SONGO

806 124 96
                                    

Selamat Membaca...
.
.
.

Hubungan Hinata dan Naruto kian hari menjadi perbincangan hangat di Namiuzu corp. Banyak dari mereka menerka-nerka hubungan Presdir mereka dan sekertarisnya itu.

Bahkan ada yang menjadikan hubungan mereka sebagai taruhan. Dari Hinata sendiri, ia tidak ambil pusing. Masa bodo dengan mereka semua yang terpenting baginya adalah dirinya bahagia.

Hidup itu harus bahagia, jangan terlalu juga sih... Jangan sedih yang terlalu dan mencintai pun jangan terlalu dalam. Sepantasnya saja, sepatutnya.

Hinata tak mengelak jika, dirinya tertarik pada Bosnya itu. Tapi ketika mengingat perbedaan diantara mereka, langsung membuat Hinata menepis semua angannya tentang Naruto.

Bukan, bukan tentang kasta atau tahta. Kalau tentang harta Hinata masih bisa mengayakan dirinya. Hahaha. Tapi tentang keyakinan mereka yang berbeda. Ya, Hinata dan Naruto berbeda keyakinan. Hinata muslim dan Naruto non muslim. Mungkin buat sebagian orang perbedaan bisa di satukan. Tapi bagi Hinata perbedaan keyakinan, tidak bisa di toleransi oleh dirinya.

Hinata tidak mau jika saat beribadah, dirinya belok ke kanan dan suaminya belok ke kiri. Maksudnya, Hinata ke Masjid dan Naruto ke tempat ibadahnya. Hinata ingin berdampingan dengan suaminya memasuki tempat ibadah. Mimpi yang sangat sederhana kan?

Jika jodoh, Hinata yakin pasti akan ada jalannya. Sebagai manusia yang mempunyai otak waras, Hinata hanya perlu manut dengan apa yang Alloh siapkan untuknya. Tak jodoh dengan Naruto, tidak berarti Hinata tak ada jodoh.

Kehidupan ini di jalani. Makanya Hinata sering berfikir, kenapa banyak orang yang suka lari dari masalah? Padahal lari itu capek. Mereka tidak sadar kalo hidup itu berjalan bukan berlari. Dijalani, bukan dilarikan.

Ya, tapi namanya juga manusia. Di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Yang bila mana kita menanamkan kebaikan maka akan jadi baiklah diri kita dan jika menanamkan keburukan akan buruklah diri kita. Tau segumpal daging itu namanya apa? Ya, namanya HATI. Kalau kata grup band GIGI, hati itu tempat pahala dan dosa bertarung.

Jadi, Hinata akan manut saja dengan rencana Alloh. Tetap berfikir positif dan hidup apa adanya. Gak usah kebanyakan gaya. Biaya hidup itu murah, yang malah biaya gengsinya.
.
.
.
Naruto melihat Hinata yang sedang melamun di mejanya, tangannya menyangga dagu. Alis Naruto bertaut, tumben sekali sekertarisnya ini diam. Apa baterainya habis?

"Hinata, kau sakit?" Tanya Naruto pelan.

"Tidak Bos." Jawab Hinata yang mengubah posisinya menjadi duduk tegak.

"Obatmu habis? Atau bateraimu juga habis?" Ujar Naruto dengan polos. Pipi Hinata menggembung. Apa Naruto tidak merasa jika dirinya ini memikirkannya. Naruto terkekeh pelan, mengusak lembut puncak kepala Hinata.

"Sudahlah, istirahat saja jika sakit. Aku mengizinkanmu pulang awal." Ucap Naruto menatap wajah ayu gadis yang kini merajai hatinya. Hinata menggeleng lemah.

"Kau tidak ke kubikel Tenten, Ino, atau Temari? Mungkin bisa mengembalikan mood  yang turun."

"Tidak Bos, saya di sini saja." Naruto duduk di kursi depan Hinata. "Ya, sudah aku temani, mau?" Tawar Naruto. Hinata mengangguk dengan senyum cerah.

"Bos, beli cemilan ya hehehe." Cengir Hinata. Naruto tertawa. "Kan tidak enak bos, ngobrol enggak ada cemilan. Ya...ya...ya... Saya suruh mas OB deh ya." Rayu Hinata dengan jurus memelasnya.

"Baiklah. Terserah kau saja." Jawaban Naruto membuat Hinata bersorak, memukul mejanya dengan sedikit kencang. Naruto sudah tidak terkejut lagi dengan kelakuan absurd Hinata.
.
.
.
"Bos, pernah jatuh cinta?" Tanya Hinata tiba-tiba, membuat kunyahan Naruto terhenti.

Jawa JepangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang