini. saking takutnya, mimpi itu kepikiran sampai sekarang.

tuhan, egois gak sih kalau aku mau dia berjuang meskipun itu menyulitkan dia? aku sayang sama renjun. aku gak mau kehilangan dia. aku yakin semua rasa sakit akan berakhir sebentar lagi. aku mau dia ngeliat aku jadi dokter, aku mau dia menepati janjinya.

hari ini, gue, jia juga haechan melangkah masuk ke dalam rumah sakit. siang nanti gue akan berangkat ke singapura untuk tes, syukurnya gue lolos tahap pertama. sejujurnya gue gak tega pergi ke negeri seberang dan meninggalkan renjun disini. katanya, setelah tes nanti gue gak bisa langsung pulang, gue harus menunggu disana dan hasil yang menentukan. kalau gue lulus, gue gak bisa kembali secepat itu karena harus mempersiapkan tahap lain.

"heh, jangan melamun." ujar jia setelah menyikut lengan gue. "fokus buat tes, jangan pikir sembarangan."

"tenang aja lui, kita bakal jagain dia." tambah haechan. "setelah ini lo harus cepet-cepet ke bandara, takutnya lo telat."

"oh iya, inget ya hoodienya renjun—katanya lo mesti bawa kesana."

"jimat keberuntungan gak tuh?"

gue menggeleng pelan sambil tersenyum menanggapi mereka. "ada-ada aja kalian."

baru aja kita sampai tepat beberapa langkah dari kamar renjun, mendadak ada keriuhan dari beberapa petugas medis yang keluar masuk dari kamar rawat renjun. gue, jia dan haechan segera mendekat dan menemukan mama dengan ekspresi wajahnya yang sulit diartikan.

"ma? kenapa?" tanya gue.

"renjun—"

"renjun kenapa ma?"

mama menurunkan tangan gue dari lengannya dan berkata, "kamu tunggu ya."

secara bersamaan, petugas membawa renjun keluar dari dalam kamarnya. gue lantas menyusulnya dan melihat betapa kritisnya kondisi renjun saat ini. gue menggenggam tangannya yang terasa dingin, gue terus memanggil namanya, berharap dia bisa mendengar gue dan sadar kalau gue ada disini.

"rendi—ren, please—lo harus kuat." pinta gue sambil menahan air mata. "gue mau pergi, lo jangan kayak gini."

renjun berusaha membuka matanya. terasa sayup-sayup dia melirik gue, dan gak lama kemudian dia berkata, "hoodienya—ada di atas meja. semangat ya—lui."

"gak, gue gak akan pergi."

"jangan. lui, pergi—kejar cita-cita—nya. renjun disini—kok."

seorang suster tiba-tiba menghentikan langkah gue dan berkata, "silahkan tunggu di luar."

"luia, kita disini aja. kita tungguin, oke?" jia ikut mencegah gue.

"renjun, ji—renjun."

"lo mesti tenang, renjun bakalan baik-baik aja. kita harus berdoa, ya? please."

gue melepas tangan jia dan menangis tanpa suara. gue merasakan sesak di dada gue, merasakan bagaimana ini semua sangat menyakiti hati gue. melihat renjun seperti itu, rasanya setengah dari dunia gue seolah berada di ambang kehancuran. tuhan, sampai batas mana dia akan seperti ini? renjun bisa sembuh kan? boleh kan, tuhan?

"gue gak akan pergi, gue gak pergi."

haechan menyibakkan rambutnya. "jangan gitulah luia, lo harus ke spore."

"tapi gimana caranya kalau renjun kayak gini?"

"lui, lo mau dia kecewa sama dirinya sendiri karena lo gak pergi? dia bakalan menyalahkan dirinya sendiri kalau lo gak pergi."

gue terisak.

"percaya sama kita, dia—dia akan baik-baik aja."

gue semakin menangis atas perkataan haechan yang diangguki jia. gue merasakan bunda dan ayah renjun kini hadir, dan menghampiri gue tatkala gue seperti orang gila menangis seperti ini.

"luia sayang, ayo berdiri. kamu harus ke bandara."

semua orang berusaha membuat gue bangkit. bahkan kaki gue terasa sulit untuk berpijak, terasa berat untuk meninggalkan tempat ini sebelum renjun keluar dari dalam sana.

"ayo, luia gak boleh lemah. luia harus kuat, luia harus buktiin luia cewek yang kuat."

membutuhkan hampir setengah jam gue seperti ini. bahkan papa ikut datang dan membujuk gue agar segera pergi ke bandara. mereka semua terus menguatkan gue, membuat gue percaya dan tiba pada satu titik dimana gue akhirnya menanamkan pada hati gue, kalau gue akan pergi dan kembali dengan kabar kegembiraan. menyematkan pada keyakinan jika renjun akan keluar dari zona ini dan menunggu gue kembali.

gakpapa, menunggu satu sama lain itu gak buruk.

"ini." haechan menyodorkan hoodie milik renjun. "lo bawa."

"luia, you can do it. renjun bakalan baik-baik aja, ayo fokus buat tesnya."

"luia harus jaga kesehatan, harus pulang dan buat kita bangga."

ucapan dan tatapan mereka akhirnya bisa menjadi tumpuan untuk gue memantapkan langkah. setelah berjuang dengan batin gue yang mulai goyah ini, gue pun berusaha untuk berdiri dan melangkah.

papa yang baru hadir, segera berpamitan dengan orangtua renjun, jia serta haechan. beliau memegang pundak gue yang memilih untuk diam. seraya melangkah pergi, gue memeluk hoodie milik renjun, bersandar di dalam dekapan papa hingga masuk ke dalam mobil.

gue terus melihat pintu rumah sakit, berjuang untuk tegar menghadapi perasaan ini. gue bisa mendengar papa menghidupkan mesin mobil dan secara perlahan, kita beranjak meninggalkan tempat itu.

secara gak sengaja, sesuatu terjatuh dari lipatan hoodie. gue melihatnya dan menemukan sesuatu yang tertulis di sudut kanan bawah.

teruntuk,
my sour luia candy ...

teruntuk,my sour luia candy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RENDUALITY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang