.
.
.
.
Kalian tau? Apa yang lebih sakit dari putus cinta? Tidak di anggap oleh keluarga sendiri. :)
-Vian
.
.
.
.
.
.
.Matahari sepertinya sedang bahagia hari ini, sinarnya sangat terang hingga suhu siang ini mencapai 30°. Lain dengan matahari yang sedang bahagia, siang ini Vian duduk di balkon kamarnya temenung memikirkan kondisinya, ia hanya penasaran dengan perutnya yang kemarin ditekan oleh dokter, kenapa rasanya begitu sakit?, apa ada penyakit serius di tubuhnya?, kurang lebih seperti itu pertanyaan yang sedang berkecamuk di kepala Vian.
"Semoga lo gapapa ya, jangan bikin gue nambah susah" Kata Vian dengan tangan yang mengusap perut ratanya.
Ceklek
Vian menoleh mencari siapa yang masuk, Raffi berdiri di ambang pintu, dengan stelan Jas yang rapih seperti kemarin.
"Ayah?" Panggil Vian, ia langsung berdiri dan menghampiri.
"Turun kebawah, bantu para maid malam ini akan ada tamu para kolenga, kamu jangan sekali kali menampakkan diri nanti malam" Ucap Raffi sinis, ia menatap mata hazel Vian sebentar, setelah itu ia langsung memalingkan wajahnya ke kiri enggan melihat wajah Vian lama.
Vian mengangguk dengan senyum seperti biasanya, " Iya ayah,, aku nanti aku kebawah " Jawabnya.
Setelah mendapat jawaban dari Vian, Raffi langsung meninggalkan kamar Vian dengan cepat.
"Huhhhhh, jangan bikin ulah ya perut, tdi kan gue udah kasih makan" Ucap Vian pada perutnya.
Saat Vian menginjakkan kakinya di dapur, ia melihat bi Asih yang sedang menyiapkan bahan bahan untuk memasak, dan Siti yang sedang berkutat dengan bahan bahan kue.
"Bi, ada yang bisa Vian bantu?" Tanya Vian setelah menghampiri bi Asih.
Bi Asih tersenyum dan menggeleng, "ga perlu den, bibi bisa ini sendiri kok udah biasa" Jawabnya
"Heh bantuin saya aja!" Ucap Siti ketus, Vian pun mengangguk dan menghampiri Siti. "Tolong mix ini, terus udah itu lelehin coklat yang itu tuh" Lanjut Siti yang menunjukkan coklat di sebelah Kiki Vian.
"Oh iya mba, sini mixer nya" Vian mulai melakukan pekerjaannya di dapur.
Seteleh kurang lebih 3jam ia membantu, ah tidak yang benar ia melakukan nya sendiri, Siti hanya mengarah kan apa yang harus Vian lakukan, seperti sekarang.
"Hahh akhirnya selesai juga, Vian kekamar ya mba" Pamit Vian, bukan karna apa apa ia sangat lelah sekarang walaupun hanya kegiatan rigan seperti itu, akhir akhir ini Vian lebih cepat lelah.
"Ehhh enak aja maen nyelonong, sapu dan pel lah semua ruangan" Perintah Siti dengan sedikit kesal.
Vian menghela nafas berat, ia tak bisa mengelak takut kejadian yang bisa membuat ia terkurung digudang terulang kembali.
Vian mulai mengambil peralatan pel dan sapunya, butuh waktu 1 jam untuk menyapu dan mengepel lantai 1, rumah Vian terdapat 4lantai termasuk rooftop. Jadi tersisa 2 lantai untuk ia bersihkan.
Sebenarnya hanya lantai 1 yang akan dipakai untuk pertemuan para kolenga bisnis ayahmya, hanya saja lagi lagi ia tidak bisa menolak perintah Siti.
"Akhhh" Erang Vian merunduk mengurut perut nya yang kembali berulah.
Ia berdiri bertumpu pada tiang pel yang sedang ia pegang kali ini. Sakit di perutnya ia tahan mati matian, terlihat dari keringat dan wajah pucatnya. Dengan pelan ia melanjutkan pekerjaannya, ia sekali kali merunduk menahan saki perutnya.
