chapter 14,

1.9K 124 4
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Arrrggghh" Erang Vian cukup keras, atmosfer kelas pun tertuju pada Vian dan Amar.

"Keheula sumpah aing te nyho obat maneh di mana" (Bentar sumpah gue ga tau obat lo di mana) ujar Amar sambil mengobrak-abrik tas Vian.

"Ss.. Saa.. Kkitt Mar" Keluh Vian lirih, ia semakin kuat mencengkram perutnya, membuat Amar panik.

"Bawa ke UKS Amar" Titah Devi yang ikut panik melihat konsisi Vian dengan wajah merah pandam menahan sakit.

Amar tidak mendengarkan Devi ia masih sibuk mengobrak-abrik tas Vian, hingga akhirnya ia menemukan botol obat yang tersimpan ditas bagian depan Vian.

"Nih yan" Amar yang akan menyuapi obat pada Vian tangannya urung karna Vian menutup mulut nya.

"Hmmpp"

"Uhuuuk uhuuuk"

Setelah itu Vian lemas dan menutup matanya perlahan. Amar semakin panik melihat Vian pingsan terlebih ia melihat bibir dan telapak tangan Vian yang berlumuran darah.

"Yan ga usah becanda anjir" Amar menepuk nepuk pipi Vian pelan. "BANTU KE UKS ANJIR MALAH DIEM GA ADA OTAK! " bentak Amar kesal, melihat teman kelasnya yang terlihat tidak ingin membantu.

Ada satu laki laki yang akhirnya berdiri membantu Amar, Reza namanya, ketua kelas itu membantu dengan malas malasan, sebenernya ia berada di pihak membenci Vian jadi ia membantu kali ini karna jabatannya saja.

"Nyusahin" Umpat Reza pelan tapi masih terdengar oleh Amar. Amar kesal mendengar itu tetapi karna posisinya sedang memampah Vian ia tidak mungkin emosi saat seperti ini.

Setelah sampai ke UKS, Kirana langsung mengecek kondisi Vian, "ini harusnya di bawa ke rumah sakit" Ucap Kirana menatap prihatin Vian.

"Yaudah, gue bawa mobil kok" Jawab Amar melihat kan kunci mobilnya. Ia kembali memampah Vian dengan bantuan Reza, kali ini Kirana ikut serta, ia mengekor di belakang mereka.

Vian dibaringkan ke samping di kursi penumpang, kaki kirana menjadi bantal untuk kepala Vian. Reza tidak ikut karna pinta Kirana.

Mobil Amar melesat membelah jalanan Jakarta yang sedang lenggang saat ini, setelah 20 menit Amar berhasil memarkirkan mobilnya dan dengan cepat membawa Vian ke ruang UGD agar di tangani oleh dokter.

Butuh waktu cukup lama menunggu dokter keluar dari ruangan, Amar tak henti hentinya berdoa untuk keselamatan Vian, Kirana yang sibuk menelpon orang tua Vian yang tak kunjung tersambung.

Ceklek

Amar langsung berdiri dari tempatnya, "apa Vian baik baik aja? " Tanya Amar khawatir.

Dokter itu pun mengangguk, "pasien di bawa pengaruh obat tidur sekarang, mungkin sore akan siuman, oh pasien harus di rawat untuk beberapa hari kedepan, dan kami pun sudah menyiapkan serangkayan tes yang harus di lakukan oleh pasien" Jelas dokter itu pada Amar dan Kirana.

Amar mengernyitkan dahinya binggung, "apa separah itu penyakit Vian?" Tanya Amar lagi.

Dokter itu tersenyum simpul, "semoga tidak ya nak" Jawabnya dan mengusak rambut Amar pelan.

Amar hanya mengangguk paham, "boleh liat Vian? " Tanya Amar ke sekian kalinya. Dokter itu tersenyum kembali dan mengangguk. Amar melihat hal itu langsung berlari masuk ke ruangan dan berjalan menuju Vian.

"Yan ning maneh ayeuna mah Collapse wae pagawean teh" (Yan kok lo sekarang Collapse terus sin kerjaannya) Ucap Amar berbicara pada Vian yang sedang terlelap.

Drrrrttt drrrrttt

Gawai Amar yang berada di sakunya bergetar menandakan panggilan masuk, ia menekan ikon hijau untuk memjawab panggilannya.

"Kok lu ga ada di kelas sih? Jangan bilang kalian di kantin ya kera!"

"Apaan si orang lagi dirumah sakit"

"Vian?" Tanya seseorang di sebrang sana.

Amar mengangguk walaupun itu sia sia karna tak terlihat

"Collapse Niel, gue ga tau dia sakit apaan sampe muntah darah lagi, gue takut" Ujar Amar lirih

"Sial, gue pengen nyusul tapi pasti kaga boleh" Umpat Daniel

"Pulang sekolah aja, Vian dirawat kok beberapa hari, bawain tas gue sama Vian yak"

"Okey yaudah, jagain Vian"

"Iya lah anjir, udah gue tutup dulu"

Tuutttt

Kirana menatap sendu Amar, ia salut dengan persahabatan mereka. "Sepertinya orang tua Vian sedang sibuk, mereka tidak bisa dihubungi sejak tadi" Ujar Kirana memberitahu, Amar hanya mengangguk samar.

Ia pikir ada yang tidak beres dengan keluarga Vian karna semuanya aneh, mulai dari Vian yang tidak pernah mengenalkan keluarganya, sikap ayah Vian saat dirawat kemarin, dan sekarang yang tidak bisa di hubungi.

"Bu kalau mau pulang gapapa, Amar di sini sendiri gapapa" Ucap Amar sopan.

Kirana tersenyum, "Yasudah, tidak apa apa kan saya tinggal? Uks saya kunci tadi, takutnya ada yang ingin ke Uks" Jelas Kirana, "yaudah saya pamit, permisi" Pamit nya dan di anggukki oleh Amar.

Sekarang tersisa Amar yang menunggu Vian sembari melihat video tarian dihandphone nya.

Tak terasa waktu pun berlalu begitu cepat, Amar terlelap di sisi ranjang Vian dengan posisi duduk.

"Amar"

"Marr"

Amar membuka matanya perlahan karna terusik tidurnya, ia menggeliat tanpa menyadari temannya sudah siuman.

"VIAN!" pekik Amar senang, ia berhamburan kepelukan Vian sangat erat hingga Vian pun terbatuk karna sesak.

"Uhuuuk uhuuuk, pe-pelan pelan Mar" Pinta Vian dengan suara seraknya.

"Hampura atuhh, urang pan atoh maneh hudang uhuy" (Maaf , gue kan seneng lo siuman uhuy) balas Amar senang, Vian tersenyum tipis, ia bersyukur mempunyai Amar dan Daniel, saat semua orang memandangnya sebagai pembawa sial, beda halnya dengan Amar dan Daniel yang memandangnya sebagai pembawa kebahagiaan.

"Thanks Mar" Ucap Vian tiba tiba.



















Tbc~~~

Yeyyy sampai ketemu besok yaaa semuanyaaa, makasih udah suka sama cerita akuuuu, luv u

Jangan lupa vote dan komentarnya ❤❤

Amour • E-book ✔️✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang