.
.
.
.
Aku berada diruang hampa. Tidak kosong, namun tak terlalu berharga. Mungkin untukku..Itulah keluarga
-Vian
.
.
.
.Malam ini Vian bergulung dengan sepi. Tubuhnya mengigil dengan bibir pucat yang menghias wajah Vian itu tidak membuat paras tampannya pudar.
Sakit di perutnya tak kunjung reda, mual yang semakin menguasai tubuhnya itu membuat ia tersiksa. Belum lagi gudang yang lembab membuat nafasnya memberat.
"Astaghfirullah" Lirihnya bahkan sangat lirih hampir tidak terdengar.
Hanya ucapan istighfar yang ia gumamkan, ucapan istighfar itu membuat ia tenang meskipun tubuhnya memberontak.
Ceklek
Pintu gudang terbuka sedikit. Vian tetap berada di posisinya dengan memunggungi pintu. Vian tidak cukup kuat hanya untuk membalikkan tubuhnya.
"Vian" Panggilnya pelan
"Woy" Ulangnya yang tidak mendapat respon.
"Vian!" Untuk yang ke tiga kalinya, ia memanggil Vian, dan tetap saja Vian tidak merespon panggilan itu.
Akhirnya ia melangkah maju dan terkejut melihat kondisi Vian yang sangat pucat dan mengigil.
"Ck" Decakkan sebal itu keluar dari mulutnya.
"Pindah kamar" Ucapnya dingin sambil menggoyangkan tubuh Vian dengan kakinya.
"Woy anjir bangun ga!" Suara itu menjadi tinggi karna kesal.
Vian berusaha menggerakkan badannya dengan hati hati.
"Akhhh" Erangnya tertahan, perutnya sangat sakit meskipun hanya sedikit pergerakkan.
Vian mengerjapkan matanya, berusaha melihat jelas siapa yang membukakan gudang ini untuknya.
"Kak Aziel" Vian terseyum saat tahu jika yang berada dihadapannya ini adalah kakaknya.
"Cepet masuk kamar" Titahnya dingin, saat Aziel akan meninggalkan gudang, tiba tiba suara Vian menghentikan langkahnya.
"Kak Vian lemes, boleh tolongin Vian ke kamar?" Pintanya pelan tetapi masih bisa di dengar oleh Aziel. Tangannya terangkat meminta bantuan.
"Ck , udah syukur dibukain, masih nyusahin" Balasnya dan meninggalkan Vian yang menatapnya dengan senyum getirnya.
Vian berusaha bangkit, tubuhnya yang sangat lemas itu menyebabkan ia selalu gagal saat bangkit. Tubuhnya meluruh menatap pintu yang terbuka lebar, ingin sekali ia keluar dari ruangan ini tetapi tubuhnya sama sekali tidak mendukung keinginannya.
"Bangun" Vian mendongak menatap uluran tangan didepannya.
"Makasih kak" Iya. Itu Aziel pemuda itu kembali lagi, mengulurkan tangannya untuk membantu Vian bangkit.
Vian berjalan dibantu oleh Aziel. Vian tersenyum sangat senang karna tak biasanya Aziel mau membantunya.
"Dasar penyakitan, bisanya nyusahin" Senyum yang tercetak di wajah Vian seketika luntur digantikan dengan tatapan kosongnya.
"Maaf" Balas Vian pelan.
Sesampainya di kamar, Aziel malah menurunkan suhu AC dikamar Vian menjadi suhu terendah. Vian terkejut dengan hal itu, ia ingin sekali merebjt remote AC yang berada di tangan Aziel tetapi tubuhnya sangat lemas kali ini. Ia hanya bisa menatap nanar aziel yang di ambang pintu.
"Gerah ya? Tapi tenang udah gue atur kok AC nya biar lo ga gerah okey?, Gue bawa ya remotenya" Aziel tertawa pelan melihat Vian yang sejak digudang mengigil dan sampainya ke kamar ia menurunkan suhu AC nya agar Vian semakin mengigil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour • E-book ✔️✔️
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] [E-book bisa dibeli melalui DM] Reviano Edbert namanya, panggil saja Vian. Pemuda yang selalu menunggu Tuhan memanggilnya, bukan karena ia tidak bersyukur, tapi siapa yang sanggup hidup dengan pahitnya hidup? Bahkan semesta tidak me...