"Ayo satu lantai lagi" Ucap ia menyemangati dirinya sendiri.
Selesai lantai 2 ia langsung melesai menuju lanjai 3, sebenarnya satu lantai ini sepenuhnya milik Aziel, tempat jika ia membawa teman temannya, terlihat barang barang yang tertata di sana, dari TV, PS, Billiard, dan macam macan Games mesin pun tersedia di sana.
"Enak kayanya punya punya ruangan seluas ini sendiri, tpi lebih enak disayang orang tua haha" Gumam Vian pelan, ia memandangi setiap sudut ruangan ini dalam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, Vian baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Ia merapihkan kembali peralatan yang sudah ia pakai tadi.
"Bi ada makanan sisa ga? Vian laper" Ucap Vian celingukan mencari makanan yang sekiranya bisa ia makan.
"Minum ini" Vian menoleh mendengar suara itu, ternyata Risa yang baru saja menutup pintu kulkas dengan tangan yang terdapat segelas susu disana.
Vian mengeleng ribut, "Bun alergi Vian baru aja kemarin kambuh" Ucap Vian menolak susu itu.
"Minum atau kamu keluar dari rumah ini!" Ancam Risa, mendengar hal itu Vian langsung saja merebut susu yang ada di tanga Risa.
"Den, yang kuat ya" Bi Asih menatap sendu Vian yang sedang susah parah menelan habis susu itu.
"Masuk ke kamar utama" Vian terkejut mendengar ucapan Risa yang menyuruhnya masuk ke kamar utama.
"Uhuuuk uhuuuk"
Suara batuk nya menandakan alergi nya kambuh, ia meredam batuk itu dengan tangannya.
Ia mengikuti Risa dengan pelan, menahan gatal di badanya, mual juaga datang seakan menambah kelengkapan beban Vian.
"Loh, Fi itu anak kamu?" Tanya Salah satu kolega bisnisnya yang melihat Vian berjalan di belakang Risa.
Raffi menatap Vian dengan tatapan jatamnya, seakan memberitahu jika ia marah karna Vian tidak menuruti kata katanya tadi siang. "Ahhh bukan, ia hanya anak dari pembantu kami" Jawab Raffi dengan nada tenang.
Vian diam sebentar, berusaha mencerna kata kata yang barusan ayahnya lontarkan, anak pembantu? Haha.
"Masuk" Ucapan Risa menyadarkan Vian, ia langsung melangkah masuk ke dalam kamar.
Setelah di kamar, ia kemudian duduk di sofa yang terdapat di sana. Dengan nafas mengi, hidung tersumbat, dan gatal di seluruh tubuhnya.
"Bb ..bun... Aa.. da apa?" Tanya Vian terbata, karna nafasnya yang tak teratur.
Mulutnya terbuka verusaha meraup oksigen yang seakan menjauh darinya.
Risa hanya memandang Vian dari kasurnya, ia seakan menikmati melihat Vian yang kesusahan menangani alerginya sendiri.
"Entah, saya hanya senang jika melihat kamu menderita" Jawab Risa remeh, ia menidurkan tuduhnya menghadap Vian dan kembali menyaksikan Vian yang sedang tersiksa oleh alerginya.
"Bbun..nuh ak...ku bbu..bunda" Kata Vian yang putus asa.
Tbc~~~
Gaisss maaf ya kalau ada typo :(( aku ngebut banget soalnya :(
Makasih ya udah bacaaa, sampai ketemu besokkk, byeee 😍🥰🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour • E-book ✔️✔️
Ficção Adolescente[SUDAH TERBIT] [E-book bisa dibeli melalui DM] Reviano Edbert namanya, panggil saja Vian. Pemuda yang selalu menunggu Tuhan memanggilnya, bukan karena ia tidak bersyukur, tapi siapa yang sanggup hidup dengan pahitnya hidup? Bahkan semesta tidak me...