Tetes cairan bening dari netra ini tak juga mau berhenti tatkala keputusan telah ditetapkan tanpa persetujuanku. Ibu terpaksa memintakku berhenti sekolah lantaran harus menjaga adik dan bekerja. Kehamilan ibuku yang semakin besar membuatnya tak mampu berdiri terlalu lama, sedangkan pekerjaan ibu mengharuskannya berdiri seharian.
Aku tak marah pada ibu ataupun keputusannya. Tapi aku marah pada takdir yang selalu mengujiku dengan segala rintangan. Aku lelah, aku lelah dengan segala cobaan yang menimpakku. Aku marah pada semesta yang tak pernah memberikku sedikit waktu untuk sekedar menghela napas.
Aku masih manusia, itu faktanya. 'Serasa, bagai anak burung yang sayapnya dipatahkan,' alegori hati ini diikuti isak tangis yang menyesakkan dada.
Kedua tangan semakin mengerat memeluk lutut, kugigit bibir bawahku agar suara tangisan ini tak terdengar. Mencoba meyakinkan hati bahwa rencana tuhan adalah yang terindah. Menyingkirkan segala pikiran buruk yang sempat singgah.
Ku bawa tubuhku untuk bangkit dan berjalan menemui ibu. Kuhapus jejak air mata dan memaksa senyum terukir. Begitu takut untuk mulut ini berkata 'iya'. Lantaran, diriku tak tahu apakah ini pilihan yang tepat. Kukepalkan tangan, menyiapkan hati untuk benar-benar ikhlas akan keadaan.
"Bu, aku setuju dengan keputusan ibu." Hati bagai dihujam beribu pisau. Segala impian yang telah kurangkai, terpaksa harus kulupakan.
"Terima kasih, Sayang. Kau sudah mau mengerti." Ibu tersenyum, namun ada penyesalan dalam tatapannya.
Aku tahu, ibu juga tidak menginginkan hal ini. Tapi memang semesta tidak memberikan pilihan lain. Satu hal yang pasti, tak hanya aku yang berat dalam keputusan ini.
Sekarang, aku harus merangkai impian baru dengan kegigihan yang tidak sebesar dulu. Memang, apa yang bisa diimpikan anak perempuan yang tak lulus sekolah dasar. Aku tak yakin jawabannya ada, atau mungkin hanya menunggu keajaiban tuhan. Entahlah, aku tak tau.
Hari-hari kujalani dengan ikhlas, meski sesekali kesedihan menyapa tatkala kulihat teman-temanku masih bisa mengenakkan seragamnya dan menuntut ilmu. Sebenarnya aku tak pernah berhenti belajar, sesekali Adi bersedia mengajariku apa yang baru ia pelajari. Namun, aku sudah tak dapat lagi tertawa bersama teman-teman sekolahku.
Di Sekolah, aku bisa melepas segala masalah. Meski hanya sejenak, setidaknya hati ini disediakan waktu untuk tersenyum. Sekarang, mungkin wajahku menyuguhkan senyuman, tapi tidak dengan hati ini.
Aku menggantikan peran ibu, baik di rumah maupun di tempat kerja. Menutu beras, pekerjaan yang membuat tangan dan kaki ini terasa sangat pegal. Berdiri seharian sambil tangan menumbuk padi dengan sebuah kayu yang terasa sangat berat bagi tangan sekecilku.
Tidak dapat kubayangkan, betapa lelahnya ibu mengerjakkan hal ini hampir setiap hari. Terlebih upah yang kurasa tak sebanding dengan pegalnya tubuh. Kulihat Dama yang tengah berjongkok memainkan pasir dengan ranting kayu. Ia nampak bosan dengan hal yang tengah ia kerjakan.
Kata Dama, biasanya ada Sholeh---anak pekerja lain--- yang selalu bermain dengannya. Namun hari ini ibunya tak bekerja, jadilah Dama kesepian. Sebenarnya tadi pagi ibu melarang Dama ikut, karena takut merepotkanku katanya. Tapi Dama memaksa. Sekarang, sepertinya ia menyesal.
Aku tidak mengerjakkan ini seharian, karena aku juga harus bekerja di tempat pencetakan genting dan mengupas singkong seperti biasa. Pulang dari menutu beras, aku pulang untuk makan. Dilanjut bekerja lagi.
'Hmm, rasanya sudah sangat lama aku tak mengajakmu bicara,' batinku pada angin malam.
