pertama. sebelum membaca cerita ini, lebih baik baca al-quran dulu ya, teman (untuk yang muslim dan tidak berhalangan)
kedua. terimakasih sudah mampir di cerita ini, semoga suka ya ^^
happy reading <3
°•°•°
Berhari-hari telah berlalu semenjak insiden tumpah ruah di aula sekolah. Kini Rivana, Arina dan Fadilla tengah berada di pinggir jalan kota yang tengah ramai pejalan kaki. Ya, hari ini hari Minggu di mana hampir 60% dari 100% warga Ibukota tengah melaksanakan olahraga pagi.
Mereka bertiga sedang jogging di dekat Monas. Rivana dengan jaket hoodie hitamnya lengkap dengan sepatu sport warna putih dan sebuah ipod di saku kanan celana trainingnya lengkap dengan earphone putih yang mengait di telinganya.
Arina dan Fadilla juga memakai kostum yang sama, hanya saja Arina mengikat rambutnya yang pendek dan Fadilla juga mengikat rambutnya yang panjang dan tak lupa juga sebuah pulpen hinggap di saku kiri celananya.
Hampir satu setengah jam mereka sudah berada di sana, berkeliling dengan lari-lari kecil, istirahat sejenak, lalu lari lagi.
"Woi, Na! Tungguin dong!" teriak Fadilla kepada Rivana yang sudah jauh meninggalkannya. Rivana memang cepat dalam berlari, karena ia anggota Paskibra yang mengharuskan mental dan fisiknya sekuat baja. Begitu juga Arina, yang selalu ikut latihan silat di luar sekolah dengan senseinya.
Sedangkan Fadilla? Dia kan adik kapten basket? Apa bisa ia main basket? Jawabannya; tentu saja tidak! Berkali-kali telah ia mencoba latihan dengan kakaknya namun selalu ada hal yang tak terduga—bolanya mengenai kaca jendela misalnya.
Tapi jangan mengira kalau Fadilla itu lemah. Ada salah satu alasan unik mengapa ia membawa sebuah pulpen saat kemanapun ia pergi.
Dulu waktu Fadilla masih kelas 6 SD, ada maling yang masuk lewat jendela kamarnya. Saat itu ia belum terlelap setelah mengerjakan tugas, dan baru sadar seseorang telah memasuki kamarnya lewat jendela. Orang itu mengendap-endap keluar kamar Fadilla dan menuju ruang tengah yang bisa dibilang luas. Fadilla tidak tinggal diam, ia mengikuti jejak si Maling sambil membawa sebuah pulpen yang ia ambil di atas meja belajarnya—karena hanya benda itu yang dapat membantunya padahal masih banyak benda yang masuk akal lainnya.
Saat si maling lengah, ia menusukkan ujung pulpennya ke paha si maling lalu berteriak sangat kencang untuk membangunkan seluruh anggota keluarganya. Dan di malam itu juga, si maling langsung diserahkan ke kepolisian. Sungguh Fadilla yang pemberani—namun selalu overprotektif dan minder.
Fadilla dan Arina sudah ngos-ngosan, sedangkan Rivana masih tetap berlari. Bisa dihitung, sudah 25 putaran ia berlari di lapangan Monas yang terbilang sangat luas. Rivana baru sadar ketika suara kedua sahabatnya sudah tidak ada di pendengarannya.
Rivana berniat ingin mencari mereka, tapi setelah ia selesai lari 30 putaran. 5 putaran lagi ia akan berhenti.
Saat tengah asik berlari, Rivana memekik saat tak sengaja menabrak seseorang—atau ditabrak seseorang? Dipegangnya bahu sebelah kanannya yang sakit lalu mendongakkan kepalanya melihat siapa yang menabraknya tadi. Andreas.
"Sorry, nggak senga..." ucapnya terpotong saat melihat yang ditabraknya
"Lo punya mata nggak sih?" ia menyambung perkataannya
"Maaf, kak. Ga sengaja tadi." lirihnya sambil menunduk, tak berani menatap ekspresi sangar dari kakak kelasnya yang temperamental.
"Baru seminggu lo nabrak gue, lo tabrak lagi? Mata dipake dong!"
"Loh, kok jadi nyalahin aku sih, Kak? Yang nabrak duluan siapa?!" Rivana membela dirinya. Senenarnya yang menabrak Rivana duluan memang Andreas, namun ia tak mau mengaku dan selalu saja menyalahkan orang lain.
"Ya emang lo nggak liat-liat sekitar!" ucapnya meninggi lalu pergi berlalu meninggalkan Rivana yang masih meringis kesakitan.
"Itu badan sama sifatnya ga jauh-jauh banget dari spesies 'perbatuan'. Sama-sama batu, dari luarnya aja kalem. Kalem-kalem bangs...." ucapnya terpotong.
"Eh, Astagfirullah gak boleh ngatain gitu. Ya Allah." sambungnya sambil menampar mulutnya sendiri.
Rivana kembali melanjutkan joggingnya yang sempat terhenti, masih 5 putaran lagi.
Setelah 5 putaran dilaluinya, akhirnya ia sudah menemukan Arina dan Fadilla. Mereka tengah duduk di bawah pohon beringin sambil selonjoran.
"Di sini ternyata!" Rivana menciduk mereka yang tengah 'ngadem' lalu ia ikut duduk.
"Kemana aja sih? lama banget." Arina melontarkan pertanyaan pertamanya.
"Tadi pas kalian udah ngilang di belakang, aku masih kurang 5 putaran lagi." jawabnya.
"Terus kenapa kamu tau kita di sini?" pertanyaan kedua dari Arina.
"Tadi pas ga sengaja ketabrak orang, aku liat kalian lagi jajan bakso di dekat sini." Benar saja, ada beberapa bungkusan plastik bekas dengan tomatnya. "Eh, jangan buang sampah sembarangan!" tegur Rivana sambil memukul pelan kaki Arina.
"Iya! iya! Eh, ketabrak lagi? Sama siapa?" pertanyaan ketiga dari Arina.
"Kak Andreas!" ucapnya sambil memasang ekspresi miris seolah-olah telah mendapat nasib yang amat buruk.
"Lah sama tu orang lagi? Tau tau besok ketabrak sama bus kamu, Na!" pekik Arina terkejut.
"Ih! Amit-amit astagfirullah, Rin! Bukannya do'ain biar ga ketabrak lagi malah dido'ain ketabrak bus. Gimana sih?!" Rivana tambah masam, Arina hanya tertawa.
"Na, Rin! Pulang yuk! udah agak siangan nih, takut panas" ajak Fadilla melerai mereka berdua.
"Kalian duluan aja, aku masih ada acara di luar." Rivana berdiri disusul kedua sahabatnya. "Okelah." ucap Arina dan Fadilla bersamaan.
Mereka berjalan ke arah yang berlawanan. Arina dan Fadilla menuju keluar area Monas, sedangkan Rivana menuju ke sebuah tempat yang belum diketahui kedua sahabatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurasia
Genç KurguAndaikan saja seekor serigala yang siap menerkam siapapun, menghampiri seorang manusia yang ia yakini bahwa manusia itu adalah 'mate'nya, semua yang mengenal tentang werewolf pasti tahu apa yang akan terjadi pada keduanya-tentunya dengan persepsi ma...