Malam menakutkan

16 4 0
                                    

Malam ini sepertinya aku tak dapat berbincang dengan angin, lantaran ia sedang tak bersahabat. Adik-adikku kini tengah memeluk ibu ketakutan, hujan deras dan angin kencang diluar terdengar mengerikan. Hawa dingin menusuk tulang dan membuatku menggigil.

"Bu, ayah dimana?" tanyaku dengan raut sedih, dalam keadaan seperti ini ia selalu tak ada.

"Mungkin ayahmu sedang berteduh setelah berkeliling mencari kerja," jawabnya seperti tengah menutupi sesuatu.

Sebenarnya aku sudah tahu, bahwa ayah tidak pernah memberi nafkah. Tapi ibu selalu saja berbohong dan menutupi itu padaku. Ayah adalah orang yang tegas, biarkan hatiku beranggapan seperti itu. Meskipun sebenarnya, hal ini adalah sebuah kejahatan.

Ayah selalu membentak ibu, tak jarang ia pun bermain tangan. Ayah juga tak segan melakukan hal itu pada anak-anaknya. Pernah sekali waktu ia menendang adikku, hanya karena adikku tak ikut denganku untuk bekerja. Padahal yang kutahu, pekerjaan ayah pun hanya mabuk-mabukkan.

Tubuhku beranjak mencari kain jarik ditemani kegelapan. Tak ada listrik, hanya ada lampu tedeng yang tengah menerangi tempat kami berkumpul tadi. Tanganku meraba-raba bilik, mencari keberadaan lemari reot satu-satunya yang kami miliki.

Setelah kudapatkan benda yang kucari, segera aku kembali berjalan ke tempat tadi dengan sesekali tubuh ini terantuk kayu penyangga rumah. Kuselimuti keluargaku yang tengah terbaring saling berpelukkan; menyalurkan kehangatan. Kuintip keadaan luar lewat lubang disalah satu sisi bilik, sebuah pohon tua nampak tak sanggup melawan terpaan angin.

'Semoga pohon itu tak tumbang mengenai rumah,' batinku meminta perlindungan dari-Nya.

Aku percaya, tempat yang ditinggali seseorang tak akan roboh sekalipun puting beliung menerjangnya. Sebab tuhan menyayangi makhluknya, terlebih saat orang itu meminta perlindungan pada-Nya.

Malam mengerikan kulalui dengan tak beristirahat, takut-takut terjadi sesuatu dan tak ada yang membangunkan keluargaku. Kutarik tubuh menghadap cermin, terlihat dengan jelas lingkar hitam di bawah mataku.

"Hmm, semoga tak ada yang bertanya tentang ini." Lantas kuberjalan ke kamar mandi, berwudhu untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah bersama keluargaku.

Setelah melaksanakan shalat, aku mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku bertugas menggantikan peran ibu yang bekerja dari pagi sampai sore. Tentu dibarengi dengan sekolah dan bekerja seperti biasa.

Hari ini, aku tak perlu meminjam beras lagi, karena ibu kemarin sudah membelinya. Kulewati hari seperti biasa, tak ada yang istimewa. Kejadian hilangnya nasi pun tak terulang, aku menyembunyikannya di dalam gentong beras.

Banyak bercerita membuatku lupa memperkenalkan diri. Namaku Senja Gmelina, biasa dipanggil Lina. Usiaku menginjak sepuluh tahun, dan aku kelas empat sekolah dasar. Ibuku bernama Daya dan ayahku bernama Purnomo. Aku juga memiliki kedua adik yang bernama Lintang Adi, dan Dama Palapa. Nenek dan kakek melengkapi keluarga kami.

Sore hari yang indah kunikmati dengan bermain lompat tali bersama teman-temanku di lapangan depan rumah. Hanya dengan seperti ini bisa membuatku tertawa lepas tanpa beban yang menghantui pikiran. Otak serasa diistirahatkan sejenak setelah berputar cepat tanpa henti.

Netraku bergerak, memperhatikan orang-orang yang tengah bermain Volley di lapangan samping. Di depan rumahku memang ada lapangan luas yang sering digunakan banyak orang untuk berolahraga, jadi sore hari terasa sangat ramai dan membahagiakan.

"Lin, sekarang giliranmu!" Aku sedikit kaget mendengarnya, temanku satu ini memang tak bisa mengecilkan volume suaranya.

"Tak usah berteriak, aku dengar," protesku sambil mengusap telinga yang berdengung. Ia pun meminta maaf dan tersenyum malu.

"Dia mana bisa mengecilkan suara, Lin. Kan setiap hari makannya peluit," ledek temanku yang lain dan membuat semua tertawa terbahak-bahak.

Adzan maghrib bagai alarm untuk kita menghentikan permainan. Jika tidak hujan, aku dan adik-adikku menjalankan shalat berjamaah di mushola dilanjut mengaji dan shalat isya. Meskipun mushala masih beralas tanah ditutup tikar, dengan senang hati kami meramaikannya. Tak peduli hidung menghitam karena asap obor, dan pulang gelap-gelapan melewati hutan.

Sampai rumah, kami langsung belajar dan mengerjakan PR. Kulanjut dengan kegiatan yang malam kemarin tak dapat kulakukan. Menceritakan suka duka pada angin malam yang sesekali menerbangkan helai rambut, bagai tangan mengelus kepala lembut.

Malam ini sepertinya ayah tak akan pulang lagi. Kudengar dari tetangga, ia selalu begadang di rumah orang yang menyediakan minuman beralkohol. Di daerahku memang ada kepercayaan, bahwa rumah yang ditempati orang begadang akan mudah mendapat rezeki. Entahlah, aku tak ingin tahu itu benar atau tidak.

Kapan kiranya ayah berhenti melakukan kebiasaan negatif itu. Sudah sering kali aku dan ibu menasehatinya, namun tak juga ia berhenti. Justru, aku dan ibu malah balik dinasehati sambil tangan dan kaki ia mainkan. Entah berapa luka yang kudapat dari tindak kekerasan yang ayah lakukan. Jikalau tindakan ini bisa menghentikan kebiasaan buruk ayah yang lain, aku ikhlas.

"Bicara apa aku ini, aku tak boleh menyerah. Aku yakin ayah pasti akan segera berubah. Tuhan, bantu aku yah." Tersenyum sambil memandang nabastala, kuayunkan kaki memasuki rumah untuk beristirahat. Malam ini sepertinya aku bisa tidur nyenyak.

🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟
                      Vote jika suka
               Comment jangan lupa
             Krisan, kasih emot cinta
                            😂😂😂

Senja dan angin malam✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang