Satu Tarikan Napas

7 2 0
                                    

Tiga tahun kemudian ujian kembali datang. Masalah aku yang belum juga menikah, dan Dita yang menjadi janda anak satu setelah kematian suaminya yang dibunuh dengan parang oleh musuhnya. Suami Dita memang pernah menjadi preman, tapi kita tidak pernah menyangka bahwa musuhnya masih menyimpan dendam.

Kini Dita terpaksa merantau, mencari uang untuk sang anak. Zahwa Rahayu—anak Dita— biar aku yang mengurus. Memberikan kasih sayang pada gadis cantik ini adalah suatu anugrah untukku.

Aku tak tahu kapan aku memiliki putri, bahkan bayangan raja bagi keluarga kecilku saja tak ada. Kau tahu kenapa aku ingin memiliki putri? Karena usiaku yang semakin menua ini sepertinya takan mampu memiliki keturunan yang banyak. Kalau aku memiliki putri, ada yang mengurusku nanti di masa tua.

Ejekan serta hinaan yang sempat terhenti, kini kembali terdengar. Rasanya, menutup telinga pun tak mampu meredam suara-suara yang membuatku terus menutup mata. Aku tak tahu harus berbuat apa.

"Mah, mu emen." Suara cadel Zahwa menariku dari lamunan. Melihatnya yang menunjuk-nunjuk permen membuatku tau maksudnya yang tadi tak kudengar karena melamun. Kuambilkan permen susu untuknya.

Tangannya diangkat keudara, berusaha meraih permen dengan tak sabaran. Wajah cantik itu tampak menggemaskan kala permen sudah berada di tangan. Matanya menyipit merasakan manis dalam mulut.

"Hm ... enyak, mah." Lidahnya bergerak menyapu bibir atas. Zahwa memang memanggilku mamah, aku yang meminta. Aku sudah menganggapnya putriku, dan kuharap suamiku nanti pun mau menyayangi Zahwa selayaknya anak kandung.

Kutatap mata lentik Zahwa. Aku berjanji, mata ini tidak akan mengeluarkan mutiara kecuali kebahagiaan. Setiap malam, tak pernah kulupa mendoakan kebahagiaannya. Dia tak boleh merasakan apa yang pernah aku rasakan.

Hari berganti hari, Dita ternyata tak mampu berada jauh dari sang putri dalam jarak waktu yang lama. Aku tahu sulitnya menahan rindu, terlebih ini pada buah hati. Jadi, aku tak bisa memaksa Dita untuk kembali bekerja. Soal rezeki, biar Tuhan yang bantu.

Doaku terkabul, Zahwa mendapat santunan dari salah satu tempat perbelanjaan di desaku. Santunan ini tak hanya sekali, namun setiap tahun. Anak yatim memang memiliki tempat tersendiri di mata sang pencipta.

Sekarang, semua adikku telah membentuk keluarga baru. Hanya aku yang masih sendiri dengan segala caci maki tetangga. Julukan 'perawan tua' mereka sematkan padaku. Sungguh, aku lelah menutup telinga.

Melihat ibu menangis diam-diam semakin membuat rasa bersalah ini tertanam. Andai kala itu aku menerima ajakan pernikahannya. Andai.

Kulangkahkan kaki ini menuju kamar. Bagaimana pun, aku harus istirahat. Aku belum bisa memberikan kebahagiaan untuk ibu. Setidaknya, jangan menyeretnya dalam kesulitan yang lebih gelap.

Aku berlari ketakutan. Di belakangku ada ular cobra yang tengah mengejar, berusaha mematuk kakiku. Jalan bebatuan yang kutapaki membuat langkah terasa berat, terlebih alas kaki yang tidak kupakai membuat rasa sakit di telapak.

Aku terus berlari dengan napas yang terdengar berat. Aku bingung harus berlari kemana. Sejauh mata memandang hanya ada rumput kering tak berujung.

"Sebenarnya, tempat apa ini?" tanyaku masih setia berlari, dibawah terik matahari yang membuat tubuhku bermandikan keringat. Belum hilang pertanyaan di benakku, pemandangan dihadapan membuat jantung ini semakin berdebar kencang.

Bagaimana tidak? Di depanku ada cobra lain. 'Berlari kekiri atau kanan?' batinku bertanya-tanya. Sayang, satu cobra berhasil mematuk kaki kananku.

