'Awal maret 1977, semoga bulan ini menjadi bulan yang membahagiakan,' batinku sambil menatap kalender yang tertempel cukup tinggi, membuatku terjinjit-jinjit.
Aku berjalan perlahan ke rumah tetangga untuk meminjam beras. Ibu yang memintaku tadi, karena kemarin ia tidak mendapat pekerjaan. Jadilah tak ada uang untuk sekedar membeli beras.
"Wa, pinjem beras...," pintaku dengan suara rendah dan wajah menunduk. Malu sebenarnya, tapi jika aku tak begini, adik-adikku tak bisa makan hari ini.
"Pinjem beras lagi! Kalian itu emang gak punya malu, ya. Selalu meminjam beras," bentak orang itu dengan mata melotot, yang membuatku kembali menunduk dalam.
"Kemarin, ibu tidak mendapat uang." Hampir air mataku menetes, tak kuasa menahan semua ini. Awal maret yang sangat berkesan.
"Kamu pikir saya peduli? Kamu kira yang butuh makan cuma keluarga kamu," bisiknya masih bisa kudengar. Tangan ini terkepal, menahan air mata untuk tidak menetes.
"Nih! Bilang sama ibumu untuk segera ganti. Yang butuh makan bukan cuma kalian, paham!" Aku mengambil sepiring beras itu, dan langsung berlari. Terlalu takut untuk kembali berbicara, sekalipun itu terima kasih.
Kunanak beras itu di atas tungku kayu. Sembari menunggu matang, aku mencuci pakaian disungai. Sesekali aku kembali untuk menjaga api tetap menyala dengan mengasurkan kayu atau meniup bara dalam tungku yang membuat mataku pedih dan kulit menghitam.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, aku berangkat ke Sekolah dengan berjalan kaki bersama beberapa temanku. Di saat seperti ini, dapat terlihat dengan jelas perbedaanku dengan mereka. Seragam tipis dan lusuh yang kukenakan berbanding terbalik dengan penampilan mereka yang rapi. Belum lagi rambut yang sangat berantakan, luka dikepalaku membuatku tak dapat menyisir rambut, terbayang betapa menjijikannya penampilanku.
"Aishh! Sandalku lepas, kalian duluan saja!" pekikku pada teman-teman yang berada didepanku. Lalu mencoba membenarkan sandal dengan paku atau kawat yang kucari di jalan.
Setelah berhasil membenarkan sandal, aku lantas berlari sekencang mungkin ke Sekolah. 'Untunglah aku tidak telat,' batinku, lalu mengelap peluh didahi disertai deru napas kelelahan.
Setelah merasa lebih baik, aku pun melangkahkan kaki ke arah bangku panjang dibarisan kedua yang menjadi tempat dudukku dan dua orang temanku.
"Baik, anak-anak. Seperti yang sudah bapak katakan kemarin, hari ini kita ulangan harian. Sobek satu lembar, lalu taruh buku di depan."
Aku pun segera melakukan seperti yang diperintahkan guruku, lalu mempersiapkan diri, dan berdoa semoga ulangan kali ini lancar. Ku tulis pertanyaan yang berada di papan tulis, lalu mulai menjawabnya.
"Eh, gurunya keluar"
"Iya, yuk buruan"
Ku dengar bisik-bisik di bangku belakang, lalu tak lama mereka mengagetkanku dengan berdiri disampingku dan wajah mereka diarahkan tepat ke wajahku.
"Lin, minta contekan dong," bisik salah seorang dari mereka padaku dengan ekspresi memelas
"Ayok lah, Lin. Kuberi uang deh," sambung yang lainnya sambil mengarahkan uang Rp.200.
Sebenarnya aku tak mau menerimanya. Akan tetapi, aku membutuhkannya untuk membeli alat tulis yang sudah akan habis. Terpaksa aku mengulurkan tangan, menerima uang itu, dan memberikan contekkan pada mereka.
Ini bukanlah kali pertama mereka mencontek padaku, bahkan bukan hanya mereka, sesekali murid lain pun melakukannya. Pernah satu ketika, hampir satu kelas mencontek padaku dan kedua temanku, alhasil kita mendapat banyak uang hari itu.
Aku tahu ini mungkin uang yang tidak halal, namun aku benar-benar membutuhkan uang ini. Aku juga tahu tak seharusnya aku membiarkan temanku mencontek yang akan merugikan dirinya sendiri, tapi aku juga tak bisa mengajari mereka, lebih mudah mencontek, katanya.
Awalnya tak kusangka, siswi perempuan dari keluarga tak mampu ini bisa mendapatkan peringkat kedua disetiap catur wulan. Entah berapa banyak terima kasih kuucapkan pada-nya yang telah memberikan sedikit sentuhan spesial di otakku ini.
Pulang Sekolah, akupun mampir sebentar ke warung untuk membeli alat tulis. Lalu berjalan sambil memasukkan alat tulis dan uang kembalian ke tas untuk ku tabung nanti. Aku tidak langsung pulang kerumah, namun berjalan ke tempatku mencari nafkah halal.
🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan angin malam✔
RandomGadis pemimpi yang mengharapkan kehidupan lebih layak, berteman angin malam yang selalu bersedia mendengar keluh kesahnya. Akankah ia bisa mewujudkan mimpinya?