Beberapa hari ini aku selalu tidur lebih awal lantaran rasa lelah yang tak bisa kutahan. Hal ini membuatku tak diberi kesempatan untuk mencurahkan isi hatiku pada angin malam yang kupercaya untuk menyimpan semua rahasiaku. Kupandang langit, bulan sabit malam ini terlihat begitu indah. Sayangnya aku tak bisa berlama-lama di luar, karena ragaku membutuhkan istirahat.
Kudengar suara ayam berkokok lebih awal pagi ini. Ada perasaan tak enak dibenak yang membuatku terbangun dengan peluh yang mengucur deras. 'Ada apa ini, kenapa perasaanku tak enak begini.' Belum juga pikiranku menerka-nerka jawaban. Mata ini menangkap suatu kejanggalan.
"Dimana, ibu?" Biasanya ibu tidur di samping Dama, tapi sekarang tidak ada. Suara jangkrik bahkan masih terdengar, mana mungkin ibu keluar sepagi ini dalam keadaan hamil. Tempat ini sangat dekat dengan makam, otakku mulai memikirkan yang tidak-tidak.
"Aahhh..., tolong!" Mendengar itu, langsung saja aku berlari kearah sumber suara.
Kulihat ibu tengah kesakitan dengan darah yang mengucur dikakinya. Aku bingung harus berbuat apa, jadi kuputuskan untuk meminta tolong pada tetangga. Aku menggedor-gedor pintu tetanggaku dan memintanya segera menemui ibu.
Ia memintaku untuk memanggil paraji(sebutan untuk dukun beranak didesaku). Tadi malam sempat hujan, jadi jalanan licin. Aku terjatuh dan membuat kakiku tertusuk ranting pohon, kakiku berdarah. Tapi aku harus tetap bergegas menemui paraji.
Setelah memberitahunya, kami segera menemui ibu. Keadaan malam membuat darah di kakiku tak begitu terlihat, jadi paraji menyuruhku bergegas. Saat sampai rumah, paraji langsung melakukan pekerjaannya. Sedangkan aku, mengobati kakiku di kamar mandi. Kuguyur lukaku dengan air, lalu kuikat dengan kain yang kurobek dari rok yang kupakai.
Setelah mengobati luka, aku keluar dan langsung mendengar kabar yang menyedihkan. Ibu keguguran karena terlalu lelah. Kulihat Adi yang tengah membawa cangkul dan sesuatu yang terbungkus kain yang kuyakini adikku.
Aku mengambil Al-qur'an dan mengikuti Adi. Setelah di adzani dan dikubur, kubacakan yasin. Kami mendoakannya. Setelah itu, kami menemui ibu yang sudah dipindahkan ke kamar.
"Kau temani ibumu, yah. Uwa sudah harus menanak nasi, paraji juga sudah uwa beri uang."
"Makasih, Wa." Aku menyalimi tangannya dan dibalas elusan lembut dikepalaku.
Kupandang wajah ibu, sedikit pucat dan kelelahan. Air mata serasa mendesak untuk menetes, sekuat tenaga aku menahannya. Kedua adikku disini, mereka tak boleh melihatku menangis. Adi tersenyum, menyalurkan semangat.
"Jangan nangis, Ka," ucapnya sembari memeluk Dama agar ia tenang.
"Iya." Kuanggukkan kepala, lalu mengelus kepala kedua adikku.
Kembali kupandangi ibu, lalu kuberjalan tertatih mengambil air untuk membersihkan kaki ibu. Setelah itu, aku mengganti pakaian ibu. Lalu kucuci semua yang terkena darah disungai. Setelahnya, aku membuat bubur dan teh hangat untuk ibu yang sudah bangun.
"Adikmu, Lin." adunya padaku sambil berderai air mata.
"Tuhan lebih sayang, Bu." Kupeluk tubuh ibu sambil menenangkannya.
Adi dan Dama ikut dalam pelukkan ini, kami saling menyalurkan semangat, kita harus tegar.'Dek, selamat tinggal. Semoga kau bahagia disana.' doaku menahan kesedihan ini.
🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟
Daya---ibu Lina---. Sempat sedih, saat menceritakkan kematian anaknya padaku. Dua kali ia keguguran, minta doanya, ya. Semoga mereka bahagia di surga, Amin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan angin malam✔
РазноеGadis pemimpi yang mengharapkan kehidupan lebih layak, berteman angin malam yang selalu bersedia mendengar keluh kesahnya. Akankah ia bisa mewujudkan mimpinya?