"Ah!" Netra ini membulat sempurna. Kuusap peluh di dahi sembari meliarkan pandangan. Ternyata tadi itu hanya mimpi. Kuhembuskan napas yang sedari tadi tertahan.

Aku tahu sebuah mitos, haruskah aku mempercayainya? Kulirik jam dinding, pukul tiga pagi. Sepertinya ini cara Tuhan membangunkanku untuk menangis dalam sujud. Tuhan tahu dengan ini akan membuatku merasa lebih baik.

"Tuhan, apakah maksud mimpiku tadi? Samakah dengan mitos yang selama ini kudengar? Jika, iya. Tolong tunjukan padaku. Jika tidak, aku akan menerima ketentuanmu," doaku menginginkan petunjuk dari-Nya.

Satu minggu setelah kejadian mimpi itu, aku sudah tak berharap lagi. Sepertinya itu hanya sebuah mitos. Mengapa harus ada mitos seperti itu? Membuat orang sesat saja.

"Assalamualaikum." Seorang lelaki dengan wajah kearab-araban datang bersama pamanku.

"Waalaikumsalam," jawabku yang sedari tadi duduk menjaga warung. Kuhampiri mereka dan menyalami keduanya. Kupandang wajah yang nampak asing ini, begitupun ia memandangku.

"Tak disuruh masuk, Lin!" sentak paman yang mengagetkan kami berdua. Aku tersenyum kikuk, sedang ia nampak biasa saja. Sepertinya aku terlalu berharap.

"Silahkan masuk." Mereka segera masuk dan duduk tanpa dipersilahkan. Aku tahu pamanku ini memang sedikit menyebalkan, tapi lelaki ini kenapa mengikuti sikap pamanku.

Tanpa mau lebih lama merutuki sikap mereka, aku berjalan kedapur bermaksud membuatkan minum. Tapi langkahku ditahan saat ibu menyuruhku duduk menemani mereka. Kulihat Dita tertawa cekikikan dibalik pintu kamar.

'Sebenarnya, ada apa ini?' batinku bertanya-tanya. Terlebih saat ayah ikut duduk dan membaur dengan pembicaraan mereka. Tunggu, sejak kapan ayah di rumah?

Ibu menyajikan makanan ringan dan kopi hitam untuk mereka, kemudian duduk disampingku. Semuanya menunjukkan raut kebahagiaan. Dua garis tercetak didahiku; aku bingung.

"Lin, jadi tujuan paman kemari bermaksud menjodohkanmu dengannya. Apa kamu bersedia?" Raut kaget tak dapat kututupi dari mereka. Kuselipkan rambut ke belakang telinga, sambil menenangkan diri.

"Em, mem–memangnya di–dia mau sama Lin?" tanyaku memastikan. Dia itu tampan dan sepertinya lebih muda dariku. Aku merasa tak pantas untuknya.

Dia menganggukan kepala.
"Tapi sebaiknya kita berkenalan dulu 'kan?" tanyanya dengan senyum tipis. Kuiyakan ucapannya, karena memang hal itu diperlukkan.

Tiga hari kita berkenalan. Sekarang aku tahu alasan mengapa ia memilihku. Dia tak pernah merasakan kasih sayang ibu, dan paman bilang aku memiliki sifat keibuan.

Airo shyam, lelaki muda yang meminangku. Menghentikan setiap hinaan padaku. Memberikan kebahagiaan padaku. Haruskah aku mempercayai mimpi itu?

Hari ini adalah hari pernikahanku. Tidak mewah, sederhana namun berkesan. Mengambil tema tradisional Jawa. Sehari ini mojang menjadi ratu.

Shyam melafalkan ijab kobul dalam satu tarikan napas. Kusalimi tangannya lalu berbalas ciuman di keningku. Disambung resepsi, menyalimi para tamu sampai kaki terasa pegal karena terlalu lama berdiri. Tidak ingin bercerita lebih banyak, takut yang sendiri merasa iri.

Aku pindah tempat tinggal; ikut suami. Ada sesuatu yang membahagiakan hati tatkala langkah berhenti. Bangunan yang akan menjadi tempat tinggalku ini persis seperti yang kuimpikan dahulu.

Air mata kebahagiaan tak mungkin kututupi. Senyuman merekah saat mata melirik bunga-bunga nan indah. Saat kaki melangkah masuk, netra liar mengabsen setiap inci ruangan. Bagaimana bisa semirip ini.

🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟
Persiapan menuju ending.
Vote, Comment, Krisan.

Senja dan angin malam✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang